...menjadi singa yang terkangkangi oleh sosok yang dianggap lemah.

Kisah Perubahan Berkeyakinan Melalui Peperangan

Ajakan beriman melalui jalan perang memang ada. Dalam catatan sejarah, memang menjadi fakta bahwa sebagian penyebaran agama Islam di Jawa, adalah melalui jalan perang.

Bagaimana Raden Patah, sang putra raja Majapahit Bhre Vijaya V atau dikenal sebagai Kertabhumi, dari seorang selir yang berasal kawasan Tiongkok, yang tak diakui sebagai Putra mahkota, lalu memberontak memerangi sang ayahanda.

Disisi lain, Surya Majapahit, simbol kerajaan Majapahit saat itu tengah memudar. 

Daerah pusat jawara Majapahit, yakni Wengker, sekarang Ponorogo, sudah tak berkenan memberi dukungan keamanan dan pertahanan, yang kemudian jawara-jawara Wengker mengkreasi suatu tarian satir yang merisak kerajaan Majapahit waktu itu, yang sekarang dikenal sebagai Reog Ponorogo. 

Dalam tarian itu, ada adegan singa raksasa yang memanggul dan mematuhi wanita atau sosok lemah gemulai lagi kemayu. Menggambarkan betapa Majapahit waktu itu telah menjadi singa yang terkangkangi oleh sosok yang dianggap lemah.

Raden Patah dan pasukan muslim dari Demak berhasil menghancurkan pertahanan Majapahit, yang lalu sisa-sisa masyarakat Hindu mengungsi ke area Tengger, bahkan menyebrangi Blambangan, sekarang Banyuwangi, kemudian mereka menetap di wilayah Bali.

Akhirnya, sang Raden Patah pun menyesali juga perbuatannya. Anak muda ini telah mengabaikan ajakan Sunan Ampel guru spiritualnya, agar tak pernah menyerang sang ayahanda. 

Namun, Kertabhumi, sang ayah, mau menerima keadaan karena memaklumi bahwa keruntuhan kerajaannya, sudah menjadi kehendakNya. Konon, Bhre Vijaya V pun lalu berdamai dengan sang putra, dengan memeluk Islam.

Ratusan tahun kemudian, Bhre Vijaya V dan sang putra pun Islah dalam bentuk sebuah Universitas di Jatim, yakni UB.

Brawijaya nama Universitasnya. Raden Patah nama masjidnya. Semoga sang ayah dan sang putra, telah berdamai dan tenteram di alam Barzah, alam antara sebelum alam akhirat. 

Adapun kisah keduanya bisa menjadi hikmah bagi generasi penerus bangsa, bahwa suatu perubahan bisa terjadi tanpa disangka-sangka, melalui jalan yang sama sekali tak nyaman.



Leluhur Nusantara yang bagaimana?

Leluhur Teladan Adalah Mereka yang Beramal Saleh.

Adapun sejak keruntuhan Majapahit, pusat kerajaan Islam pun pindah ke Jawa Tengah, yaitu poros Demak hingga Mataram, yang selama ratusan tahun pula selalu ada pertikaian berdarah di wilayah tersebut, yang inti penyebabnya adalah justru perebutan kekuasaan berdasar trah leluhur, yakni keturunan Majapahit.

Hingga, menjelang pertengahan abad ke-17 masyarakat Jawa punya musuh bersama yakni bangsa Eropa, yakni Belanda dengan armada kongsi dagang bernama Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC, yang waktu itu pula tengah marak terjadi persaingan antar kerajaan di Eropa dengan melakukan ekspedisi dan berkoloni di kawasan lain bangsa yang dianggap lebih lemah, inferior, dalam bingkai; Gold, Glory, Gospel.

Artinya, jalan peperangan bisa terpilih sebagai jalan akhir oleh suatu kaum yang merasakan bahwa koloni bangsa lain tersebut adalah sebuah penindasan.

Bagi orang-orang muslim, melawan penindasan, memang diajarkan. Bahkan, tertuang dalam kumpulan Kalam-Kalam Ilahiah, kitab suci Al Quran.

Banyak surah dan ayat yang mengajarkan bagaimana kaum muslim, orang-orang yang berserah diri, memerangi orang-orang yang belum beriman dan terutama, mereka yang memusuhi dan menindas kaum muslim.

Islam memang menawarkan perubahan yang lebih baik. Sebagai hikmah dari perjalanan hidup Raden Patah, maka bisa jadi saat memberontak terhadap sang ayahanda, dikarenakan Raden Patah melihat ada ketidakadilan dalam tatanan sosial masyarakat Majapahit waktu itu.

Jadi, ajakan untuk terlalu menyanjung leluhur Nusantara, juga kurang tepat. Leluhur Nusantara yang bagaimana?

Mereka yang menyembah patung berhala? 

Mereka yang bermain-main dengan ilmu hitam, yang mengancam nyawa orang lain secara tak kasatmata? 

Mereka yang melakukan ritual mengundang dedemit?

Mereka yang mendahulukan sesajen, sementara sajian bagi makhluk tak kasatmata itu bisa menjadi sedekah bagi mereka, manusia di dunia nyata, yang benar-benar membutuhkan?

Mereka yang membuat kelas-kelas dalam menentukan tatanan sosial?

Termasuk lain-lain hal berupa perilaku serupa itu semua, yang bahkan berlaku hingga kini.

Tentu bukan perilaku leluhur yang seperti itu. Melainkan teladan leluhur yang mencerminkan tabiat orang-orang saleh.



...saat kiamat terjadi, dalam keadaan yang tenteram dan berserah diri.

Agar Kiamat Bukan Ditemui Sebagai Adzab.

Dalam perspektif kaum muslim, maka kunci beribadah mereka ada dalam pemaknaan terhadap Al Quran dan Hadis.

Dalam Al Qur'an, pada empat surah awal, yakni; Al Baqarah, Al Imron, An Nisa, Al Maidah berisikan tentang hukum dan norma bermasyarakat dalam cakupan bertauhid, mengakui akan keEsaanNya.

Termasuk, bagaimana memerangi orang-orang yang belum beriman semasa perjuangan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalaam, bahkan hingga detail tersurat sebagai Kalam Ilahiah.

Selebihnya adalah surah dan ayat tentang hikmah atas kisah-kisah orang terdahulu baik yang saleh, yakni para Nabi dan Rasul, maupun bagaimana berkesudahannya orang-orang yang ingkar akan pesan-pesan para Nabi dan Rasul seperti  sebagian kaum Nabi Nuh, lalu orang-orang Madyan, 'Ad, Tsamud, Sodom, hingga Firaun beserta bala tentaranya.

Juga, terdapat Kalam-Kalam Ilahiah yang tersurat pun tersirat tentang ilmu pengetahuan, sains, teknologi, moral, sosial ekonomi, harta waris, bagaimana gambaran neraka dan surga, serta banyak hal yang bisa membimbing kaum muslim untuk bisa menjadi teladan, agar berperilaku memuliakan sesama dan seisi bumi.

Supaya, manusia dan seisi bumi mengalami akhir waktu nanti saat kiamat terjadi, dalam keadaan yang tenteram dan berserah diri. Bukan sebagai adzab.

Selebihnya, dalam konteks menjadi beriman dan berserah diri, maka adalah sabda Sang Rasul, Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalaam, bisa menjadi acuan dalam beribadah sehari-hari beriring setiap langkah menjalani titian hidup menuju masa depan, yakni; "Man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu."

"Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya."

Menekuni proses menjadi beriman yang sering kali melalui jalan tak nyaman, bisa menuai hikmah mengenal lebih dekat diri sendiri, yang tiada lebih adalah sekedar makhluk ciptaan.