Pada periode kenabian Isa 'alaihis salam (As.), banyak umatnya yang meminta-minta kepadanya seraya merajuk akan betul-betul tekun beribadah dan semakin iman apabila keinginannya dipenuhi.
Memang, Nabi Isa As. merupakan utusan Allah yang diberi keistimewaan — atau mukjizat — seperti menghidupkan orang meninggal, memulihkan kebutaan, menyehatkan orang sakit. Hal ini lah kemudian, konon, jadi sebab Nabi Isa As. dikultuskan hingga di-Tuhan-kan.
Ada salah seorang pengikutnya yang memohon supaya diturunkan makanan dari langit. Ia berjanji akan sungguh-sungguh beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang disembah nabinya.
Mula-mula, Nabi Isa As. banyak pertimbangan, bilamana keinginan para pengikutnya yang dipenuhi selalu lantas tidak membuat mereka beriman sebaimana umat terdahulu. Putra Maryam ini pun akhirnya luluh dan meluluskan permintaan umatnya. Ia pun memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa, untuk menurunkan sebuah paket hidangan makan.
Dalam surat al Maidah ayat 114 difirmankan:
قَالَ اللَّهُ إِنِّي مُنَزِّلُهَا عَلَيْكُمْ ۖ فَمَنْ يَكْفُرْ بَعْدُ مِنْكُمْ فَإِنِّي أُعَذِّبُهُ عَذَابًا لَا أُعَذِّبُهُ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ
“Isa putra Maryam berdoa: ‘YaTuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama.”
Paket makanan pun datang, dibawa segumpal awan. Tidak hanya makanan, meja (al Maidah) pun disediakan dari langit. Pengikut Nabi Isa As. pun keheranan, dari mana datangnya?
Dipersilahkan lah pengikutnya untuk menyantap hidangan, tetapi pengikutnya tersebut malah enggan. Katanya, supaya Nabi Isa As. dulu yang makan. Ia sempat kaget, atau mungkin sudah menduga sebelumnya.
Akhirnya nabi yang lahir di bawah pohon kurma ini mengajak para fakir miskin, yatim-piatu, dan janda untuk menghabiskan makanan ala prasmanan itu. Mereka berbondong-bondong datang, berjalan dengan girang, dan kebahagiaan terpancar dari wajah mereka.
Ternyata orang-orang yang sesudah makan, penyakitnya jadi sembuh, yang cacat jadi normal, dan tubuh prima kembali. Melihat banyaknya orang yang datang, membuat pengikutnya yang semula enggan berubah menjadi ingin. Konon, pada hari di mana Nabi Isa As. memohon diturunkan paket hidangan, di kemudian hari oleh Nabi Muhammad Saw. beserta sahabatnya diperingati sebagai Idul Fitri.
Apa hubungannya permintaan prasmanan al Hawariyyun (sebutan pengikut Nabi Isa As.) dengan Idul Fitri? Ketika al Hawariyyun meminta jamuan dari langit (surga) itu bertepatan setelah mereka melaksanakan 30 hari puasa — sebagaimana disinggung dalam al Baqarah ayat 183.
Al Hawariyyun meminta hadiah karena berhasil melaksanakan puasa (Hakim-hakim 20:26). Sama halnya yang diperintahkan kepada umat Nabi Muhammad. Pun bulan puasanya sama dengan yang ditetapkan dalam Islam; Ramadhan (surat Al Baqarah ayat 185) atau bulan kesembilan, sebagaimana dalam Yeremia 36:9.
Makna Fitri
Tempo hari, dalam acara Pelatihan Zakat-Infaq-Shodaqoh (ZIS) yang diadakan oleh NU-Care LazisNU Kota Semarang di Pondok Pesantren al Ishlah (Kecamatan Tugu). Di pesantren yang didirikan oleh KH. Ihsan bin Mukhtar pada 1927, saya mendengar keterangan dari KH. Ahmad Hadlor Ihsan — pengasuhnya sendiri — bahwa "fitri" dari kata Idul Fitri bisa bermakna makan-makan. Sebab, makna fitri tidak tunggal. Selain diartikan suci, juga berarti berbuka. Berbuka sama dengan makan dan minum.
لا يزال الدين ظاهراً، ما عجّل النّاس الفطر؛ لأنّ اليهود والنّصارى يؤخّرون
"Agama Islam akan senantiasa menang, selama masyarakat (Islam) menyegerakan berbuka. Karena orang yahudi dan nasrani mengakhirkan waktu berbuka.” HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibn Hibban.
Fitri dalam konteks hadis di atas tidak bermakna suci. Dalam hadis tersebut fitri diartikan sebagai berbuka dalam konteks adu strategi kebudayaan dengan kaum Yahudi dan kaum Nasrani. Bagaimana umat Islam musti lebih unggul.
Selametan seolah Hidangan Langit
Indonesia sebagai negeri agraris, dimana tanahnya subur untuk ditanami berbagai macam sayur-mayur, rempah-rempah, buah-buahan, hingga bunga-bunga yang menawan. Oleh karenanya, sejak periode para Walisongo mentradisikan menyedekahkan sesuatu barang berharga atau makanan untuk dinikmati bersama.
Itu lah mengapa, terutama di desa-desa, hidup budaya komunal. Apa pun yang terjadi dengan saudara, bahkan tetangganya, masyarakat begitu responsif. Kabar dari dusun A bisa terdengar sampai dusun B yang jaraknya beberapa ratus meter dalam hitungan jam. Tentu, sebelum penetrasi gadget sampai ke desa dan sambungan internet memancar ke plosok-plosok daerah.
Dalam tradisi sedekah tersebut, barangkali kita yang pernah mendengar istilah; kenduri, selametan, sedekah bumi, jaburan, dan syukuran. Tidak asing lagi di telinga. Bahwa semuanya memiliki arti dan tujuannya sendiri, tetapi kesamaannya adalah selalu identik dengan makan bersama atau bancaan.
Salah satunya, setiap usai sholat Idul Fitri dan bermusafahah, jamaah tidak langsung meninggalkan shafnya. Masih duduk di tempat, seraya menyantap hidangan yang disajikan warga. Ketika menyantap itu lah terjadi interaksi, komunikasi, saling bergurau, merekahkan senyum, dan tawa.
Tidak ada tersirat kedengkian dan kecurigaan satu sama lain. Bila mana ada kebencian, seperti api yang disiram dengan air. Seolah-olah bancaan setelah sholat Idul Fitri itu bagaikan rahmat sekaligus berkah yang diturunkan Allah subhanahu wa ta'ala dari surga? Sebagai hadiah karena kita sanggup untuk berpuasa selama Ramadhan, dengan sebaik-baiknya puasa. Tentu saja.