Pergantian tahun baru masehi dari 2017 menuju 2018 telah berlalu. Seluruh manusia di belahan dunia disibukkan dengan agenda dan kegiatan bersama kerabat, keluarga atau rekan-rekan kerja mereka. Tempat-tempat hiburan pun datang diserbu mereka. Ia  dipenuhi manusia-manusia yang kehausan hiburan demi menyambut kedatangan hari yang langka tersebut. Hari yang datangnya satu tahun satu kali.

Ada tradisi wajib yang tak pernah hilang dalam menyambut kemeriahan tahun baru, dari dulu hingga kini, antara lain: meniup terompet dan menyalakan kembang api. Menurut sejarah mulanya, meniup terompet adalah tradisi orang-orang kuno dulu dalam mengusir setan.

Kemudian orang-orang Yahudi mengadopsinya sebagai sebuah ritual menyambut rosh hashanah (hari raya terompet) tahun baru taurat. Sekaligus juga merupakan pesan agama yang mendeskripsikan kuasa Tuhan kala menghancurkan dunia.

Kemeriahan tahun baru bertambah riang dan dinamis saat disambut bunyi terompet yang bersahut-sahutan dari berbagai penjuru dunia. Tak lengkap pula rasanya jika tak diikuti dengan pesta petasan dan kembang api. Langit dunia menjadi terang dan sumringah karenanya.

Seperti halnya meniup trompet, tradisi menyalakan petasan dan kembang api ini pun adalah sebuah tradisi ritual yang sudah dari dulu dilakukan bangsa Cina untuk mengusir setan. Selain itu, petasan juga dipercaya dapat mendatangkan keberuntungan (hoki).

Dalam konteks di atas, saya tidak ingin masuk wilayah hukum agama (syariah). Apakah memeriahkan tahun baru dengan terompet dan kembang api merupakan sebuah pekerjaan “haram” dilakukan bagi kaum muslim, seperti yang difatwakan MUI. Apakah masuk dalam kategori tasyabbuh? Bagaimana nasib keislaman dan keimanan seseorang jika ikut-ikutan merayakan tahun baru tersebut? Dan sejumlah pertanyaan lain yang jika dijawab oleh golongan Islam tertentu, justru akan memunculkan persoalan dan keresahan baru.

 

 

Harga Beras yang Memeras 

Kemeriahan natal dan tahun baru, rupanya tak berbanding lurus dengan kebahagiaan kaum ibu, sebagai konsumen setia, pelanggan pembeli beras untuk memenuhi kebutuhan keluarga di rumah di seluruh antero nusantara. Mereka, kaum ibu, justru merasa “terperas” di hari kebahagian natal dan tahun baru tersebut. Pasalnya, harga beras tiba-tiba melambung bahkan meroket tak kenal kompromi.

Ada situasi berbeda yang dirasakan kaum ibu ketika natal dan tahun baru kali ini menyapa mereka. Dapur mereka harus tetap ngebul meski harga sembilan bahan pokok termasuk si butir kecil putih alias beras yang mengalami kenaikan harga. Tak ketinggalan pula daging sapi, daging ayam, telur, dan sejenisnya di mana harganya kian melambung tinggi.

Dari data yang diperoleh, warga miskin di berbagai daerah menjerit karena harga beras terus melambung. Harganya mencapai Rp 11.000 per kilogram hingga Rp 13.000 per kilogram. Sebuah harga yang melampaui harga eceran tertinggi (HET), yaitu Rp 9.450 per kilogram. Sehingga para pedagang protes kepada pemerintah untuk bisa melakukan kontrol terhadap pendistribusian stok beras tersebut agar harganya tidak terlalu tinggi di seluruh daerah.

Pemerintah kemudian langsung melakukan gerak cepat melalui PT Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) dengan menggelar operasi pasar untuk menekan harga. Tapi, hasilnya nihil, harga beras tak mau turun.

Kondisi harga di atas disebabkan kurangnya pasokan di pasar, terutama beras kualitas medium. Demikian keterangan Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita. Kementerian Perdagangan kini tengah bekerja keras untuk menstabilkan harga agar situasi dan kondisi di pasar tidak gaduh dan menciptakan kerusuhan (PR, 12/1).  

Bulog terus mendistribusikan cadangan beras pemerintah (CBP), operasi pasar diperluas hingga 1.362 titik Jika pemerintah tak sanggup menekan harga beras yang terus melambung, bisa dipastikan opsi kedua yanga akan dilakukan, yaitu membuka opsi impor. Jika terjadi opsi ini dipastikan petani yang akan merugi karena harga gabah akan turun dan otomatis petani akan galau dan merana.

Adapun alasan lain penyebab kenaikan harga beras menurut para pengamat adalah karena pasokan harga dari daerah penghasil padi di Pulau Jawa menurun; Karawang, Subang, dan Indramayu (Jawa Barat). Ditambah dengan musim panen di daerah-daerah tersebut tealat yaitu akhir bulan Januari dan Februari 2018. Produksi beras membutuhkan proses hingga beras tersebut sampai di tangan konsumen. Kondisi demikian mengakibatkan gejolak harga beras akan terus berlangsung hingga awal Maret.

Di bagian akhir tulisan ini, saya juga sangat mencurigai ada oknum-oknum yang bermain. Biasanya mereka sangat cerdik sekali membaca situasi. Di saat permintaan pasar melonjak, seperti menjelang hari-hari raya besar keagamaan, barang-barang kebutuhan untuk hari raya tersebut ditimbun, seolah tidak ada di pasaran.

Kemudian mereka mendistribusikan sedikit demi sedikit dengan asumsi konsumen pasti akan membelinya walau dengan harga yang mahal sekalipun. Ada pihak-pihak yang menari di atas penderitaan kaum ibu yang setiap hari menyuguhkan nasi yang lezat dan nikmat untuk kita di meja makan  

Persoalan yang sangat ironi dan paradoks adalah naiknya harga beras tidak menambah sejahtera petani Indonesia. Hal tersebut adalah persoalan serius yang harus dijawab. Salahsatu jawabannya adalah memotong panjangnya rantai distribusi. Dan konsumen yang menjadi korban, karena harga akan menjadi tinggi.

Pemerintahlah yang mempunyai kewenangan penuh dengan kondisi di atas. Pemerintah harus berani memotong jalur distribusi tersebut. Pemerintah juga seharusnya bertindak cepat, cerdas dan konkret untuk menyelesaikan kesewenang-wenangan pasar menciptakan harga yang hanya berpihak kepada para pemilik uang (kaum kapital).

Satu hal penting, pemerintah juga harus mempunyai data detail soal beras. Pemerintah harus tahu kapan kebutuhan pasar meninggi dan memastikan suplai mencukupi kebutuhan masyarakat dan tentunya aman. Dengan demikian antisipasi kekurangan akan terkontrol dengan baik. Sejatinya, kebahagiaan tahun baru tidak diganggu dan dinodai oleh tingginya harga beras yang tambah meroket. Beras mahal, siapa yang bertanggungjawab?