Herman Hesse adalah satu dari sekian orang yang berteriak-teriak soal perdamaian di tengah-tengah gegap gempita desing peluru, dentuman bom, dan kebisingan rantai-rantai tank. Dia seperti nabi yang khotbahnya tidak diindahkan oleh kaumnya. Suaranya mengambang dan nyaris hilang ditelan desingan peluru-peluru dan erangan kesakitan prajurit-prajurit tempur yang bermandikan darah segar. Tetapi seperti nabi, dia tidak menyerah atas realitas yang tampak murung di matanya. Tulisan-tulisannya mengalir, menghabisi halaman demi halaman kertas kosong dengan inti pesan penting yang menyetir sabda kitab suci: Janganlah kalian saling membunuh!.
Perlawanannya seorang diri, menantang neraka dunia (peperangan) itu, tak lantas membuat dia ciut. Seperti Pram, buku-bukunya tentang anti perang dan kritikan kerasnya terhadap nasionalisme-chauvinisme, diberangus. Tetapi dia tidak bergeming. Dia tetap kokoh mendakwahkan apa yang diyakininya sebagai cita-cita ideal.
Herman Hesse, peraih Nobel sastra pada 1946 itu, hidup dalam bayang-bayang perang yang terus berkecamuk di daratan Eropa. Dari perang dunia pertama hingga perang dunia kedua. Gejolak yang dialaminya semasa hidup dalam neraka peperangan itu, dia abadikan dalam karya-karya yang menjadi saksi sejarah bagaimana kemanusiaan hengkang dari manusia itu sendiri. Karyanya selain berisi tentang upaya melawan arus nasionalisme yang menjurus pada chauvinisme juga adalah tonggak penjaga kesadaran zamannya. Dia dan pikiran-pikirannya adalah penantang arus utama zamannya sekaligus sebagai katalisator perlawanan dan penyadaran. Dia dan orang-orang sepemikiran dengannya ibarat jendela tempat cahaya masuk dan menerangi ruangan gelap. Namun, dia bukanlah cahaya itu sendiri. Sebagaimana orang-orang nasionalis gila perang, Herman juga menempuh proses berkebalikannya, menentang arus perang ke arah perdamaian. Sebab dia meyakini bahwa dengan perdamaian, kemanusiaan kita benar-benar dalam pelukan. Sebab oleh perang, segala bentuk peradaban, kebudayaan dan kemanusiaan akan musnah.
Herman bukanlah manusia yang ahistoris. Dia paham bahwa sepanjang sejarah manusia, perang akan terus-menerus berlangsung, memuntahkan darah segar, meremukkan tulang, memisahkan keluarga dan menghancurkan bangunan-bangunan. Namun seperti kata Herman: ”...penghapusan peperangan tetap merupakan sumbangan mulia dan konsekuensi etika Kristen (Barat), seorang ilmuan mencari cara untuk bertempur melawan penyakit tidak akan mengakhiri upayanya hanya karena wabah epidemik baru merebak”. Dia kukuh dengan idealisme-idealismenya yang nyaris tenggelam dalam lumpur darah dan mayat. “Setidak-tidaknya” kata dia, “akan tercipta damai di bumi dan persahabatan diantara umat manusia akan berhenti sebagai angan ideal tertinggi kita”.
Manusia adalah makhluk yang memiliki impian-impian paling ideal soal segala hal dalam kehidupan; sejahtera, maju, berkeadaban yang tinggi, dan lain-lain. Pikiran tentang yang baik tetap mendominasi bahkan pada orang seperti Hitler sekalipun. Hitler memiliki idealisme sendiri yang baginya itu adalah suatu ”kebaikan” meskipun pada akhirnya ia menjelma monster. Idealisme-idealisme itu, yang justru kontraproduktif bahkan justru destruktif terhadap kemanusiaan harus mengalami dialektika sedemikian rupa sehingga akan terlihat bahwa terkadang idealisme tinggi yang dianggap sebagai kebaikan itu keliru. Penting untuk suatu ide diuji dan dibicarakan oleh semua orang untuk menentukan sekuat apa ide tersebut mampu diterapkan dan mampu mengayomi idealisme yang baik secara hakiki.
Begitupun dengan idealisme-idealisme Herman Hesse, pikiran tentang dunia yang penuh tawa dan damai telah menguasainya dan menjadikan dia tidak berkompromi atas perang, apapun alasannya. Itulah mengapa dia dicap sebagai pengkhianat oleh teman dan bangsanya sendiri.
Ketika dunia sibuk oleh peperangan, dunia diselimuti asap mesiu, kota-kota hancur, manusia berjatuhan menjadi bangkai. Herman memilih meninggalkan kekacauan itu semua, bukan karena dia lari dari realitas kehidupan di sekitarnya yang gelap dan suram. Tetapi itu semua refleksi dari kebenciannya pada perang. Herman memilih mengasingkan diri dan mulai menyusun ’risalah-risalahnya’. Dia merenungkan bagaimana perang dihentikan dan ide-idenya menerobos lebih banyak orang sehingga kesadaran akan kemanusiaan menguasai alam pikiran kebanyakan orang.
Barangkali inilah yang memotivasi Herman menulis sebuah buku yang berisi seluruh gejolak dalam pikirannya, menjawab realitas yang terjadi disekelilingnya yang harus dilawannya secara minoritas. Bukunya “Seandainya Perang Terus Berkecamuk” (dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia) ini adalah langkah konkritnya untuk menyadarkan orang-orang gila perang dan fanatik buta atas ideologi Nasionalisme-Chauvinisme. Dengan buku ini, dia mungkin berharap banyak pikirannya tidak hanya berputar-putar di batok kepalanya atau hanya dapat bertukar ide dengan orang-orang yang sepemikiran dengannya. Tetapi lebih dari itu, dapat menembus kepala lebih banyak orang di seluruh dunia. Bahkan jauh di masa depan, karyanya telah menginspirasi orang-orang yang hidup jauh darinya. Pada akhirnya, karya fenomenalnya akan terus mengarungi masa depan dan menginspirasi dari satu kepala ke kepala lain, ide-idenya akan terus berestafet dan selalu relevan dari satu generasi ke generasi sebab di sepanjang sejarah manusia, perang akan terus berkecamuk.
Sebagai seorang penyeru kepada perdamaian, tentu saja Herman begitu memperhatikan manusia-manusia bijak yang pernah hadir dan menginspirasi di tengah-tengah manusia. Dia menyerap kebijaksanaan dari tokoh-tokoh dunia itu dengan baik, lalu dengan semua itu dia berjuang menegakkan perdamaian. Dia membawanya ke tengah-tengah lapangan tempur untuk mengingatkan sesuatu yang telah dilupakan oleh kebanyakan manusia, yang menyebabkan manusia terjerembab dalam kekanak-kanakan pikiran primitif: peperangan yang seharusnya telah ditinggalkan jauh di masa pra modern.
Di dalam bukunya, dia menuliskan dengan begitu epik falsafah kemanusiaan, persaudaraan universal, dan kesatuan keilahian. Dalam sebuah kalimatnya yang indah, dia mengatakan: “Orang lain bukanlah orang asing; dia bahkan sesuatu yang jauh, yang tidak berhubungan dengan kita, dan mencukupi diri sendiri. Segala sesuatu di dunia ini, terdiri dari ratusan “yang lain”. Mereka eksis bagi saya sejauh saya dapat melihat, merasakan dan menjalin hubungan dengan mereka. Hubungan antara saya dan dunia ini, antara saya dengan “yang lain” adalah substansi kehidupan saya.”
Herman juga meyakini bahwa kita semua terkait pada sesuatu yang satu, yakni Tuhan. “satu Tuhan”, katanya, “hidup di dalam diri kita semua. Setiap bingkisan di bumi ini adalah rumah kita, setiap orang adalah saudara kita...”. dan pengetahuan tentang kesatuan ilahiah inilah yang membuka segala sekat ras, bangsa, kaya dan miskin, agama-agama dan partai politik.
Perang dan segala bentuk pengkhianatan terhadap kemanusiaan harus dihentikan. “Untuk menghargai umat manusia”, kata Herman, “kita semua memikul satu tugas saja. Tugas kita sebagai manusia adalah: menjalani kehidupan pribadi yang unik, mengambil langkah terpendek yang akan mengubah kita dari binatang menjadi manusia sejati”.
Meskipun pemikiran-pemikiran semacam Herman Hesse ini adalah ideal tertinggi kita yang juga ditopang oleh ajaran-ajaran agama, semoga perang musnah dari muka bumi ini dan kemanusiaan berjaya di bumi.