Beberapa minggu ini, topik LGBT kembali panas. Kalau tidak salah, berawal dari diskusi yang rencananya diadakan oleh Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC), Universitas Indonesia. Diskusi itu menuang berbagai komentar yang intinya menolak diskusi seperti itu diadakan.

Setelah itu, hampir semua ruang diskusi membahas soal LGBT. Dari yang biasa-biasa saja, hingga yang menyerupai histeria. (Histeria = reaksi yang ekstrem terhadap sesuatu, biasanya didorong oleh emosi seperti ketakutan atau marah).

Keberadaan LGBT, dan diskusi mengenai hal itu, adalah topik lama. Meski demikian, buat saya, ada diskusi lebih baik dari tidak ada diskusi. Adanya diskusi membuat berbagai sudut pandang bisa terangkat dan dipelajari.

Sudut pandang agama, tentunya, mendominasi pendapat soal LGBT. Dari sudut pandang agama yang mainstream, LGBT tidak bisa dibenarkan. Meski saya melihat ada berbagai pandangan non-mainstream soal topik ini. Bagaimanapun, ini adalah posisi awal diskusi.

Pertanyaan lanjutannya adalah: 1) berangkat dari pemahaman beragama kita, bagaimana sikap atau sentimen pribadi kita terhadap individu LGBT, dan 2) bagaimana kita membawa isu LGBT dalam ranah interaksi dan kebijakan publik?

Tentang yang pertama, sentimen pribadi. Saya melihat ada spektrum pandangan, dari yang simpatik seperti ajakan untuk mendoakan atau memberi pemahaman agama, hingga yang lebih ‘keras’ seperti seruan untuk menghapuskan atau ‘meluruskan’ orientasi seksual LGBT.

Yang menarik adalah, jika LGBT adalah dosa, maka itu bukanlah satu-satunya jenis dosa terkait moralitas yang kita lihat dalam hidup sehari-hari. Meninggalkan ibadah wajib, seks di luar nikah, juga bentuk dosa. 

Tapi kita masih bisa berinteraksi secara santai dengan orang yang kita tahu meninggalkan ibadah, yang memiliki hubungan seks di luar nikah, yang minum alkohol, misalnya (meski ya, ada juga yang ingin menghukum orang yang tidak puasa di bulan puasa dengan cara razia).

Dengan kata lain, banyak dari kita cukup bisa menerima untuk ko-eksis dengan berbagai jenis dosa lain, tapi tidak untuk dosa berwujud LGBT. Ada apa dengan LGBT, mengapa itu begitu spesial?

Mungkin betul, ada sebab lain di luar alasan agama. Karena banyak orang yang saya kenal dan memberikan reaksi penolakan terhadap LGBT bukan dari latar belakang yang biasa menggunakan argumen agama. “Sebab lain” itu agaknya terkait dengan sentimen dan praduga kita terkait seksualitas. Sesuatu yang berhubungan dengan apa yang “normal” atau “tidak normal”.

Saya tidak bisa berkomentar banyak soal ini, karena terkait dengan disiplin ilmu yang tidak saya tekuni. Tapi ada satu masa di mana publik di Amerika bisa sangat terganggu dengan hubungan antarras. Seorang kulit putih yang memiliki hubungan romantis (apalagi seksual) dengan kulit berwarna adalah sesuatu yang “tidak normal”, “melawan hukum alam” atau semacamnya.

Masturbasi, juga seks oral, pernah dilihat sebagai perilaku yang tidak normal, bahkan immoral. Sebaliknya, female genital mutilation alias sunat perempuan di banyak budaya, terutama yang patriarkismenya kuat, dianggap normal bahkan perlu untuk mengontrol “hasrat seksual perempuan agar tidak berlebihan”.

Poin saya adalah, ketika kita kira definisi “normal” itu jelas dan diterima, pada kenyataannya, “normal” bisa jadi konsep yang relatif dan belum tentu universal. Ketika LGBT ditolak dengan alasan manusia perlu mendorong perilaku hubungan normal, apakah kita semua sepakat apakah hubungan yang normal itu?

Buat saya, hubungan heteroseksual yang terdiri dari satu laki-laki dan beberapa istri bukanlah hubungan normal. Juga pernikahan yang melibatkan anak usia 16 tahun meski aturan saat ini masih membolehkan. Hubungan heteroseksual yang sifarnya patriarkis, buat saya, juga tidak normal.

Jika LGBT dihujat karena alasan ketaknormalan, apakah energi untuk melontarkan hujatan itu sama besarnya untuk perilaku “tidak normal” lainnya?

Menolak Apa? 

Sentimen yang sifatnya pribadi adalah satu hal. Pada akhirnya, sentimen adalah karakteristik spesies manusia, karena kita bukan bangsa Vulcan seperti Spock. Yang selalu tricky alias rumit adalah, pertama, seberapa jauh kita membolehkan sentimen pribadi (atau kelompok) menjadi dasar penilaian kita kepada orang lain.

Hari-hari ini, kalau kita melihat kampanye Pilpres AS, kita akan melihat dengan jelas bagaimana sentimen sebagian orang di sana terhadap kelompok agama dan ras tertentu membuat mereka bisa terlihat bodoh.

Ketika banyak orang bertepuk tangan pada Donald Trump yang punya ide mengharuskan muslim Amerika mengenakan label khusus, dan melarang muslim mancanegara masuk ke Amerika, kita tengah melihat bagaimana sentimen sedang bermain (dan dimainkan).

Pertanyaan lanjutannya adalah seberapa jauh sentimen pribadi kita – yang berasal dari agama maupun bukan – bisa menjadi dasar untuk meminta kebijakan publik tertentu?

Sebagai contoh, beribadah itu wajib menurut agama. Makan babi itu haram untuk orang Islam dan Yahudi. Tapi apakah itu cukup basis untuk menjadikan orang yang tidak beribadah, atau orang Islam yang makan babi, patut dihukum oleh negara?

Tentu ada banyak contoh di mana apa yang dilarang oleh agama juga dilarang oleh hukum. Mencuri, misalnya – tapi itu bukan semata-mata karena agama mengatakan mencuri itu dosa, melainkan ada kerugian bagi individu lain (dan kerugian sosial jika yang dicuri adalah barang milik negara atau publik).

Atas dasar itulah saya menolak argumen yang menyimpulkan, karena Indonesia adalah negara berdasarkan ketuhanan, sementara LGBT bertentangan dengan agama, artinya LGBT tidak boleh ada di Indonesia. Logika itu sama saja dengan mengatakan orang yang tidak puasa atau tidak salat tidak boleh ada di Indonesia.

Itu membawa kita pada kebutuhan untuk mendiskusikan seruan “Tolak LGBT”. Mulai dari pertanyaan mendasar: apa yang ditolak?

Kemungkinan pertama, yang ditolak adalah legalisasi pernikahan LGBT di Indonesia. Jika ini kasusnya, maka ini adalah penolakan terhadap sesuatu yang tidak ada. Sejauh yang saya tahu, belum ada tuntutan riil – dalam arti pembahasan soal dasar hukum, bahkan sekadar petisi – ke arah situ.

Kalaupun ada, pranata hukum dan politik di Indonesia saat ini sangat mudah untuk menghalangi hal itu jadi kenyataan. Lepas dari itu, saya pun belum yakin apakah isu pernikahan adalah sesuatu yang memang disepakati dan diperjuangkan LGBT dan kelompok advokasi LGBT di Indonesia, ketika banyak isu yang lebih perlu dijadikan prioritas.

Ketika kemungkinan akan legalisasi pernikahan LGBT di Indonesia sedemikian kecil, mengapa seruan ‘tolak LGBT’ tetap keras? Saya merasa perlu mencari berbagai kemungkinan lain.

Kemungkinan kedua, lepas dari soal ingin menikah atau tidak, yang ditolak adalah keberadaan individu atau kelompok LGBT. Meski ini menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Apakah maksudnya seseorang yang memiliki orientasi non-heteroseksual tidak bisa eksis atau diakui negara, dan implikasinya tidak memiliki hak untuk mendapat keamanan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan sebagainya?

Saya berharap bukan ini alasannya. Saya masih bersyukur bahwa dari berbagai argumen, mayoritas tetap setuju bahwa diskriminasi terhadap individu LGBT tidak dibenarkan. Ada yang mempertanyakan, memang diskriminasi apa sih yang dialami LGBT, toh selama ini mereka tetap bisa sekolah dan bekerja?

Betul, dan justru itulah Indonesia yang ingin kita pertahankan. Meski sayangnya, saat saya memulai menulis artikel ini, sudah ada berita penyerangan pondok pesantren waria di Jogja, dan selebaran bernada ajakan untuk melakukan kekerasan kepada LGBT dari sebuah kelompok.

Kemungkinan ketiga, yang merupakan variasi dari kemungkinan kedua, adalah penolakan terhadap “penyebaran atau promosi paham atau perilaku LGBT”. OK, meski pernyataan ini terdengar sederhana, tapi tetap memiliki derajat ambiguitas yang tinggi.

Apa maksudnya menyebarkan atau mempromosikan LGBT? Jika yang dimaksud adalah public display of affection antara dua orang homoseksual, bukankah sudah ada aturan formal maupun norma yang menghalangi hal itu? (Atau jika Anda heteroseksual, maka Anda boleh bermesraan di publik?)

Atau maksudnya, batasi acara di TV yang menampilkan aktor kebanci-bancian, seperti yang sudah dilakukan KPI, supaya tidak mendorong penonton, khususnya anak-anak, mengikuti perilaku mereka? Baiklah, generasi saya tumbuh sambil menonton Tessy Srimulat, Ester Jayakarta Group, dan lainnya.

Dan mereka membuat banyak orang menjadi transgender? Atau sebaiknya film atau karya seni yang bertema LGBT tidak dibolehkan? Apakah itu termasuk film The Imitation Game, Mrs. Doubtfire, atau lakon Banci Gugat oleh Teater Koma?

Meski sejujurnya ada sisi yang saya sepakati. Bahwa televisi kita perlu lebih banyak memproduksi acara-acara yang berkualitas. Saya sepakat, banyak aktor atau pembawa acara yang bergaya “kebanci-bancian” di televisi hari-hari ini tidak memberi nilai tambah pada pemahaman soal LGBT, bahkan menciptakan stereotip.

Pendapat lain yang saya dengar adalah, sebaiknya kita menerapkan prinsip don’t ask, don’t tell. Jika itu yang dimaksud, maka pertanyaannya adalah, apakah benar itu akan membuat keadaan lebih baik? Bukankah adanya diskusi yang sehat lebih baik dari menganggap bahwa LGBT tidak eksis?

Saya khawatir, arah dari ide ini adalah menutup ruang diskusi dan ekspresi. Sangat mudah jadinya untuk melabeli acara diskusi sebagai ‘menyebarkan LGBT’ sehingga tidak diizinkan. Dan lebih parah, memberi legitimasi untuk pembubaran paksa dengan kekerasan.

Poin saya, sebuah sentimen dan prasangka tidak bisa cukup jadi alasan untuk kebijakan publik. Karena kalau benar, maka apa yang membedakan kita dengan mereka di belahan bumi lain yang memiliki sentimen atau prasangka terhadap agama tertentu dan ingin menjadikannya sebuah kebijakan?

Problem Sesungguhnya

Sentimen berlebihan terhadap LGBT (yang saya katakan mendekati histeria), menimbulkan beberapa masalah. Minimal, histeria membuat kita sering terjebak dalam kesalahan logika sehingga keluarlah pernyataan-pernyataan lucu dari pejabat setingkat menteri (“LGBT adalah proxy war dan lebih bahaya dari senjata nuklir,” kata Menteri Pertahanan di sebuah negara yang tidak bisa saya sebutkan).

Bisa lebih parah, sentimen itu bisa membuat penglihatan kita terhadap suatu masalah menjadi kabur dan bergeser, dan kebijakan yang diambil pun keliru.

Berbicara soal kebijakan publik, prinsipnya adalah menanyakan apa masalahya, dan apa solusinya. Sekarang coba kita telaah apa yang menjadi masalah dan perlu diatasi oleh kebijakan.

Pertama, kekhawatiran bahwa spesies manusia akan punah jika populasi LGBT makin besar. Ini adalah kekhawatiran yang memiliki banyak kelemahan. 

Kalau memang LGBT dianggap “tidak normal”, ya tentu populasinya tidak akan pernah signifikan untuk memengaruhi pertumbuhan penduduk (kalau ya, nah namanya manusia sudah mengalami evolusi dan LGBT adalah kondisi normal yang baru – tapi artinya ini mengontradiksi premis awal).

Lagi pula, kalau ini yang jadi kekhawatiran, maka harusnya populasi jomblo serta mereka yang melakukan hubungan tapi tidak bertujuan mendapatkan keturunan juga harus diprotes. (Omong-omong, menarik juga karena di lain waktu kita concern dengan penduduk yang banyak; ketika masuk ke soal LGBT, kita takut penduduk akan berkurang).

Kedua, soal perlindungan anak dan pelecehan seksual. Ini sesungguhnya adalah ruang di mana semua orang bisa sepakat. Kita menentang predator seksual yang menargetkan anak-anak, apa pun orientasi seksualnya.

Histeria pada LGBT bisa-bisa malah mengalihkan kita dari fakta bahwa predator heteroseksual juga sangat banyak, bahkan yang berprofesi guru agama sekalipun (dan kita juga tidak mengalami histeria anti-guru agama toh?) Itulah mengapa pengenalan soal seks dan seksualitas sejak dini jadi penting.

Demikian halnya dengan pelecehan seksual. Banyak rekan-rekan saya sesama pria bercerita, betapa mereka tidak nyaman, bahkan jijik, berada di dekat waria. Ada yang pernah marah-marah cerita soal pengalaman pribadi atau orang lain yang diajak kenalan, didekati, bahkan dilecehkan oleh gay.

Saya bersimpati. Tapi ini bisa sekaligus menjadi ujian konsistensi. Apakah mereka juga marah ketika mendapat sexual advance dari lawan jenis, atau malah bangga? Apakah rekan-rekan itu juga punya simpati yang sama dengan perempuan yang mengalami pelecehan, bukan hanya fisik, tapi juga verbal, atau virtual (misalnya lewat gurauan atau meme seksis di grup WhatsApp?) Apakah ketika mendengar cerita pelecehan seksual laki-laki terhadap perempuan, ada kemarahan yang sama?

Jangan-jangan, kemarahan itu bukan karena soal perasaan tidak nyaman (uncomfortable), melainkan tidak aman (insecure) ketika sisi maskulinitasnya ditantang. Jika ini kondisinya, maka problemnya ada di rasa tidak aman itu. Semua berawal dari pikiran, maka kita harus adil sejak dari pikiran, mengutip Pramoedya Ananta Toer.

Ketiga, terkait penyakit menular seksual. Maraknya LGBT dianggap jadi alasan makin meluasnya penyebaran HIV/AIDS. Memang, jika melihat data di AS, mayoritas ODHA (baik ODHA lama maupun kasus baru) adalah homoseksual. Dan risiko penularan dari hubungan seksual laki-laki dengan laki-laki lebih tinggi dari lainnya (meski risiko yang mendekati pasti adalah melalui transfusi darah, lalu lewat jarum suntik).

Tapi secara global, sebenarnya proporsi terbesar kasus HIV/AIDS ada dari kelompok heteroseksual. Di Indonesia pun begitu, 61 persen ODHA yang teridentifikasi adalah heteroseksual, dan jumlah yang signifikan adalah ibu rumah tangga. Jadi ketika kita bicara soal HIV/AIDS, data menunjukkan bahwa problem yang besar justru ada di titik yang tidak kita kira.

Sentimen vs Data

Yoda, tokoh fiktif dalam Star Wars, pernah berkata, “ketakutan membawa kebencian, kebencian membawa amarah, dan amarah membawa penderitaan.” 

Menyimak histeria diskusi LGBT belakangan ini, ungkapan Yoda ada benarnya; dengan sedikit modifikasi: ketidakpahaman membuat ketakutan, ketakutan membawa kebencian dan amarah.

Di sinilah perlunya basis penelitian, data dan bukti yang kuat akan berbagai fenomena sosial. Banyak perdebatan menarik yang terjadi, baik dari aspek ideologi, hukum (termasuk hukum agama), dan sebagainya. Akan lebih kuat jika kita punya basis bukti yang bisa mendukung berbagai klaim.

Misalnya, berapa banyak sebenarnya kasus pelecehan seksual terhadap anak, berapa yang melibatkan heteroseksual dan homoseksual. Berapa besar sesungguhnya peluang orang untuk bisa berubah orientasi seksual, sehingga kita bisa memutuskan apakah “penularan LGBT” itu benar ancaman nyata atau ketakutan berlebihan.

Adanya data, seperti data tentang HIV/AIDS, juga sering tidak cukup untuk mengubah persepsi yang telanjur terbentuk. Ini yang disebut sebagai confirmation bias – orang cenderung mencari informasi atau data untuk mendukung kesimpulan yang sudah ada.

Tapi tetap, adanya data mutlak diperlukan untuk pengambilan kebijakan publik. 

Saya berharap dalam isu LGBT ini banyak akademisi merasa terpanggil untuk berkontribusi pada basis pengetahuan dan bukti. Akademisi boleh berpihak pada satu pandangan atau ideologi, tapi objektivitas, ketaatan pada metodologi, serta kejujuran (misalnya kejujuran dalam mengutip buku panduan gangguan jiwa) mutlak diperlukan.

Adanya basis data dan bukti tidak lantas memaksa orang mengubah posisinya, terlebih paham jika itu berangkat dari keyakinan agama. Adanya data justru melengkapi keberagamaan seseorang.

Data membuat kita lebih paham tentang apa yang bahaya dan apa yang bukan. Juga membuat kita bersikap adil, terutama adil terhadap pikiran kita sendiri, dengan tidak mengasosiasikan LGBT dengan kemerosotan moral, karena heteroseksual pun punya kontribusi.

Suatu saat, dan saya harap saat itu segera, LGBT bisa dibahas secara objektif dan rasional, menggunakan data dan bukti, bukan histeria.