Saya bertanya-tanya dalam hati, apakah pemikiran Mochtar Lubis tentang karakter manusia Indonesia memang benar? Menurutnya salah satu karakter manusia Indonesia itu hipokritis atau munafik. 

Sejauh ini, rumah-rumah pesohor yang ditayangkan di TV ngga ada yang lebih mengganggu mata saya melebihi tampilan interior rumah Ruben Onsu di acara Diary The Onsu. 

Terkadang saya memang terjebak nonton siaran TV kita yang ngga ada mendidik-mendidiknya itu. Berdasarkan data penelusuran dan tangkapan layar google, luasan rumah berkisar antara 2200 - 2500 m2, dan terletak di bilangan elit kawasan Perumahan Pondok Indah-Jakarta. Konon harganya lebih dari 70 Milyar Rupiah. Artinya rumah Ruben adalah rumah yang super istimewa. 

Di Indonesia, trend yang berlaku, rumah dengan harga di atas 1,7 Milyar, biasanya sudah merupakan hasil konsultasi dengan seorang Arsitek untuk bentuk luar dan Desainer Interior untuk perancangan ruang dalam. Kalaupun belum terbiasa dengan mekanisme tersebut, atau tidak ada dana untuk membayar 2 tools di atas yaitu Arsitek dan Desainer Interior dapat diantisipasi dengan cara lain. 

Mengapa saya mengasosiasikan seorang Arsitek dan Desainer Interior itu tools? Karena secara literary memang kedua profesi tersebut adalah alat yang menjembatani keinginan, impian pemilik properti untuk dapat diwujudkan secara baik dan benar.

Hari-hari belakangan ini banyak bertebaran konten dengan bahasan desain rumah yang bertebaran di berbagai platform media sosial.  Gen milenial, gen Z pasti sudah terbiasa dan dengan mudah mencari inspirasi terkait apapun yang indah-indah bahkan lengkap dengan tips DIY (Do It Youself). 

Jika berbicara mengenai arti desain sendiri, adalah salah satu manifestasi kebudayaan, merupakan terjemahan fisik dari aspek sosial, ekonomi, dan tata hidup manusia. Bisa dikatakan sebagai cermin budaya di zamannya. Gunawan, 1986.

Kembali pada pembicaraan tentang rumah Ruben Onsu, bagi saya adalah salah satu contoh fenomena hipokritis. Wujud luar biasa casing yang kosong. Inkonsistensi sudah terlihat bahkan sejak di pintu masuk utama. Rak sepatu murahan menyambut di area sebelah kiri, murah di sini tentu saja dikaitkan dengan lokasi berikut harga rumah tersebut. 

Pun setelah pintu terbuka, laiknya standard rumah mewah, kita akan disambut dengan ruangan kecil yang biasa disebut dengan foyer. Dinding utama foyer dilapis dengan kertas lapis (wallpaper) motif bunga-bunga yang sudah ketinggalan jaman. Dilengkapi cermin, meja dekoratif yang biasa kita sebut credenza, kursi kayu gaya jepara yang biasa buat acara kawinan dan karpet dengan tulisan besar The Onsu. 

Beberapa ruangan yang ditampilkan secara acak bergantian, setelah penampakan lay out rumah dari udara (memakai drone), kemudian halaman depan, foyer, ruang  keluarga, dapur, ruang tidur utama, kamar anak sepintas, ruang cuci baju (area servis), kolam renang besar tapi kotor tidak terawat dan teras yang biasanya untuk acara memasak porsi besar.

Pada area-area publik seperti ruang keluarga, dapur, ruang makan, kolam renang, selain isinya terlihat ngasal dan tidak sesuai dengan tampak arsitektur rumah secara keseluruhan, saya juga tidak menemukan barang-barang yang sifatnya personal untuk rumah di mana pemiliknya memiliki anak-anak usia remaja dan balita. 

Perlengkapan interior rumah seolah-olah sebuah settingan yang salah tempat dan tidak terencana sama sekali. Bukan nyinyir tapi balik lagi karena kita bicara rumah dengan tampilan dan harga fantastis. Dalam dunia interior, arsitektur yang saya geluti puluhan tahun, memang bisa dikatakan bahwa secara umum masyarakat kita lebih fokus pada tampilan luar bangunan. 

Hal ini terjadi di berbagai variasi level kelas sosial.  Alokasi dana yang harus disediakan bagi kebutuhan ruang dalam ideal, secara garis besar bisa dipersentasekan di angka 30. Hal tersebut jarang terjadi. Alokasi dana sering sudah terserap pada tampilan fisik. Fokus utama lebih pada tampilan luar atau chasing. 

Tetap sih, ada juga memang yang konsisten menjaga tampilan fisik luar selaras dengan tampilan dalam, jadi ada benang merah konsep yang berkelanjutan, atau kebalikannya tampilan luar jauh lebih sederhana dibandingkan dengan tampilan dalam rumah, namun persentasenya sedikit.

Apabila dibandingkan dengan berbagai kota di negara maju, apalagi di negara yang memiliki indeks bahagia tertinggi yakni Finlandia dan negara-negara Nordik sekitarnya seperti Denmark, Norwegia, Swedia dan Islandia. 

Tampilan Arsitektur/tampilan luar bangunan relatif selaras dengan tampilan ruang dalamnya. Apabila tampilan luarnya sederhana, dalamnya-pun rata-rata sama. Begitu pula dengan rumah menengah dan mewah, relatif konsistensi terjaga. 

Hampir dipastikan, kita tidak akan mengalami keterkejutan estetik, terkecoh tampilan luar atau chasing semata. Kemampuan finansial bisa dikatakan berbanding lurus dengan benda-benda yang menjadi simbol kepemilikan. Bisa jadi karena ketatnya peraturan tentang pembangunan dan juga fungsi pajak hingga membuat mereka memilih untuk terlihat lebih jujur dan apa adanya. 

Hal ini yang memantik pemikiran saya, bila kita kaitkan dengan teori Mochtar Lubis dan Gunawan dalam paragraf awal, tentu kondisi kita tidak baik-baik saja. Begitu sulit bagi kita untuk merepresentasikan diri jujur apa adanya bahkan dalam bangunan yang kita punya. Sedemikian rupa, ditambah dengan kelas menengah baru di Jakarta maupun kota-kota besar lain, perkembangan media sosial yang semakin pesat. 

Citra simbol gaya hidup yang diandaikan bisa menjadi representasi kelas sosial tertentu menjadi kebutuhan utama. Kebutuhan akan simbol gaya hidup yang mentereng sebagai representasi kisah sukses, menangguk pandang kagum, tak peduli hasil dari utang, tipuan atau korupsi yang berlimpah-limpah. 

Representasi artinya dia bukanlah materi itu sendiri hanya sekedar chasing, kulit luar. Dia hanyalah tanda menunjukkan suatu nilai, yakni sukses. Chasing kemudian menjadi otonom, sukses atau tidak sukses, hutang atau tidak,  perusahaan belum mengangguk profit atau tidak, simbol gaya hidup sudah harus sukses. Tidak terlalu keliru rasanya jika kita memang sering terpukau akan hal-hal yang berada dalam tataran kulit luar. 

Malu apabila identitas diri sesungguhnya ditampilkan, lebih nyaman merepresentasikan imaji kosong. Saya menduga lamanya sistem feodal di masa lalu  yang meletakkan bibit hiprokritis pertama sebagai karakter khusus masyarakat kita. Sistem feodal di masa lalu menindas orang Indonesia demikian lama, sehingga membelenggu keberanian menyuarakan apa yang dikehendaki sesuai dengan hati nuraninya. 

Hipokritis atau munafik berikut maknanya secara luas sebagai berpura-pura percaya, kecenderungan mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya. Jika ditarik ke sejarah Indonesia yang mengalami masa penjajahan demikian lama, salah satunya disebabkan karena banyaknya kaum hipokrat yang membantu para penjajah demi kepentingan diri sendiri.

Bermuka dua secara  tidak sadar menjadi kecenderungan sikap dengan alasan apapun, ewuh pakewuh atau tindakan mencari aman untuk mendapatkan pujian. 

Tidak apa-apa dalemnya remuk atau kosong asal tampilan luar terlihat indah dan baik-baik saja. Bisa jadi bangsa lain kasihan melihat kita, tapi jangan lupa, kita  bahagia menjalaninya dan sudah menjadi bagian dari budaya. Tidak mengherankan jika hal ini berkembang ke wilayah desain. 

Jika desain sebagai cermin budaya di zamannya. Hipokritis dalam desain adalah menjadi sebuah kewajaran.

Tradisi kebudayaan semacam ini yang sedang kita jalani dan wariskan untuk masa mendatang? Kita mempunyai banyak pilihan, kita yang menentukan.