Hidup itu pilihan. Banyak orang yang beranggapan seperti itu, bagi saya sendiri hidup memang bisa diartikan sebagai pilihan meskipun tidak sepenuhnya saya menyetujui. Sebab, ada banyak manusia di luaran sana yang terhimpit oleh berbagai macam hal, yang membuat pilihan di hidupnya hanya sebatas khayalan semata. Tidak ada pilihan selain menjalani hidup yang ada di depan matanya.
Mau bagaimanapun juga, di setiap kehidupan yang dijalani oleh manusia selalu ada pilihan-pilihan yang meliputinya. Mungkin yang membedakan adalah ukuran skalanya, ada yang kecil ada yang besar dan terkesan penting.
Memilih untuk mau makan apa, pakai baju apa, streaming film apa, mau baca buku apa, nonton YouTube apa, yang mungkin masuk ke dalam kategori pilihan sederhana atau skala kecil. Sedangkan memilih untuk menikah atau tidak, kuliah di mana, kerja di mana, mau punya anak atau tidak, menjadi pilihan-pilihan penting yang menyangkut masa depan.
Pilihan membuat kita menjadi manusia yang merdeka secara utuh. Dengan adanya opsi untuk dipilih, manusia akan memilih sesuai yang diinginkannya meskipun tidak jarang kita lepas dari konsekuensi serta tanggung jawab yang sebenarnya sepaket dengan pilihan-pilihan itu sendiri.
Apa yang sudah terjadi di hari ini, entah situasi, teman, pola pikir dan kebiasaan adalah bagian dari pilihan yang telah dipilih di masa silam, sedangkan masa depan adalah kumpulan-kumpulan apa yang dipilih di masa sekarang.
Saya setuju dengan statement yang selalu saya sematkan di dalam pikiran dan hati. ‘Masa depanmu akan seperti apa adalah konsekuensi dari pilihan-pilihan yang kamu pilih di masa lalu dan sekarang.'
Artinya, walaupun manusia memiliki kehendak bebas dalam memilih hidupnya mau seperti apa ia juga harus sadar bahwasanya pilihan itu menyangkut baik buruknya nasib yang mengiringinya di masa yang akan datang.
Hal ini, mengingatkan saya pada hierarki manusia terhadap beberapa makhluk lainnya julukan ‘makhluk sempurna’ sudah menjadi atribusi yang disematkan terhadap kita, manusia. Bahkan jika dibandingkan dengan malaikat kita memiliki tahta yang lebih unggul dan diistimewakan.
Sebab manusia memiliki ‘kehendak’ yang bebas mengatur dirinya ia bisa memilih untuk menjadi apa dan bagaimana, ia bisa menentukan apa yang terbaik bagi dirinya berbeda dengan malaikat yang harus selalu patuh dan mengiyakan apa yang sudah diperintahkan baginya.
Namun, pilihan manusia itu terbatas, mengapa? Kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan atau tidak, tidak bisa memilih dilahirkan oleh siapa dan bagaimana prosesnya, bahkan kaya dan miskin yang menjadi unsur sosial ternyata tidak bisa terlepas dari ikatan nasib yang menentukan.
Pilihan manusia terbatas, manusianya juga memiliki batas. Mungkin alam memang sudah mengukurnya agar seimbang antara demand dan supply yang dimiliki semesta, entahlah. Semua itu bagi saya adalah misteri yang menarik untuk ditelisik bersamaan juga membuat diri ini ketar-ketir menyadari bahwasanya sumber daya yang ada di dunia ini memiliki limitnya tersendiri.
Karena semuanya terbatas kita dituntut untuk memutuskan pilihan yang tepat setidaknya kalau tidak tepat, nyaris tepat dan cukup. Kadangkala kita menghiraukan yang kedua, yaitu memilih dengan cukup.
Manusia sering tidak sadar bahwa segala yang ada di hidupnya itu terbatas begitu pula dengan pilihan-pilihannya dan sumber daya yang dipilihnya, merasa berkuasa semuanya dirampas, merasa miliki banyak uang tak melihat yang lebih butuh semuanya ingin dimiliki sendiri bahkan yang bukan menjadi haknya.
Saya sendiri di samping merasa diuntungkan menjadi manusia yang merdeka akan pilihannya sering kali saya merasa jengah mengapa seakan-akan saya harus ikut memilih bahkan pada hal-hal yang tidak penting sekalipun, salah satunya, memilih memakai baju apa.
Sebagai perempuan masyarakat kebanyakan masih digandrungi oleh stigma pubra yang bagi saya seharusnya tidak hanya disematkan pada perempuan bagi laki-laki juga demikian.
Sering memakai pakaian yang itu-itu saja dengan warna yang sama pula, menurut saya adalah pilihan paling jenius yang pernah saya lakukan. Sebab dengan membeli dan memilih baju yang sama, saya tidak perlu membuang waktu di depan lemari hanya untuk memikirkan baju, rok dan kerudung apa yang pantas saya pakai toh, orang-orang di luar sana sebenarnya tidak peduli-peduli amat saya memakai baju apa dan apakah pantas dipakai saya atau tidak, mereka juga sibuk akan pilihan-pilihan hidupnya sendiri.
Hal tersebut tidak berlaku bila saya harus memilih mau beli buku apa. Mungkin karena barang yang selalu saya sukai dari dulu hingga sekarang adalah buku, jadi susah untuk memilih karena semuanya ingin dimiliki.
Perasaan itulah yang mungkin hadir di beberapa orang ketika mereka dihadirkan pilihan oleh beragam hal yang disukainya. Serasa semuanya ingin dikuasai dan dimilikinya secara pribadi, padahal kita tahu masih ada hak-hak manusia lainnya untuk memilih.
Turki, 2022