Pencinta sepak bola? Siapa juga yang tidak suka olahraga sejuta umat ini? 

Tiap penggemar bola hampir tidak mungkin tidak punya klub kesayangan dan kebanggaan. Acap kali para suporter klub bola menggadaikan kewarasan mereka demi membela klub yang mereka cintai, apalagi ketika berdebat kusir dengan suporter klub rival. 

Apa pun kesalahannya bakal dibela hingga tetes darah terakhir dan tidak segan juga untuk mencari kelemahan klub rival (termasuk membuat hoaks tentang wasit bayaran dsb.). Bolehlah kalau saya bilang kontestasi politik Indonesia dewasa ini mirip dengan perang gila antar-suporter bola.

Apakah sebagai suporter klub bola saya juga bertingkah seperti itu? Ya, tentu saja!

Sebagai bocah kecil era 90-an, Serie A adalah primadona sepak bola di berbagai media massa Indonesia maupun dunia. Tetapi hanya satu klub yang berhasil meluluhkan hati saya, Juventus FC! 

Suka duka telah saya rasakan ketika menjadi fans dari klub yang berasal dari Turin ini. Attilio Lombardo adalah pemain pertama yang membuat hati saya melayang dan jatuh dipelukan La Vecchia Signora. Lombardo bukan Ronaldo! 

Bagi sebagian orang, Lombardo merupakan pemain kelas dua atau bahkan kelas ketiga, tapi saya menyukainya karena Lombardo . . . berkepala botak. 

What? Anda tidak salah baca, karena memang itulah alasannya. Akan sangat tidak masuk akal apabila seorang bocah kecil di tahun 1995 yang baru berusia 5 tahun berbicara soal skill bermain bola. 

Sama tidak masuk akalnya dengan manusia berusia di atas 17 tahun yang memilih Presiden/Wakil Presiden hanya karena pembawaan capres/cawapres yang kalem, tegas, berwibawa, merakyat, saleh, ataupun ganteng.

Bertambahnya usia membuat saya belajar lebih tentang Juventus dan sepak bola pada umumnya. Sama seperti saya belajar tentang kehidupan, di mana hidup ternyata tidak hanya hitam dan putih. Ternyata masih ada warna pink yang begitu menggoda hati

Ternyata kesalahan mengirimkan jersey bola bisa mengubah sejarah dunia. Ternyata saudara kembar yang terpisah dan berbeda kasta yang bisa bertemu kembali tidak hanya terjadi di tayangan tidak bermutu dari sebuah kotak elektronik yang tiap tahun makin menipis bentuknya. 

Ternyata loyalitas seorang manusia bisa diacuhkan bahkan dibuang sedemikikan gampangnya apabila sudah tidak dibutuhkan di era industri sepak bola ini. Dan yang paling penting, ternyata belajar menerima kekalahan jauh lebih menyakitkan daripada melihat saldo tabungan.

Bagi sebagian suporter klub bola, euforia kemenangan terhadap suatu kompetisi akan menutup pintu kritik. Bagi mereka, "Ah, yang penting sudah (pernah) menang." Atau "Ah, yang penting sudah (pernah) menang berkali-kali." 

Tapi, bagi sebagian suporter lain yang berpikiran progresif (istilah populer yang sering dipakai politisi zaman now), mereka akan selalu haus akan kemenangan yang baru, selalu ingin maju tanpa mempedulikan romantika di masa lampau, pintu kritik akan selalu terbuka lebar. 

Bukan bermaksud untuk bilang sejarah tidak penting, tetapi maksudnya, hidup itu bagaikan mengendarai kendaraan

Masa lalu adalah berbagai hal yang terlihat di spion; masa sekarang adalah lokasi di mana kita berada; dan masa depan adalah lokasi tujuan kita berkendara yang mana akan banyak halangan di depan anda. 

Apabila kita terjebak dalam romantika masa silam, maka jangan salahkan kendaraan yang ada di depan Anda jika Anda menabraknya. Apabila kita hanya fokus terhadap masa depan, maka jangan salahkan orang lain jika Anda ditabrak dari belakang atau samping. Dan kritik adalah hal yang bisa membuat kita sangat fokus dalam berkendara.

Dear, milanisti dan interisti, masih mau terjebak romantika masa lampau?

Alessandro Del Piero, Gianluigi Buffon, Claudio Marchisio, dan Giorgio Chiellini hanyalah segelintir manusia yang akan saya bela mati-matian apabila ada yang menghina mereka baik di dunia maya ataupun di warung kopi. 

Lantas apa faedahnya bagi saya? Entahlah, mungkin pertanyaan yang sama bisa and tanyakan ke-fans garis keras masing-masing capres/cawapres. Mungkin kalau di circle Anda tidak ada yang seperti itu, Anda bisa bertanya ke eks-sopir taksi daring yang menurunkan penumpangnya hanya karena berbeda dukungan capres/cawapres itu.

Bagi non-penggemar sepak bola (saya ingin menyebutnya "kafir sepak bola"), para penggemar sepak bola hanyalah orang yang gemar membuang uang untuk membeli jersey dan aksesorisnya, bahkan tidak sedikit yang mati-matian menabung agar bisa menonton klub favoritnya di Italia, Inggris, Spanyol, ataupun Jerman. 

Sebuah pendapat yang tidak salah, tapi mungkin bisa terlihat salah apabila kita membandingkan para penggemar sepak bola dengan penghambur uang lainnya, yaitu pengguna jasa prostitusi yang bahkan rela membuang uang hingga puluhan juta untuk kenikmatan semalam. 

At least, para suporter bola bisa mengisi feed Instagram mereka dengan foto di depan tulisan J-Stadium, San Siro, Anfield, dan sebagainya. Sebuah kebanggaan yang bisa bertahan bertahun-tahun, bahkan akan menjadi bahan cerita untuk anak cucunya kelak. 

Lantas, adakah pengguna jasa prostitusi yang mengabadikan happy time mereka untuk di-post di Instagram? Atau mungkin dengan bangga diceritakan ke anak cucunya? Saya rasa tidak mungkin.

Baca Juga: Saya, Juventus

Wahai penggemar sepak bola, seperti judul di atas, hidup tidak hanya tentang sepak bola. Banyak hal seru nan menggelitik terjadi di kehidupan kita. Sadarlah! 

Tapi jika Anda tetap kekeuh bahwa hidup hanyalah tentang sepak bola belaka, maka Anda harus menjadi Juventini!

Kok maksa sih? Biarin!