Pembahasan mengenai gender selalu menarik perhatian banyak orang. Bukan hanya sekadar berbicara tentang perempuan atau laki-laki, tapi juga lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Di Indonesia khususnya, banyak orang yang menerima, namun tak sedikit juga yang menolak keberadaan kelompok tersebut.

Dilansir oleh tempo.co, pada dasarnya transgender adalah individu yang merasa bahwa identitas gendernya berbeda atau tidak sesuai dengan jenis kelamin biologisnya sejak lahir. Identitas gender sendiri merujuk pada pribadi orang tersebut sendiri, bagaimana dia mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan, laki-laki, atau tidak keduanya.

Sebagai catatan, transgender berbeda dengan transeksual. Transeksual lebih merujuk pada transgender yang melakukan usaha perubahan kelamin, seperti tindakan operasi atau terapi hormon.

Transpuan pun bisa

Beberapa minggu yang lalu, kita dikejutkan dengan sosok Hendrika Mayora atau yang kerap dipanggil Bunda Mayora. Beliau disebut sebut sebagai transpuan (transgender perempuan) pertama yang menjadi pejabat publik di Indonesia.

Tidak hanya Bunda Mayora, ada juga sosok yang dikenal sebagai Mami Yuli, seorang transpuan yang menempuh pendidikan hingga strata 3.

Mami Yuli juga menyediakan rumah singgah bagi para transpuan yang sedang mengalami masalah hidup maupun yang diserang masyarakat karena keberedaannnya tidak diterima. Hal ini dapat dilihat sebagai bukti nyata bahwa seorang transgender pun dapat berbuat lebih di tengah kehidupan masyarakat. Bukan hanya ngamen, namun transpuan dapat duduk di kursi pemerintahan untuk membangun kehidupan masyarakat.

Tak ada lagi alasan untuk membedakan transpuan ataupun transgender dengan yang lain. Sebagai masyarakat yang diajarkan untuk memiliki rasa toleransi tinggi, sudah sepantasnya kita memberikan tempat dan ruang untuk kaum transgender.

Hidup menjadi seorang minoritas memanglah sulit, apalagi tidak mendapat dukungan atau bahkan dibuang oleh lingkungan. Perlu adanya pemikiran baru untuk menanggapi hal-hal seperti ini.

Sebagai masyarakat, kita harus tetap terbuka akan perkembangan zaman. Masyarakat harus memikirkan pentingnya memberikan kesempatan bagi siapa pun yang ingin berusaha, termasuk kaum transgender.

Kaum transgender tidak mencuri dari masyarakat. Yang mereka butuhkan hanyalah kehidupan yang tenang dan dipandang baik oleh masyarakat.

Bukan hal yang mudah bagi setiap trangender untuk hidup dengan tenang di Indonesia. Kelompok minoritas ini harus melawan diskriminasi dan stigma yang tumbuh di masyarakat. 

Masih banyak masyarakat kita yang memberi label yang macam-macam terhadap seorang transgender. Banyak yang menganggap bahwa mereka tidak mampu dan hanya dapat bekerja seperti ngamen dan pekerjaan jalanan lainnya.

Padahal, kita sebagai masyarakat tidak mempunyai hak sama sekali untuk menilai dan menyalahkan keputusan para transgender tersebut. Jika kita melihat kisah Bunda Mayora, beliau tidak pernah memilih untuk memiliki sense sebagai seorang perempuan. Namun apa daya, itulah pemberian Tuhan, dan beliau menjalani hidupnya dengan kuat dan melawan stigma masyarakat akan kelompok minoritas tersebut.

Sila kelima yang dilanggar

Menurut jurnal “Konsep Keadilan Sosial dalam Bingkai Sila Kelima Pancasila” yang ditulis oleh Yunie Herawati, salah satu mahasiswi UPN “Veteran” Yogyakarta, prinsip kelima dari Pancasila jelas terkandung makna tentang kesetaraan hak asasi manusia dan kewajiban dalam menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Setiap orang memiliki martabat yang sama seperti makhluk Tuhan.

Jika kita melihat kembali dasar negara kita yaitu Pancasila, berbunyi pada sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, maka tidak ada alasan lagi bagi masyarakat Indonesia untuk mendiskriminasi atau menaruh stigma terhadap kaum transgender.

Keadilan sosial yang sesungguhnya ialah menerima segenap kemampuan dan ketidakmampuan yang dimiliki oleh seorang individu. Setiap individu di Indonesia berhak atas apa yang mereka pilih untuk hidupnya, dalam hal ini gender.

Hal ini sama dengan hak masyarakat untuk memilih dan memeluk agama yang mereka inginkan. Kita semua tidak tahu bagaimana sulitnya mereka harus jujur kepada diri mereka sendiri dan kepada lingkungan yang belum tentu dapat menerima mereka.

Kita harus mulai menerima dan belajar bahwa isu gender ini bukanlah hal yang tabu, melainkan satu dari sekian hak manusia sebagai seorang individu. Masyarakat harus memberikan ruang bagi siapa pun mereka yang ingin hidup dengan adil dan tenang. Kita harus berjuang bersama untuk memberikan hak yang sama bagi setiap individu.

Pemikiran yang terbuka membuka ruang bagi transgender

Untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari pun sangat sulit bagi kelompok minoritas ini. Mereka sangat sulit untuk dapat pekerjaan yang layak hanya karena mereka transgender. Setidaknya, masyarakat di Indonesia harus mulai memahami dan menerima keberadaan kelompok minoritas ini.

Bayangkan saja berapa banyak teman di sekitar kita yang mungkin mengalami hal yang sama namun tidak berani untuk terbuka. Jika kita dapat memahami kondisi mereka, niscaya kehidupan yang adil akan dapat dirasakan setiap individu.

Kesempatan pekerjaan pun harus sama, mengesampikan gender yang mereka pilih. Tidak ada satu pun individu yang dapat membatasi ruang mereka untuk berkarya dan bekerja. Pada hakikatnya, manusia memiliki sense untuk bertahan hidup dengan cara yang beragam.

Seiring dengan pemikiran baru yang terbuka, dapat menjadi kesempatan baru bagi para transgender untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Masyarakat harus memahami keadaan ini, terlebih hidup di abad ke-21 ini.

Menjadi pemersatu bukan pemecah

Perbedaan yang ada seharusnya menjadi pemersatu, bukannya menjadi pemecah. Tuhan menciptakan kita sebagai pribadi yang berbeda-beda. Tujuannya untuk saling melengkapi satu sama lain.

Setiap individu memiliki kekurangannya masing-masing dan sudah menjadi kewajiban bagi manusia lain untuk dapat menerimanya. Hal ini harusnya menjadi satu cara untuk membuka mata masyarakat bahwa tidak ada tempat lagi bagi diskriminasi dan stigma negatif kepada sebagian kelompok tertentu.

Bayangkan saja betapa indahnya hidup tanpa adanya diskriminasi ataupun stigma negatif terhadap kelompok tertentu. Hidup dengan menerima apa yang dimiliki oleh setiap individu.