“Assalamualaikum pak Haji” Kira-kira kalimat ini yang biasa dijadikan pujian ketika seseorang menggunakan gamis dan sorban disertai penampilan fisik yang berjenggot panjang.
“Dia dilihatnya adem banget dah pake kerudung panjang sama baju longgar begitu. Pasti keluarga ustadz dah”
Begitulah beberapa kalimat yang sering saya dengar terlontar dari mulut seseorang atau kelompok ketika ada beberapa orang bernampilan seperti diatas. Inilah beberapa bentuk kontruksi pakaian yang melekat sebagai simbol kepatuhan terhadap agama islam (dibaca: sholeh, sholehah).
Seperti yang kita ketahui pakaian adalah bentuk identitas yang melekat kepada individu. Dari pakaian kita bisa melihat dari golongan mana sesesorang berasal, agama apa yang dianut, kita juga bisa melihat karakter serta kepribadian sesorang dari pakaian bahkan kita bisa melihat pandangan politik apa yang mereka anut.
Penampilan fisik seseorang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama, kebiasaan, dan lingkungan. Dalam hal berpakaian pun banyak masyarakat yang berbusana khas sebagai simbol sebuah kelompok. Ada beberapa hal yang harusnya bersifat profan tetapi dijadikan sakral oleh masyarakat di Indonesia terutama yang beragama Islam yaitu mengenai pakaian, kostum, dan atribut keagamaan.
Hijab sendiri merupakan identitas masyarakat Islam, bukan saja masyarakat yang berada di Indonesia namun di seluruh dunia. Hijab juga menyesuaikan kultur dan geografis dimana penggunaannya berkembang. Jilbab atau kerudung merupakan gaya yang berkembang di Indonesia. Di Mesir ada Khimar, di India serta Pakistan ada Dupatta, di Turki ada Esarp dan di Arab Saudi kita mengenal Niqab.
Mengutip istilah Geertz dalam bukunya Kebudayaan dan Agama tradisi berhijab telah menjadi semacam keyakinan dan pegangan hidup. Hijab telah menjadi bagian great tradition yang ada dalam Islam. Lebih dari itu, Hijab juga berfungsi sebagai bahasa yang menyampaikan pesan-pesan sosial dan budaya. Tradisi berhijab merupakan penegasan dan pembentukan identitas keagamaan seseorang.
Begitupun dengan gamis yang penggunaannya terilhami juga terinspirasi dari budaya masyarakat Arab. Gamis merupakan bentuk kesederhanaan dan juga bisa dibilang merupakan pakaian sunnah (katanya) dikarenakan dipakai oleh Nabi pada zaman dahulu dan dimasa sekarang dikenal sebagai counter culture terhadap bentuk pakaian Barat.
Dari yang tadinya bersifat teologis dan penggunaannya bersifat di negara-negara tertentu. Sekarang menjadi sebuah trend yang penggunaannya meluas ke penjuru dunia. Hal ini tidak terlepas juga dari peran globalisasi yang begitu besar merekontruksi pemikiran masyarakat mengenai arti Islam dari pakaian yang mereka kenakan.
Makin lama pikiran masyarakat pun terbentuk bahwa bentuk ketakwaan yang sebenarnya adalah berhijab dan juga memakai pakaian syar’i salah satunya adalah gamis. Masih ingat dikepala ada beberapa kasus hukum dimana tersangkanya mendadak hijrah. Salah satunya adalah jaksa Pinangki yang tersandung kasus suap Djoko Tjandra dan juga Ahmad Dhani yang bebas dari jeratan bui karena kasus ujaran kebencian.
Fenomena hijrah itu didasarkan rasa bersalah karena melakukan pelanggaran hukum dan juga sebagai proses penyucian diri menjadi label yang “Ini tampilan gua loh yang sudah agamis dan juga mendapat hidayah”. Dalam situasi seperti ini terkadang masyarakat dianggap lunak dikarenakan perubahan pakaian yang mereka pakai menjadi lebih islami.
Meminjam istilah dari ibu Neng Dara Afiah dalam dialog sejarah di kanal YouTube Historia.id perubahan pakaian dari generasi satu ke yang lainnya itu berubah-ubah dan tidak statis bahkan pola masyarakat yang disebut dengan abangan, santri dan priyayi itu sekarang perbedaannya tidak jauh berbeda yaitu sama-sama menggunakan hijab. Tetapi kaum abangan dan priyayi ini terkadang dalam penggunaan hijab terlihat lebih syar’i dari golongan santri itu sendiri.
Tipologis abangan, santri, priyayi ini pun untuk saat ini sudah bisa dikatakan tidak berlaku dan terjadi pergeseran makna semakin berkembangnya jaman. Ketika jaman dahulu seseorang dapat dilihat dari golongan mana dia berada dari segi pakaian, tetapi sekarang pakaian tidak bisa menjadi tolak ukur dalam penggolongan golongan tertentu. Fenomena hijrah seseorang pun bisa dilihat dari pakaiannya itu sendiri yang terkadang terlalu kearaban.
Sebenernya sah-sah saja seseorang mau menggunakan pakaian apa dikarenakan itu jati diri seseorang dan termasuk hak otonom individu, tetapi pandangan masyarakat terhadap penghormatan seseorang dari cara mereka berpakaian sampai kepada tahap pengkultusan tanpa melihat dari segi keilmuan dan juga perilakunya itu yang perlu dikontruksi lagi.
Juga penyerapan pengapdosian budaya, cara berpakaian, serta kontruksi sosial masyarakat negara lain yang notabene berbeda dapat berakibat terhadap kelatahan dan dapat menjadi bumerang bagi masyarakat Islam di Indonesia itu sendiri. Semisal pendapat bahwa gamis dan hijab syari’i merupakan bentuk kesederhanaan, tetapi ketika diadopsi kebentuk tatanan dan kontruksi masyarakat kita terkadang justru jauh dari segi kesederhanaan.
Ketakwaan seseorang bukan dilihat dari cara berpakaian hijab ataupun gamis syar’i, bukan juga didasarkan kepada ucapan akhi, ukhti. Kualitas ketakwaan seseorang dapat diukur dari seberapa konsistennya menjalankan yang diperintahkan Allah dan yang dilarang oleh-Nya. Semakin konsisten dalam menjalankan perintah-Nya, maka ia semakin tinggi kadar ketakwaanya kepada Allah SWT. Hal ini seperti termaktub dalam Quran Surat Al-Maidah ayat 35.