Hari ini, kita terkondisi bahwa segala harus segera dicapai dipenuhi dan diselesaikan. Kita terdesak dan tertekan oleh tuntutan pribadi dan lingkungan; kita menjadi serba segera, serba cepat, serba ringkas tak segan potong kompas.
Bukan saja soal ritme dan aktivitas motorik yang cepat, juga dorongan psikis yang mendesak-desak sangat kuat untuk segera bertindak, adalah tidak saja menjadi kebiasaan dan lumrah, tapi malah sudah menjadi tata nilai, acuan dalam mengukur kemajuan, pencapaian, kesuksesan, kebahagiaan dan keberadaban kita.
Yang khas dari perilaku serba bergegas ini: hilangnya kesabaran.
Robert Holden pendiri The Happiness Project melukiskan ketidak sabaran yang mengisi setiap ruang kehidupan kita secara miris:
“Jika sebuah hubungan tidak berkembang dengan cepat; kita meninggalkannya.
Jika seseorang tidak bisa bicara cukup ringkas; kita tutup telinga.
Jika seseorang tidak bisa menjelaskan maksudnya dengan segera; kita jelaskan maksud mereka untuk mereka.
Jika sebuah hubungan terantuk masalah; sulit dipercaya bahwa hubungan itu bernilai.
Kita tidak nyaman dengan jeda dalam percakapan. Kita sering memotong pembicaraan untuk tiba di akhir lebih cepat, kita perlu terus bergerak”(Robert Holden-Success Intelligence).
Kita tengah berada dalam kehidupan yang serba bergegas, ganas dan gersang.
Kehidupan yang serba buru-buru ini adalah kehidupan yang mengajak kita untuk meninggalkan ‘di sini’ dan ‘kini’, kita berlari menuju ke sana, mengejar hasil akhir. Selalu merasa seharusnya di sana, bukan di sini, bilamana bukan kini.
Rasa terdesak berhasil mengalihkan perhatian kita dari yang sedang dihadapi, pikiran sudah melompat mengerjakan apa yang berikutnya. Begitu terburu-buru ketika sejatinya tidak ada apapun yang memburu.
Waham diburu ‘sesuatu” selanjutnya melahirkan sikap defensif bahkan cenderung ganas dan brutal. Potret perilaku ini tertangkap langsung maupun melalui gawai kita sehari-hari.
Keganasan pengiring jenazah di jalan tidak kurang dari keganasan aparat yang dibayar untuk mengawal pejabat atau istri atau anak atau ponakan atau si anu nya pejabat.
Ambisi dan kegilaan orang tua terhadap kesuksesan melahirkan keganasan orang tua terhadap anak-anaknya lewat memaksakan anak untuk memikul beban sekolah, kesalehan, kemuliaan akhlak hidup, keterampilan dan segala yang dimaksudkan sebagai kesiapan bersaing (baca: saling gencet) dengan yang lain.
Keganasan para politisi lebih-lebih: dipertontonkan. Betapa mereka membuat jutaan kali kompetisi komedi, tidak cukup untuk mengatakan mereka tidak gersang. Kegersangan sahara yang hanya ditumbuhi satu tangkai pohon mati: kepentingan.
Hidup tidak pernah bukan sebuah hubungan, tetapi kita tidak bisa mengharapkan hubungan yang ‘sakinah’, penuh ketentraman dan kedamaian. Karena tiap kita dihantui perburuannya masing-masing. Memburu kepentingannya.
Kita mengalami kefakiran kesetiaan. Kesetiaan menjadi langka. Hubungan menjadi seperti rumput kering di musim panas. Kita gampang “nge-gas”, dan terbakar jadi abu.
Demikianlah ongkos yang kita bayar karena pikiran liar, lompat dengan cepat ke sana ke mari dan begitupula kecepatan motorik tubuh kita terseret mengikuti—demi mencari yang lebih, begitu kita memberinya arti.
***
Pembalap mobil Formula satu, tidak peduli apakah ia sangat handal dan ternama tetap akan mengambil kesempatan pit-stop. Pada momen ini, si pembalap mengatur strategi, ia mendapat perbaikan mesin, mengisi bahan bakar, mengganti roda, mendapat pengarahan, petunjuk dan selanjutnya ia melaju dengan kesegaran baru.
Mungkin kita juga perlu mengambil pit-stop, berhenti; bahkan mulai mendisiplinkan diri untuk sengaja berhenti jeda dan melambat; menyempatkan berprasangka: jangan-jangan fisik dan mental saya lelah.
Kita terlalu terampil untuk persoalan kecepatan, dan lupa melambat. Kita akrab dengan gerak dan abai diam.
Kita perlu mengisi ‘bahan bakar’ yang adalah spirit hidup holistik, yang menghubungkan selalu setiap tindakan dengan potensi kearifan primordial untuk memberi arahan dan petunjuk bahwa, kebahagiaan lahir-batin bukanlah sesuatu yang jauh dari si diri yang mengejarnya.
Ketergesaan telah membuang begitu saja kesempatan kita berintim dengan proses; berhenti, jeda memberi ‘koma’ di mana gerak fisik dan psikis melambat, boleh jadi adalah tindakan merawat dan memelihara momen proses dari saat ke saat dengan perhatian dan kesadaran penuh selama beraktivitas. Selain ia sebagai perawatan mental berkala.
Betapa Covid-19 dua tahun sudah memasung pergerakan kita, tetapi itu hanya menghentikan mobilitas fisik, sementara kebisingan, kesibukan dan riuhnya pikiran tetap jebol membanjiri hari-hari.
Kita boleh mempertimbangkan bahwa mampu diam berhenti, jeda adalah sejenis keterampilan asing yang mendesak direalisasikan tiap diri.
Keterampilan berdiam diri sejenak untuk menelusuri badan dan batin, melakukan selidik diri dengan seksama atas apa yang tengah berlangsung di luar dan dalam diri, (cemas, ketakutan, khawatir, bimbang, ragu tak menentu, perasaan senang, gembira, haru dst).
Keterampilan ini mungkin akan mengembalikan kewarasan diri dan arah hidup yang melenceng dari visi hidup kita kebanyakan: kebahagiaan lahir dan batin.
Sang Buddha dalam satu riwayat mencegah Angulimala si petapa yang sibuk sepanjang hidupnya dalam pergulatan dan perjuangan mengejar-ngejar tujuannya, “Duhai Angulimala, mengapa engkau terus berlari? berhentilah! Apa yang engkau cari?”
Sebagaimana kalimat, hidup juga butuh koma, sebelum kita sampai ke ‘koma’.