Digitalizaztion Era & Narsistic. 

2020 merupakan awal Covid-19 menyerang Indonesia. Banyak sekali korban yang gugur di dalam peperangan melawan virus ini. Namun hal ini tidak melumpuhkan semangat dunia untuk terus berkembang. 

Hal ini terbukti banyak terciptanya media komunikasi baru untuk mendekatkan kita yang dijauhkan pada saat pandemi Covid-19. Kemajuan media komunikasi tentu tidak akan terlepas dari yang namanya sosial media.

Seiring dengan berkembangnya sosial media, masyarakat jadi bisa dengan gampang mengakses segala hal dalam waktu yang singkat. Sosial media seperti Instagram dan Tik-tok selalu menjadi momok utama jika membicarakan mengenai sosial media. 

Dari data yang diambil, dikatakan bahwa pengguna Instagram di Indonesia sudah mencapai 85 juta jiwa dan pengguna Tik Tok di Indonesia sendiri mencapai 92,2 juta pengguna pada tahun 2021. 

Keduanya banyak memiliki kesamaan dalam fitur-fitur yang menarik, seperti banyak fitur chatting yang kekinian, filter-filter yang menggemaskan sampai banyak variasi lagu yang dapat di upload dan digunakan oleh pengguna. 

Tidak heran jika Instagram dan Tiktok begitu diminati oleh masyarakat kita bahkan dari kaum muda sampai ke tua.

Terlebih pada masa Covid-19 saat kita dibatasi ruang geraknya. Kita cenderung mencari tempat lainnya untuk lebih bersosialisasi dengan manusia lain dan satu-satunya tempat yang bisa digunakan hanya sosial media. 

Maka angka penggunaan sosial media dan screen time yang dihabiskan untuk scrolling sosial media begitu tinggi di masa pandemi. Namun masyarakat kita sering kali tidak sadar atas apa yang terjadi pada dunia digital. 

Kemudahan dalam mengakses segalanya, membuat masyarakat buta atas hal-hal negatif yang muncul akibat dari dunia digital. Keterkaitan atau bisa dibilang kecanduan kepada sosial media dapat membuat kita cenderung mengejar sebuah ketenaran dan berujung pada sikap narsisme.

Sikap narsisme kebanyakan muncul dari kaum remaja. Kaum remaja akan selalu memiliki kebutuhan akan pengakuan diri sebagai bentuk dari pencarian jati dirinya atau perannya. 

Sebagai pemenuhan kebutuhan akan pengakuan diri, remaja cenderung menunjukkan eksistensi dirinya melalui sosial media. Karena sosial media dapat dikatakan merupakan tempat yang mudah dan tidak ribet. 

Bentuk dari perwujudan eksistensi diri ini banyak sekali seperti, membuat konten “A Day In My Life”, meng-upload­ selfie atau foto dirinya, dan masih banyak lagi.

Sebenarnya sikap narsisme sendiri diartikan sebagai perasaan yang berlebihan tentang pentingnya diri sendiri dan ketertarikan diri sendiri yang berlebihan.

Narsisitik dicirikan dengan perasaan berlebihan bahwa dirinya penting dan mereka ini mengharapkan perlakuan spesial dari orang lain, sementara tidak mempertimbangkan perasaan orang lain.

Orang dengan sikap narsisme sendiri identik dengan perasaan diri sosok yang paling baik dari siapapun, tidak dapat menerima kritik, memanipulasi orang lain dan kurang empati. Karakteristik kurang baik mereka ini dapat mengarah pada permasalahan dalam hubungan sosial mereka. 

Mereka dapat dijauhi atau bahkan dikucilkan oleh lingkungan sosialnya. Fenomena ini sangat menarik jika dikaji menggunakan analisis filsafati menurut Arthur Schopenhauer.

Kehendak Buta, Arthur Schopenhauer dan Das Mann, Martin Heidegger.

Setiap manusia selalu memiliki dorongan dari dalam dirinya untuk menginginkan sesuatu. Sehingga membuat manusia berusaha bahkan sampai berlomba-lomba untuk mendapatkan hal tersebut. Dorongan untuk mengingini sesuatu ini berasal dari kehendak. 

Di mana nantinya apa pun kehendak yang diambil akan mempengaruhi hakikat kita sebagai seorang manusia. Konsepsi ini didukung oleh seorang tokoh filsafat yang berasal dari Jerman yaitu, Arthur Schopenhauer.

Menurutnya  kehendak manusia adalah yang mengontrol segala perilaku dan sikap manusia serta pengambilan keputusannya. Dalam kehendak yang didasari tanpa adanya kontrol dari individu tersebut juga dapat mengarahkan individu ke hal yang buruk atau negatif yang bisa disebut dengan kehendak buta. Saat manusia ada dalam kehendak buta pengendali mereka hanya 2 yaitu, egoisme dan individualisme.

Das Mann adalah sebuah teori yang dikemukakan oleh Heidegger mengenai ketidakotentikan individu dikarenakan individu tersebut mengikuti arus dimana mereka tidak memiliki keunikan diri, karena eksistensi mereka hanya sekedar ikut-ikutan orang lain/tren

Kehendak Buta, Das Mann dan Ketenaran.

Kebutuhan akan pengakuan dari orang lain pada remaja merupakan salah satu perwujudan dari kehendak buta. Pada awalnya, hakikat dari manusia berupa akal budi/intelegensi/kesadaran. Akan tetapi, akal budi merupakan permukaan karena di balik itu terdapat kehendak. 

Secara umum, kehendak merupakan dorongan buta untuk hidup abadi. Remaja tidak membutuhkan ketenaran karena ada alasan rasional, tetapi remaja memiliki alasan yang dibuat-buat agar menjadi rasional sehingga remaja membutuhkan ketenaran.

Lama-kelamaan setelah remaja tenggelam dalam ketenaran ia akan kehilangan jati dirinya sendiri dan dalam kesehariannya dapat membiarkan dirinya jatuh dalam eksistensi yang ikut-ikutan orang lain (tidak otentik). Individu (remaja) membiarkan orang lain yang memutuskan apa yang terbaik. 

Hal ini ditunjukkan melalui jumlah likes yang didapatkan remaja pada media sosialnya. Semakin banyak jumlah likes menunjukkan bahwa dirinya semakin baik, bahkan tenar.

Secara naluriah, manusia memang mengejar suatu kepuasan duniawi seperti ketenaran. Daripada mengejar kepuasan duniawi, remaja alangkah lebih baik belajar memahami tujuan hidup agar memperoleh kebijaksanaan. Kebijaksanaan dapat diperoleh melalui belajar (Non scholae, sed vitae discimus).

Dengan pengetahuan dan intelegensi yang memadai, individu dapat mengontrol kehendak butanya selama pengetahuan yang dimiliki bisa mengarahkan keinginan yang ada pada individu tersebut (mengontrol). 

Semakin dapat mengontrol keinginannya untuk diakui oleh orang lain, maka anak-anak remaja semakin bijak dalam memilih mana yang penting dan mana yang tidak penting.

Selama kehendak buta dituruti secara terus menerus, individu tidak akan pernah mempunyai kebahagiaan atau kedamaian abadi. Individu akan mendapatkan kedamaian apabila mampu tidak menuruti kehendak butanya. 

Tanda bahwa individu sudah bahagia dan damai yaitu kekosongan dalam kegiatan, keinginan, dan pilihan hidup. Sederhananya, dalam bertindak, remaja dapat memilih secara bebas dengan alasan yang rasional (tidak dibuat-buat).

Saat membuat konten, individu melakukannya pasti karena ada alasannya. Individu tersebut ingin mengabadikan momen tertentu atau ingin panjat sosial? Itulah yang perlu ditelaah lebih dalam lagi. 

Apabila ingin panjat sosial, hal ini menandakan bahwa individu tersebut bertindak masih atas dorongan kehendak butanya. Akan tetapi, apabila selfie karena ingin mengabadikan momen tertentu, hal ini menandakan bahwa individu tersebut memahami betul makna di balik selfie.

Kemudian, agar dapat menjadi diri yang otentik, Heidegger mengajak manusia untuk bersedia mendengarkan panggilan hati nuraninya sendiri. Hati nurani yang dimaksud adalah suara dari dalam diri sendiri yang perlu didengarkan dengan penuh perhatian untuk memahami keunikan diri sendiri. Bagi Heidegger, momen saat individu benar-benar otentik adalah pada saat individu menemukan kejelasan tentang diri sendiri.

Dengan mendengarkan panggilan hati nurani, remaja dapat menjadi diri sendiri yang seutuhnya. Secara sederhana, remaja dapat mendengarkan panggilan hati nurani dengan cara self love. Self love adalah cara mencintai diri sendiri yang otentik secara wajar. Apabila mencintai diri sendiri secara berlebihan, itu dinamakan sebagai narsistik, yang mana individu masih belum menjadi pribadi yang otentik.