Bulan ini Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di berbagai daerah merayakan ulang tahun untuk yang ke sekian kalinya. Berbagai acara seperti seminar, diskusi, bakti sosial, hingga jalan santai digelar di 205 cabang di seluruh Indonesia sejak awal hingga akhir Februari nanti.
Ulang tahun kali ini juga istimewa karena semua kader dan alumni bertekad memperjuangkan pendiri HMI sebagai Pahlawan Nasional.
Siapa HMI? Untuk menjawabnya, mari luangkan waktu sejenak mengetik dua kata kunci `organisasi tertua` di mesin pencari Google. Lalu klik salah satu dari tiga baris pertama laman teratas, niscaya yang muncul teratas adalah organisasi bernama Himpunan Mahasiswa Islam alias HMI.
Bila masih telaten berselancar, laman-laman bakal menampilkan GMKI dan GMNI atau organisasi rahasia dunia semacam Freemasons atau Illuminati.
Barangkali 4-5 bulan silam banyak anak muda tak kenal HMI yang hari ini berulang tahun ke-69. Namun, akhir tahun lalu HMI mendadak menjadi trending topic di media sosial kala kongres di Pekanbaru, Riau. Ia dikritik, dicaci, dihujat, bahkan ditertawakan melalui satir.
Menurut yang mentertawakan, HMI telah tua renta sehingga bakal tergerus zaman lalu mati sendiri tanpa perlu dikritik, dicaci, bahkan dihujat.
Sejatinya gelombang kritik dan otokritik sudah menerpa HMI sejak 19 tahun silam. Ketika itu, tahun 1997, Dr. Nurcholis Madjid, mantan Ketua Umum PB HMI periode 1966-1969 dan 1969-1971, menyebut HMI di usia emas—50 tahun—sebagai emas karatan. Ia bahkan secara pedas mengatakan huruf “I” harus dilepas bila HMI tak berubah.
Para kader sepenuhnya sadar, otokritik Cak Nur—julukan Nurcholis Madjid— adalah wujud kecintaan pada HMI. Seperti lazimnya organisasi yang dinamis, upaya perbaikan dan peningkatan kualitas tentu dilakukan di setiap jenjang kepengurusan mulai Pengurus Besar, Badan Koordinasi, Cabang, Koordinator Komisariat, hingga Komisariat.
Artikel ini bukan untuk pembelaan, tetapi mencoba memberi gambaran singkat HMI untuk generasi muda saat ini yang baru mendengar organisasi yang didirikan oleh Lafran Pane pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta.
Ketika itu, satu setengah tahun setelah Indonesia merdeka, Lafran Pane mendirikan HMI dengan tujuan sederhana: 1) mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, serta 2) Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.
Ruang Perjumpaan. Lafran mendirikan HMI karena prihatin melihat kondisi mahasiswa beragama Islam di kampus umum—yang dengan sistem pendidikan saat itu—sulit untuk memahami perannya sebagai calon intelektual muslim. Sebaliknya, mahasiswa di kampus Islam ‘kurang akrab’ dengan cara berpikir ala sistem pendidikan umum.
Ada kesenjangan pengetahuan di antara kedua kutub mahasiswa Islam yang kuliah di kampus umum dengan kampus Islam. Padahal, Indonesia ke depan butuh ulama intelektual (ulama yang menguasai pengetahuan umum) dan intelektual ulama (sarjana yang memahami agama) sekaligus.
Di sisi lain Lafran juga sadar wajah Islam di republik yang baru berdiri ini beraneka-ragam. Dari yang sekadar cuma mengaku Islam, hingga yang bercita-cita mendirikan negara Islam. Bila mereka tak pernah berjumpa dalam suatu aktivitas berpikir dan berjuang bersama, maka mereka berpotensi saling bersinggungan yang menyebabkan bangsa ini porak poranda di masa depan.
Bagi Lafran, HMI harus menjadi “ruang perjumpaan” mahasiswa Islam yang plural itu untuk berproses bersama memikirkan Islam, bangsa, beserta tantangannya. Maka, hanya ada dua syarat untuk menjadi anggota HMI yaitu status mahasiswa dan beragama Islam.
HMI tak membedakan mahasiswa dari kampus umum atau kampus Islam. HMI juga tidak memberi syarat khusus tentang keislaman anggotanya. Bila mau disebut syarat, hanya syarat paling minimal, yaitu Islam yang telah mengucapkan syahadat.
Dengan begitu HMI membuka lebar-lebar pintunya bagi setiap mahasiswa yang beragama Islam. Pantas sejak berdirinya hingga sekarang, HMI menjadi “rumah bersama” mahasiswa Islam dari yang paling abangan, urakan, hingga paling santri. Dari yang bercelana jeans koyak hingga bercelana cingkrang atau berjubah. Dari yang berambut panjang, sekadar berkerudung, hingga bercadar.
Di HMI beragam aliran dan kelompok Islam seperti NU, Muhammadiyah, al-Wasliah, Syiah, Sunni, Syarikat Islam, Persis, Perti, Jamaah Tablig, HTI, bahkan Ahmadiyah berproses bersama tanpa pernah merasa paling benar. Dengan demikian HMI seolah menjadi potret miniatur umat Islam di Indonesia yang beraneka ragam.
Celakanya—kemudian juga menjadi kelebihan—adalah HMI memosisikan diri sebagai organisasi mahasiswa independen. HMI tidak menjadi underbow partai politik dan organisasi Islam mana pun. Dengan demikian, HMI tak memiliki imam besar sebagai panutan yang wajib ditaati tanpa kritis, kecuali keputusan pengurus yang menjabat saat itu.
Tiada pribadi atau institusi yang mampu menyetir HMI secara tunggal, termasuk para alumni yang sebagian tergabung di KAHMI. Berbeda dengan organisasi mahasiswa lain yang muncul belakangan seperti PMII yang berkiblat ke NU, IMM yang berkiblat ke Muhammadiyah, atau terakhir KAMMI yang dekat dengan PKS. Training-training HMI diisi oleh instruktur dari beragam disiplin ilmu, mazhab, dan organisasi lain.
Lantaran tak punya imam besar yang wajib ditaati secara mutlak seperti kelompok keagamaan tertentu, maka HMI menyerahkan sepenuhnya persoalan rujukan keislaman pada setiap pribadi untuk memilih sesuai yang diyakini.
Namun, HMI menyediakan ruang untuk mendiskusikan secara dialektis setiap aliran pemikiran keislaman. HMI hanya berperan sebagai “ruang semai” pemikiran keislaman anggotanya yang masih muda belia.
Kelak setelah memasuki dunia pasca mahasiswa, mereka akan mengembangkan pemikiran keislaman sendiri yang khas seperti Adi Sasono dengan Islam yang kerakyatan, Nurcholis Madjid dengan Islam yang inklusif, Moeslim Abudrrahman dengan islam yang transformatif, Amien Rais dengan Islam yang nasionalis, Syafii Maarif dengan Islam multikultural, atau Munir dengan Islam yang membela yang lemah.
Memang saat di HMI beberapa kader berhasil menumbuhkan pemikirannya sebagai rujukan organisasi menjadi Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang disusun oleh Nurcholis Madjid, Sakib Mahmud, dan Endang Saefudin Anshari. Namun, NDP bukan barang mati yang anti kritik. Ia terbuka untuk diperdebatkan, ditafsirkan, bahkan direkonstruksi.
Meski coraknya beragam, ada ciri khas kental yang dapat ditemui pada anggota dan alumni HMI di berbagai bidang seperti akademisi, politikus, birokrat, maupun pengusaha. Kader HMI tak lagi mempertentangkan visi keislaman, kebangsaan, dan kemodernan.
Mereka dengan percaya diri turut aktif berkhidmat kepada bangsa dan negara di saat banyak kalangan Islam yang masih menganggap Pancasila, Burung Garuda, dan Bendera Merah Putih sebagai thaghut yang tak layak dihormati.
Pada konteks inilah para kader HMI turut berjasa menjaga Pancasila agar tak digoyang siapa pun yang berniat mengubah ideologi negara Pancasila menjadi ideologi agama, kapitalis, sosialis, atau komunis.
Meskipun demikian, kader HMI terbuka untuk mempelajari serta mendiskusikan beragam ideologi tersebut pada setiap training maupun kajiannya. Karena itu, kader HMI umumnya percaya diri menampilkan dirinya sebagai orang islam sekaligus orang Indonesia yang siap menerima kemodernan.
Lintas Agama. Kepercayaan dalam memegang nilai keislaman, kebangsaan, dan kemodernan itulah yang membuat kader HMI tak ragu melakukan kerjasama dengan beragam komponen bangsa lintas aliran dan agama.
Bila saat ini beberapa kalangan umat Islam menghujat warga Nahdliyin karena bekerjasama dengan umat Kristen atau Konghucu di saat perayaan natal atau imlek, maka sebetulnya kader HMI sejak 1972 telah menjalin kerjasama dengan penganut agama Katolik dan Kristen untuk mengawal Bangsa Indonesia mencapai cita-citanya.
Ketika itu HMI—bersama PMII yang mewakili mahasiswa Islam—di tingkat pengurus besar telah menjalin kerjasama dengan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) membentuk Kelompok Cipayung untuk menyikapi beragam persoalan kebangsaan.
Memang harus diakui kerjasama lintas ideologi tersebut mengalami pasang surut tergantung kondisi sosial politik yang berkembang dan pengurus yang menjabat. Namun, kesediaan kerjasama itu jadi modal dasar membangun bangsa yang multikultural.
Saat ini HMI bersama Kelompok Cipayung menjadi komunitas penyangga (buffer community) dalam menghalau sentimen sektarian dan politik identitas yang marak kembali di media sosial.
Bahkan baru-baru ini para pendiri Kelompok Cipayung melalui alumni Kelompok Cipayung bertekad tetap bersama-sama mengawal NKRI agar tidak berbelok arah dan mengancam kebhinekaan bangsa.
HMI ibarat `penjaga bandul` agar bangsa ini tidak terseret pada ekstrim kiri atau ekstrim kanan. Maka di usia yang ke-69 tahun ini, kerjasama seperti Kelompok Cipayung perlu dipererat hingga ke tingkat cabang untuk menjawab persoalan kebangsaan di setiap daerah yang berbeda.
Hingga 2016, HMI memiliki 205 cabang yang tersebar hampir di setiap pelosok kabupaten dari Sabang sampai Merauke yang memiliki perguruan tinggi. Jumlah itu hampir separuh dari jumlah kabupaten di Indonesia yang berjumlah 416.
Tentu HMI bersama Kelompok Cipayung harus bekerjasama untuk menguatkan kembali basisnya di kampus. Karena diakui atau tidak, jumlah mahasiswa yang mengenal organisasi ekstra kampus semakin sedikit.
Walau demikian, HMI tak boleh berkecil hati, karena gejala itu bukan monopoli organisasi ekstra kampus saja. Semua organisasi mahasiswa—dari klub seni, klub olahraga, hingga klub pecinta alam—menghadapi tantangan yang sama. Pembatasan waktu kuliah dengan sistem paket membuat mahasiswa tak punya pilihan kecuali hanya berkutat pada kegiatan akademis.
Dirgahayu HMI, selamat merekatkan kembali bangsa yang nyaris terkoyak.