Sejatinya manusia sudah memiliki kemampuan yang dibawa sejak lahir untuk mengekspresikan perasaan dan seluruh anggota tubuhnya, termasuk urusan seksualitas. Keseimbangan antara Id, ego dan super ego-lah, menurut Sigmund Freud, yang akan menentukan sekaligus menstimulus anggota tubuh untuk melakukan sesuatu secara normatif yang kemudian diterjemahkan secara langsung melalui tindakan (psikomotorik).
Tentang seksualitas dan fungsi organ tubuh lainnya secara umum sebenarnya akan berfungsi secara otodidak, misalnya manusia akan makan menggunakan tangan, berjalan menggunakan kaki, mencium menggunakan hidung, sampailah dengan urusan selangkangan.
Lazimnya, rasa kasih sayang dan saling mengeksprsesikan cinta (afektif) akan terjadi antara mereka yang berbeda gender. Semua berjalan secara natural, dan seharusnya hanya butuh sedikit edukasi untuk memaksimalkan agar berfungsi tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kepuasan adalah tolok ukur yang akan menjadi penentu untuk terus melakukan atau harus menyudahinya.
Akhir-akhir ini di Indonesia yang dikenal sebagai negara yang syarat akan nilai-nilai pluralisme kembali di-riuh-kan terkait isu-isu LGBT.
Di tengah-tengah pro-kontra perdebatan terkait hal tersebut, publik kembali dihebohkan pada penggerebekan oleh Tim Patroli Siber dan Reserse Polres Cianjur, Jawa Barat atas dugaan aktivitas pesta seks sesama jenis. Hal ini tentunya akan menjadi satu dari sekian bukti yang terus memperkuat hipotesa masyarakat terhadap sebaran akan keberadaan kelompok LGBT di berbagai daerah di Indonesia.
Melalui operasi tersebut, pihak kepolisian berhasil mengamankan lima orang laki-laki yang kuat diduga adalah mereka yang akan melangsungkan pesta seks sesama jenis di sebuah Villa. Ironisnya, satu di antara mereka yang diamankan masih dikategorikan anak di bawah umur. Hah, cukup mengecewakan.
Di dalam berbagai kesempatan, mereka yang terus mengupayakan legalitas keberadaan kelompok LGBT dengan mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM), sangat getol memperjuangkan hal tersebut dengan tidak sedikit pun mempertimbangkan nilai-nilai sosial masyarakat yang selama ini sudah mengkristalisasi secara natural. Tatanan nilai sosial yang sudah ada ini hanya dianggap sebagai gubuk reot yang sewaktu-waktu akan dirobohkan untuk diganti dengan bangunan yang baru.
Alih-alih mendebatkan tentang konsistensi doktrin agama, mempermasalahkan keseriusan negara dalam melindungi hak warga negara. Bahkan yang lebih konyol dari tragedi tiang listrik adalah mereka menganggap negara sudah terlalu jauh mengintervensi tentang kehidupan individu sampai-sampai urusan selangkangan-pun negara harus ikut campus mengurusinya.
Ini tentang kebebasan, ini tentang ke-lumrah-an atas nikmat kehidupan (HAM), selama tidak mengusik para pemuka agama dalam berdakwah, tidak mengganggu orang lain dalam menyeruput kopi ini tentunya sah-sah saja dong. Jujur, nyinyiran seperti itu bukan saja menggelitik nalar sehat kita namun secara tidak langsung juga menstimulus kita untuk menganalisa secara obektif, sudah tepat-kah kiraya negara mengintervensi urusan selangkangan?
Benar bahwa negara bukanlah penikmat sekaligus aktor seks yang harus terlibat dalam urusan privat ini. Namun harus ingat bahwa negara memiliki tugas dan tanggungjawab yang besar terhadap masa depan bangsa terlebih untuk mewujudkan peradaban jangka panjang yang semuanya hampir dapat dipastikan akan bermuara dari sebab akibat urusan selangkangan. Kita berbicara tentang sebuah peradaban yang di dalamnya ada tatanan nilai dan terus akan menjadi sebuah kekuatan dalam menjalankan misi kebangsaan.
Keberadaan LGBT jika dilihat dari sudut pandang HAM, agama, hukum, kesehatan dan sosial budaya masyarakat Indonesia tentunya semakin memperkuat alasan yang mengahruskan negara terpaksa harus ikut andil dalam urusan selangkangan ini. Menganalisa dari berbagai sudut pandang tersebut, hampir tidak ada celah yang cukup menjadi alasan untuk sebuah pembenaran bahwa LGBT harus dilegalkan. Ini bukan sesuatu yang sadis, namun ini adalah bentuk ke-santun-an pada level terendah.
Sesuatu yang dianggap benar, akan dianggap tidak benar jika ada hal yang lain lebih benar dan rasional. Itulah dia perkara seksualitas, ternyata dalil-dalil pembenaran yang selama ini dilontarkan tidak serta merta menghentikan orang lain untuk mematahkan pembenaran tersebut. Katakanlah soal kasih sayang, konon seseorang lebih merasa nyaman dan merasa dilindungi ketika berada bersama pasangan sesama jenis. Nyatanya itu tidak berlaku universal bahkan hanyalah sebagai sesuatu yang dipaksakan dan cenderung bersifat subjektif.
Dipaksakan dalam artian gagalnya laki-laki atau perempuan memposisikan diri secara benar untuk memaknai jati diri yang telah ditakdirkan sebagaimana mestinya terutama dalam urusan seksualitas. Sehingga dengan mengabaikan nalar sehat, secara spontan mengiyakan keinginan-keinginan kecil dan pada akhirnya menjadi rasa kenyamanan yang tak hingga. Sampailah pada akhirnya warna-warni pelangi menjadi simbol kekuatan cinta dan kasih sayang.
Perkara cinta, soal HAM semua akan menjadi omong kosong kalau itu hanya disuarakan oleh mereka-mereka yang abai akan jiwa Ke-Indonesiaan yang sesungguhnya. Bukan bermaksud menutup telinga untuk mendengarkan suara minoritas, tapi minoritas yang mana dulu.
Dalam hal ini, tanpa melibatkan nilai-nilai relegiusitas-pun sebenarnya sekat-sekat pembatas antara yang pantas dan tidak pantas sebenarnya sudah tampak jelas. Akan tetapi entah apa yang mendasari mereka untuk terus memaksakan bahwa ini seolah-olah layak diperjuangkan.
Kita masih percaya dengan negara ini, bahwa di sini masih terdapat banyak ruang untuk mengekspresikan cinta dengan “bebas”. Sayangnya ornamen-ornamen kebebasan yang ditandai dengan adanya disetiap sudut-sudut kota akan arena untuk mengekspresikan nilai-nilai romantisme sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Banyak hal-hal negatif tumbuh pesat di sana, sehingga disatu sisi pada bagian ini negara terkesan lost control alias abai atas kesepakatan yang dulunya sepakat untuk ditaati. Inilah sebuah konsekuensi jika kehadiran negara hanya setengah-setengah atau negara hadir hanya saat-saat pemotongan pita merah, selebihnya terserah saja yang penting nyetor.
Ironisnya tidak sampai disini, akhirnya kenyamanan seperti itu dirasa sangat kolot dan tidak cukup untuk memfasilitasi secara totalitas bagian kecil dari mereka dalam mengekspresikan cinta. Sehingga tiba-tiba ada semacam gejala yang seakan-akan menghardik keyakinan dunia seksualitas yang selama ini ada dan menganggap ini adalah sesuatu yang monoton dan purba. Ending-nya mengisyaratkan bahwa seksualitas harus menghadirkan sesuatu yang baru layaknya akulturasi suatu kebudayaan.
Gender sudah dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan mustahil dapat memenuhi hasrat libido secara totalitas dalam mengekspresikan kasih sayang. Melalui opini publik negara di-giring untuk mengamini seraya memberikan pengakuan bahwa ini pantas untuk dilegalkan. Sekat-sekat kebebasan yang selama ini dibangun dari nilai-nilai moralitas dianggap paradigma kuno yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman sekaligus dianggap telah memperkosa nilai-nilai universal kemanusiaan.
Tidak terima disebut sebagai perilaku menyimpang, berbagai retorika nyeleneh-pun diumbar ke publik. Hasilnya ternyata tidak cukup memperkuat argumen untuk merasionalkan akan hal tersebut, malahan menjadi objek tersendiri bagi masyarakat untuk terpaksa “menghakimi” secara terus menerus.
Kita sadar betul sebenarnya apa yang dilontarkan oleh masyarakat adalah sebuah keprihatinan sekaligus kekhawatiran atas keberlangsungan peradaban bangsa dimasa yang akan datang. Namun sayangnya mereka tidak ngeh.
Mereka seharusnya segera menyudahi egoisme pragmatis yang pasti akan terus mendapat perlawanan dari masyarakat. Sisi gelapnya ialah dikhawatirkan ini akan menjadi konflik horizontal yang tiada berkesudahan. Lantas pertanyannya, mengapa tidak negara saja yang mengalah dalam hal ini dengan mengamini keinginan mereka.
Tentu jawabannya tidak semudah itu, karena negara ini dibentuk bukan semata-mata untuk memenuhi urusan selangkangan saja, dan jika sudah terpenuhi maka selesailah tugas organisasi negara ini.
Tentu tidak, negara ini telah diberi tugas untuk melindungi hajat hidup orang banyak yang didalamnya ada urusan yang sangat kompleks termasuk perihal bagaimana seharusnya urusan seksualitas. Ini bukan hal sembarangan dan asal-asalan. Di sinilah pentingnya peran negara dengan terus memberikan edukasi secara benar. Kurang tepat rasanya jika harus memaksakan negara untuk melanggar prinsip-prinsip moralitas yang ada. Ini bukan sebuah dongeng, yang alur ceritanya dapat diatur sesuai selera.
Ketika mereka menganggap bahwa larangan terhadap LGBT adalah perbuatan melanggar HAM, maka perlu diingatkan bahwa perilaku LGBT itu jauh lebih kejam dalam menabrak nilai-nilai HAM itu sendiri. Karena seandainya perkawinan sejenis itu dilegalkan oleh negara, maka berapa banyak calon-calon manusia yang seharusnya memiliki hak yang sama untuk turut serta menghirup udara di muka bumi tetapi tidak terwujud. Karena mustahil perkawinan sejenis akan melahirkan keturunan, kecuali disiasati dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun itu sangatlah tidak adil dalam proses kehidupan.
Sebagaimana sifat sebuah negara yaitu mengikat dan memaksa, maka tidak salah jika negara dengan segala kekuasaan yang ada agar terus konsisten untuk menerjang sejauh mungkin gerakan-gerakan terlarang sekalipun ia hadir dalam bentuk yang lebih santun dan halus dan terbungkus dengan indahnya nilai-nilai Hak Asasi Kemanusiaan. Ini tentunya sangat berbahaya bahkan mungkin jauh lebih berbahaya dari ancaman kelompok teroris.
Cepat atau lambat gerakan LGBT ini akan terus disiasati untuk sedemikian mungkin agar dapat dihadirkan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Nalar sehat, khazanah keilmuan bahkan doktrin agama akan dianggap sebagai sesuatu yang salah dan dianggap doktrin usang karena tidak sejalan dengan apa yang mereka yakini. Oleh sebab itu, maka sudah menjadi suatu keharusan bahwa negara harus terlibat langsung dalam mengurusi urusan selangkangan, melalui ruang-ruang edukasi yang bermanfaat.
Semoga pelangi tetap menjadi simbol harapan, kedamaian dan keindahan hidup yang sesungguhnya di negeri ini, layaknya harapan setelah gerimis membasahi ke bumi.