“Kami belum pernah jual. Tapi ini namanya hemat uang sayur,” tandas Anastasia Tuto Lamak, Warga RT/RW: 009/005 Desa Lerahinga Kecamatan Lebatukan Kabupaten Lembata.

Rumah mungil berdinding keneka (dinding dari anyaman belahan bambu) ini selalu ramai dikunjungi para tetangga. Bukan karena Donatus Doni, pemiliknya, adalah tokoh popular. Anastasia Tuto Lamak, sang istri juga wanita biasa, seperti kebanyakan ibu rumah tangga.

Cabe Merah. Itulah alasan kunjungan warga ke rumah ini. Area sekitar dapur dan pekarangan samping rumah, memang ditumbuhi banyak tanaman cabe. Uniknya, tanaman cabe ini rutin berbuah setiap bulan. Tak ayal, para tetangga pun rutin ‘bertamu’ sekedar meminta beberapa buah cabe merah, buat penambah selera makan.

“Hampir setiap hari, pasti ada tetangga yang datang. Mereka petik lombok (cabe) ini,” cerita Ibu Anastasia Tuto Lamak.

Terletak di dataran rendah, persis di pesisir pantai utara Pulau Lembata, menjadikan wilayah Lerahinga, kerap mengalami kesulitan air, terutama di musim kemarau. Ladang masyarakat ramai rutin dikunjungi hanya pada musim hujan.

Di musim kemarau, frekuensi kunjungan berkurang, sekedar memetik sisa panen, atau tumbuhan lain yang bisa dikonsumsi. Kekeringan dan krisis air, menjadi alasan bagi petani untuk ‘menjauh’ dari ladang selama musim kemarau. Oleh karena itu, pemanfaatan pekarangan adalah salah satu cara efektif untuk mendapatkan panenan lainnya. Tanaman perdu semisal cabe merah atau tomat, akan meningkat produktivitasnya jika secara rutin mendapat pasokan air.

“Jadi kami punya lombok ini kami siram terus pake air sisa cuci piring. Daripada air sisa kita buang saja. Saya lihat macam lombok ini, kalau disiram terus itu dia berbuah terus,” jelas Doni.

Bahkan sebatang pohon cabe merah di samping rumahnya, sudah tinggi dan rimbun daunnya.

“Selama ini, kami tidak jual. Kita ini hidup di desa. Jadi, yang seperti ini tidak enak kalau harus pake jual. Tapi yang begini kami sebut hemat uang sayur. Iya, benar. Soalnya kalau di pasar, lombok seperti ini, 1 kilo saja lebih dari 100 ribu rupiah harganya,” timpal Ibu Anastasia.

Selain lombok/cabe, pekarangan rumah Bapa Doni dan Ibu Anastasia juga ditanami pepaya, marungga/kelor, terong dan jahe. Bahkan batas pekarangannya juga ditanami beberapa rumpun pisang yang mulai berbuah.

“Pokoknya kami tanam saja. Daripada lepas tanah kosong saja. Yang penting, yang namanya bumbu dapur itu tidak perlu beli lagi,” tambah Anastasia.

Doni dan Anastasia hanya satu dari sekian banyak warga Lembata yang  memanfaatkan pekarangan untuk mendukung perekonomian rumah tangga. Lembata adalah sebuah pulau sekaligus sebuah kabupaten. Akses masuk-keluar Lembata terbilang cukup ‘rumit’. Kalau mau jujur, setidaknya hanya hasil laut yang menjadi komoditas murah dan terjangkau. Lebih dari itu, mencekik. Jangan dikata lagi barang kebutuhan yang didatangkan dari luar pulau.

Kreativitas dan inovasi semisal karyanya Pak Doni dan Ibu Anastasia muncul untuk membangun ketangguhan. Sebab jauh-jauh hari sebelum datangnya bencana sungguhan, kerentanan ini pelan-pelan sudah menggerogoti ketangguhan masyarakat.