Mahasiswa adalah agent of change, begitulah kata yang seringkali dialamatkan pada pemuda yang besempatan menuntut ilmu di kampus. Istilah itu tentu bukan tapa sebab, pasalnya dengan kapasitasnya sebagai pemuda yang terdidik, peran dari seorang mahasiswa selalu ditunggu-tunggu untuk memberikan perubahan optimal. Entah di lini intelektual atau sosial,  mahasiswa diharapkan mampu dalam mewujudkan kesejahteraan.

Di masa lalu kita akan melihat sisa sejarah reformasi, sejarah heroisme mahasiswa yang bersama-sama memberontak untuk menurunkan rezim penyebab terhambatnya demokrasi. Setelah kurang lebih 32 tahun memimpin, sosok pemimpin otoriter akhirnya di tangan mahasiswa bisa lengser. Begitulah gaung para angakatan tua menceritakan heroisme mahasiswa di masanya.

Namun belakangan ini, kata “mahasiswa” sudah kehilangan pamornya, dinilai tidak lagi kritis, mahasiswa seringkali dituding terlalu fokus memikirkan pekerjaan apa yang akan mereka punya nanti setelah sarjana. Pandangan ini tentu tidak secara penuh benar atau salah, masih perlu kita tinjau secara lebih jauh. Hanya saja menurut saya, ada kecacatan dan terlalu terburu buru dalam analisa publik terhadap gerakan mahasiswa akhir-akhir ini.

Penilaian yang dilakukan terbilang tergesa-gesa, karena hanya membandingkan gerakan mahasiswa masakini dengan yang telah terjadi di masa reformasi. Tolak ukurnya adalah pergerakan mahasiswa yang telah dilakukan bertahun-tahun silam. Tindakan ini merupakan penyempitan pertimbangan, seolah kekritisan dan kepedulian mahasiswa hanya bisa tercapai ketika melakukan pemberontakan. Hal ini tentu perlu diperhatikan, bahwa medan pergerakan mahasiswa tidak melulu persoalan menjatuhkan kekuasaan.

Lebih lanjut, banyak yang tidak memperhatikan perbedaan zaman yang terjadi diantara mahasiswa angkatan 1998 dengan mahasiswa sekarang, yang biasa kita sebut sebagai mahasiswa milenial. Di masalalu, teknologi informasi tidak terlalu berkembang, akhirnya memerlukan tindakan aksi turun kejalan agar suara mahasiswa bisa di dengar oleh pemerintahan atau membuat orang lain di sekitarnya memiliki kesamaan dalam melahirkan kegelisahan. Kita mesti menyadari, bahwa beda zaman beda pula alur pergerakan dan tindakan.

Di masa yang sudah maju ini, mahasiswa memiliki banyak tempat untuk melahirkan heroisme yang berbeda dengan pendahulunya, angkatan 1998. Salah satunya adalah menciptakan software yang memudahkan berbagai pelayanan bagi masyarakat, mengikuti kegiatan lembaga sosial masyarakat, menjadi aktifis peduli lingkungan, pegiat lintas iman, serta menghidupkan lini-lini intelektual yang di masa orde baru tidak luas disebarkan. Kegiatan ini tentu tidak bisa kita nafikan dan menutup mata pada zaman yang senantiasa mengalami perubahan.

Selain wahana yang berbeda, mahasiswa zaman now memiliki cara yang beraneka dalam memberikan kritik dan mengungkapkan kegelisahan. Sebutlah media online yang saat ini menjadi alat terbaik dalam menyampaikan suara-suara anti ketidakadilan. 

Tidak mesti selalu teriak-teriak di jalan, sekali ketik tombol send, suara kegelisahan seorang mahasiswa sudah bisa mengendap di setiap layar handphone banyak orang. Tinggal upload, vidio yang berisikan gagasan bisa ditonton berbagai macam kalangan. Begitulah pergerakan mahasiswa zaman ini menemukan jalan.

Dari penjelasan di atas, cukup kiranya kita bisa menemukan kembali pergerakan mahasiswa yang disebut-sebut telah hilang, meski memang tidak terlalu terlihat, tetap saja heroisme seorang mahasiswa tidak akan pernah lenyap. Kita perlu mengganti kacamata usang kita dengan yang lebih baru yang cocok digunakan sesuai zaman, agar yang nampak dimata tidak hanya kecacatan dan memburamkan gerakan masif mahasiswa di berbagai tempat dan keadaan. 

Perlu adanya kesadaran perihal meluasnya medan gerakan mahasiswa, agar lebih siap pakai dan dewasa menghadapi tantangan zaman kedepannya. Karena heorisme mahasiswa tidak akan pernah lenyap dan gagap, dia hanya menyesesuaikan zaman yang tidak pernah selesai mengalami perubahan.