Hijrah. Kata ini mulai memasuki kehidupan saya beberapa tahun terakhir ini. Tidak tahu dari mana asalnya, hampir setiap hari saya mendengar kata ini. Sehingga saya putuskan untuk meng-essai-kan fenomena ini dilihat dari sudut pandang budaya yang dimahfumi umum. Sebab orang-orang yang berbudaya membudayakan untuk membaca dan menulis, dan bukan membakar buku.
Pertama kali saya mendengar kata itu dari seorang teman yang masih berusia 20-an tahun. Ia berbicara tentang sesuatu konsep yang baru bagi saya. Konsep yang terlalu berlebihan, sepertinya, pengharaman terhadap berbagai hal.
Sejak memutuskan untuk berhijrah, si teman tadi berangsur-angsur mulai berubah. Semula ia mencinta seni musik. Selanjutnya, sangat ekstrem, ia memperlihatkan kepada saya video saat ia membakar gitar listriknya.
Tuhan, apa yang ada di pikirannya. Bukankah itu perbuatan mubazir? Dan mubazir itu dilarang agama? Membakar sesuatu barang yang didapatnya dari mengumpulkan uang sedikit demi sedikit selama hampir setahun penuh? Atau apapunlah terminologinya, tetap saja berarti ia tidak menghargai kerja kerasnya sendiri. Lalu bagaimana mungkin ia dapat menghargai penciptanya jika ia tidak bisa menghargai dirinya sendiri?
Ia beralasan, tidak ada satu ketetapan pun yang bisa membuat ia harus percaya bahwa musik digunakan di zaman Rasulullah. Sehingga ia harus meninggalkannya. Dan tidak mungkin baginya untuk memberikan gitar itu kepada orang lain. Sebab, selagi gitar itu dimanfaatkan si penerima, maka ia akan terus menerus menerima dosa. Jadi, baik si pemberi ataupun si penerima sama-sama berdosa. Begitulah ia menceramahi saya tentang dosa kolektif itu.
Saya, sebagai seorang pecinta musik, terutama punkrock dan reggae, harus berusaha menahan emosi, yah emosi melihat tingkah lakunya yang semakin aneh dari hari ke hari. Aneh, menurut saya.
Ia selalu berbicara mengenai sunnah, sunnah dan sunnah. Tidak pernah, seingat pikiran saya, ia berbicara mengenai al-Qur'an. Bukankah sunnah adalah pendamping al-Qur'an? Yang utama adalah al-Qur'an, dan dilengkapi oleh sunnah. Begitulah pemahaman sederhana saya yang Islam karena sudah dari nenek moyang saya beragama Islam ini.
Selanjutnya, celana yang dipakainya mulai menggantung di atas mata kaki. Sebab, katanya, celana dengan ukuran ujung bawah yang menutup mata kaki berarti bersifat riya'. Sehingga sepasang sepatu bermerek Vans buatan Amerika yang digunakannya kelihatan jelas oleh setiap orang.
Ia pun terlihat mulai berani mengeluarkan pikiran barunya ini di Facebook. Saya, semula hanya iseng, berusaha bercanda dengannya di kolom komentar. Lantas, ia menanggapi serius sekali.
Saya beranalogi, jika seni itu haram, kenapa seorang yang sangat mencinta Allah sejenis Jalaludin Rumi menggunakan media syair, seruling dan tarian untuk mengungkapkan kerinduannya kepada penciptanya. Tapi ia tak memahami sindiran saya. Atau haruskah saya katakan kepadanya, "Jika kau membenci seni, kenapa masih juga ber-Facebook ria?"
Bukankah media sosial adalah seni berkomunikasi dengan menggunakan teknologi terkini? Terlepas dari beragama apapun para pencipta media sosial itu, mereka adalah pecinta seni dan ahli di bidang komunikasi dan teknologi! Dan berkat ciptaan mereka, kita terhubung dengan banyak orang tanpa batas ruang dan waktu. Berterimakasihlah kepada media sosial, dan bijaklah ketika menggunakannya.
Terus terang, saya banyak belajar dari syair-syair Rumi. Tapi si teman tadi mengatakan sesuatu yang sangat asing, entah apa itu, dengan tujuan saya seharusnya hanya percaya kepada Rasulullah saja, bukan berlindung kepada Rumi.
Bukankah kita butuh bantuan orang-orang yang ahli untuk memahami ajaran agama? Sebab ilmu kita masih level standard? Dan, sesuai minat saya terhadap seni sastra, syair Rumi sedikit banyaknya telah menambah kecintaan saya kepada Sang Pencipta. Apakah itu salah?
Selain itu, bukankah, dari banyak literatur disebutkan bahwa al-Qur'an pun adalah karya seni sastra yang sangat tinggi. Sehingga siapapun yang memplagiatnya pasti ketahuan secara alamiah. Satu ciri karya sastra yang dimiliki oleh al-Qur'an adalah tidak lekang oleh zaman.
Saya ingin mengatakan, jika seni itu haram, mungkin Islam tak akan hadir di sini. Sebab Wali Songo yang sesepuh tasawuf itu menggunakan media wayang untuk menyebarkan ajaran Islam. Wayang, dari bentuknya saja adalah berasal dari seni kerajinan tangan. Lalu ada gerakan, dan kata-kata yang bercerita. Tentu para wali punya alasan yang kuat untuk menggunakannya.
Begitu juga dengan al-Qur'an, adalah berisi kisah-kisah yang telah, sedang dan akan terjadi. Dengan menggunakan kata-kata yang sangat halus, dan berkias. Lalu kenapa kita mesti menafikan seni berkisah?
Tidak asing lagi bagi kita semua berbicara tentang film "Sang Pencerah". Lihatlah yang dibawa Ahmad Dahlan, yang seorang kyai haji yang bertahun-tahun belajar agama Islam di kota-kota tua tempat agama ini pertama kali berkembang, sewaktu pulang ke Indonesia. Bukan segala macam kitab, melainkan sebuah biola!
Apakah Wali Songo ataupun Ahmad Dahlan bersalah? Apakah saya juga bersalah karena telah menggunakan seni musik dan sastra dengan tujuan untuk menyuarakan suara-suara orang-orang yang tak bersuara di Palestina yang jauhnya hanya sebatas kacamata saya?
Apakah Cat Steven yang bernama muslim Yusuf Islam itu juga bersalah karena menggunakan gitar dan suaranya yang merdu untuk membantu anak-anak dan janda-janda korban perang? Bagaimana pula dengan grup musik Debu?
Lalu, apa tujuan Allah menciptakan ombak dengan bunyi yang indah, suara beburungan yang menenangkan di pagi hari, dan suara gemuruh geledek, dentuman gunung meletus dan berbagai nuansa alam lainnya?
Kita diciptakan bukan untuk diam, tapi berpikir. Dengan berpikir kita dapat memahami bahwa tidak ada kuasa apapun yang melebihi kuasa Allah. Allah menciptakan hal-hal yang pikiran kita sendiri tidak kuasa melakukannya.
Jika pun kita ingin menciptakan surga setelah kematian dan hari akhir nanti, terlebih dahulu kita juga harus menciptakan surga di bumi ini untuk bersama-sama orang lainnya. Yakni bumi yang nyaman untuk semua orang. Jangan hanya berpikir untuk pergi ke surga seorang diri. Sebab seindah apapun surga, jika berada di sana seorang diri saja tetaplah tidak enak. Bahkan Adam pun meminta Allah menciptakan teman baginya di surga, Hawa.
Sehingga terbiasalah mencari informasi secara lebih lugas. Jangan hanya dari satu sumber saja. Itulah kenapa para mualaf lebih pintar dari para penganut Islam keturunan seperti saya ini. Mereka telah membaca tiga kitab pendahulu; Taurat, lalu Zabur, kemudian Injil, dan ditutup dengan al-Qur'an. Sementara saya, harus berkerja keras dua kali lipat dari mereka.
Jujur, saya baru memulai menggali kitab-kitab sebelum al-Qur'an pada masa kuliah S1, di perpustakaan yang jaraknya sangat jauh dari jangkauan orangtua saya. Sebab sedari kecil saya hanya diberi satu kitab saja, al-Qur'an. Sedangkan jika saya berbicara sedikit saja tentang kitab-kitab lainnya, mereka akan berseru keras, "Haram!"
Kita harusnya mulai memahami kenapa ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah yang buta huruf itu adalah "Iqra", dan dilanjutkan dengan ayat "... dengan nama Tuhan-mu". Artinya, kita, jika ingin meningkatkan kualitas keimanan, harus banyak membaca. Baik yang tertulis maupun tak tertulis. Read between the line. Selanjutnya diselaraskan dengan ketuhanan Allah. Jika tidak selaras, maka harus kita tinggalkan.
Atau, seperti belajar bersepeda ketika kanak-kanak dulu. Semakin sering jatuh, maka kita akan semakin lincah bersepeda. Sebab beragama bukanlah perkara gampang. Selain horizontal, juga vertikal.
Singkatnya, kita harus membaca karya-karya Nietzsche terlebih dahulu untuk menyimpulkan ia seorang atheist. Jangan serta-merta menyimpulkan buah pikiran seseorang salah sebelum membaca tulisannya.
Begitu pula fenomena hijrah tadi. Satu yang terlintas di pikiran saya, kenapa kita harus dibawa kembali ke Arab di masa ratusan tahun silam, sementara Arab sekarang membuka ribuan pintu bioskop? Apakah orang-orang Arab tak paham al-Qur'an dan sunnah? Kita membutuhkan jasa penterjemah untuk memahami bahasa yang dipakai di al-Qur'an. Sementara mereka, itu bahasa ibu mereka.
Jika Islam ditakdirkan sebagai agama yang berlangsung hingga akhir zaman, adalah tugas kita untuk juga menjaganya. Sehingga jika kita berdakwah maka kita harus menyesuaikan dengan zaman. Oh my god, ini abad ke-21. Berkat ilmu pengetahuan Islam di masa lalu, pasta gigi telah ditemukan. Lalu kenapa juga kita masih menggunakan siwak di tempat umum? Toilet pun telah diciptakan, demi Allah, atas nama ilmu pengetahuan Islam.
Kita tidak bisa menggugat perubahan. Karena satu-satunya yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Sehingga kita pun harus menyesuaikan diri dengan zaman dimana kita hidup.
Cobalah untuk melenturkan diri mengikuti zaman. Karena kelembutan Rasulullah adalah lebih dari tajamnya ujung pedang para musuhnya. Bukankah kelembutan adalah seni?
Sehingga saya berkesimpulan, maaf, hijrah hanyalah trend anak muda saja. Suatu pencarian jati diri di kelamnya kehidupan saat ini yang serba tak pasti ini. Ingin dilihat "berbeda" dari orang lain. Bukankah menjadi marjin di tengah mayoritas adalah hal yang dicari anak muda?
Seperti seri terbaru ponsel, akan hilang setelah seri berikutnya muncul. Seharusnya tidak begitu. Hijrah, apapun itu, harus seperti hijrahnya Rasulullah dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah. Semangat pembaruan, bukan trend. Selamat merenung!