Apa yang muncul di benak kita, ketika Presiden Jokowi menyampaikan secara terbuka keputusannya  untuk menyamakan harga BBM di Papua, dengan harga BBM di seluruh Indonesia?

Politisi partai yang berseberangan dengan Pemerintah  langsung mencurigainya sebagai bentuk pencitraan. Itu merupakan politik cari muka di tengah kegagalan pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, katanya.

Lain lagi dengan Dirut Pertamina, yang  langsung khawatir dan mengingatkan Presiden Jokowi bahwa kebijakan tersebut akan mengakibatkan  Pertamina mengalami kerugian Rp 800 miliar setahun, jika harga BBM di Papua disamakan dengan wilayah lain di Indonesia.

Reaksi  Dirut Pertamina itu bagi para pelaku bisnis pasti diangap wajar. Dan memang, satu keharusan, karena kebijakan tersebut akan membebani Pertamina dengan ongkos angkut BBM. Terutama ke wilayah Papua yang sulit dijangkau transportasi, dimana juga ketidaktersedian tempat penyimpanan, dan masih harus menggunakan pesawat yang menyebabkan harga jualnya menjadi sangat mahal.

Tentu, Presiden Jokowi sangat mengerti hal tersebut, dan beliau juga bukan tanpa perhitungan mengutarakannya secara terbuka. Namun, walaupun  demikian, ia tidak serta merta menyalahkan  Dirut Pertamina itu atas reaksinya yang sepertinya agak berkeberatan.

Namun bisa jadi, jauh di lubuk hati Presiden, ada sedikit  perasaan  kecewa dengan Bos Pertamina itu, karena belum bisa memahami bahasa Presiden,  dan juga tidak bisa membaca apa yang ada  di pikiran beliau.

Presiden Jokowi  memang tidak langsung memberitahu Bos BUMN terbesar di Indonesia itu bagaimana ia sudah menemukan rumus sehingga  hal tersebut bisa dilakukan. Ia juga sangat menghormati masyarakat Papua dengan menyesuaikan alasannya dengan konteks masyarakat Papua yang membutuhkan dan sudah sedemikian lama menanti keadilan.

“Ini bukan masalah untung dan rugi, ini adalah masalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!” Demikian Presiden Jokowi memberi jawaban yang sangat dinantikan oleh masyarakat Papua. Akhirnya, mereka bisa percaya bahwa di mata Presiden Jokowi,  mereka ternyata serupa dengan saudara mereka di wilayah lainnya di Indonesia.

Kemudian, kepada Dirut Pertamina, ia memberi tugas baru, dengan catatan Dirut Pertamina itu harus mau membuka kembali pelajaran Matematika SD yang mungkin sudah dilupakannya. Yakni, bagaimana membagi beban distribusi BBM di Papua untuk ditanggung bersama oleh seluruh pengguna BBM di Indonesia, sehingga tidak lagi memberatkan untuk masyarakat di Papua.

 “Rp. 800 miliar itu terserah dicarikan subsidi silang dari mana. Itu urusan Pertamina, yang penting masyarakat Papua kini bisa menikmati harga premium yang sama dengan saudara-saudaranya di Jawa. Ini  merupakan bentuk pelayanan pemerintah Pusat kepada meraka yang tanahnya selama puluhan tahun diekploitasi untuk membangun Jawa.”  Demikian Presiden Jokowi masih mendasarkan alasannya dengan konteks masyarakat Papua yang terabaikan dalam sambutannya di Yahukimo, Selasa, 18 Oktober 2016.

Tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari Dirut Pertamina, Presiden Jokowi memutuskan, bahwa pada hari itu juga harga BBM di Papua harus serupa  dengan harga BBM di seluruh Indonesia, yakni bensin Rp. 6.450  dan solar Rp. 5.450 untuk setiap liternya.

Hal ini tentu sangat mengejutkan sekaligus menggembirakan  bagi masyarakat, terutama di daerah pegunungan/pedalaman yang  harus menerima harga BBM hingga puluhan kali lipat dari harga yang dinikmati saudara mereka di wilayah lain di Indonesia. Tentu, lain halnya dengan spekulan yang bisa jadi mendadak lemas, karena selama ini justru mendapatkan untung dari keadaan dimaksud.

Anda bisa bayangkan jika harga untuk setiap liternya mencapai Rp. 60.000 hingga Rp. 100.000.  Tiba tiba diturunkan menjadi Rp. 6.450 dan  Rp. 5.450, bukankah hal tersebut sesuatu yang sangat mengejutkan?

Bukan hanya masyarakat Papua, Dirut Pertamina juga tidak percaya bahwa hal itu akan dilakukan oleh Presiden Jokowi. Ia mungkin segera membayangkan kerugian yang akan diderita Pertamina dengan harga demikian.

Demikian juga dengan Fadli Zon, yang katanya wakil rakyat itu. Justru sebagai wakil rakyat, ia masih belum bisa  menerima dengan gembira keputusam Presiden Jokowi yang berupaya mewujudkan  keadilan bagi masyarakat di Papua.

Memang, Dirut Pertamina maupun Fadli Zon tidak pernah berpikir sejauh itu, karena mereka melihatnya dari perspektif yang berbeda. Jika Fadli Zon menyorotinya dari aspek politik,  tentu kebijakan demikian akan sangat menguntungkan Presiden Jokowi bila dikaitkan dengan Pemilu yang akan datang.

Lain halnya dengan Dirut Pertamina yang tidak  bisa sepenuhnya menjiwai apa artinya sebagai pelayan masyarakat. Ia hanya fokus bagaimana supaya Pertamina tidak rugi, walaupun sebenarnya Presiden Jokowi sudah memberi isyarat bahwa kebijakan ini tidak akan membuat Pertamina sampai rugi.

Apa dasat perhitungan Presiden, yang  bisa sedemikian yakin bahwa Pertamina tidak harus rugi?

Menurut data dari harian Kompas, konsumsi BBM di Papua sekitar 42.000 KL per bulan untuk jenis premium dan solar. Khusus untuk wilayah pegunungan, biaya angkutnya tergolong sangat mahal, bahkan bisa mencapai 5 kali lipat dari harga jualnya di Pulau Jawa.

Namun kita sederhanakan saja perhitungannya berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Dirut Pertamina , yakni keeugian sekitar Rp.800 miliar/ tahun.  

Ada banyak opsi untuk menutupi sejumlah Rp. 800 Miliar ini. Jika keseluruhannya dibebankan kepada masyarakat di Papua, itu berarti harga BBM di Papua akan dibuat rata dengan tambahan harga Rp. 1.600 per liternya,  guna menutupi biaya distribusi sebesar Rp. 800 Miliar untuk setahunnya. Jumlah ini didapat dengan membebankan biaya angkut Rp. 800 Miliar terhadap konsumsi rata-rata BBM di Papua untuk satu tahunnya yang berkisar 500.000 KL.

Jika harga tersebut masih kemahalan, maka zonanya bisa diperluas dengan memasukkan Sulawesi, Maluki ke dalam zona satu harga yang sama, sehingga beban distribusi bisa ditanggung bersama oleh  lebih banyak pengguna.

Namun, sepertinya Presiden Jokowi lebih memilih alternatif  ketiga, yakni ditanggung bersama oleh pengguna BBM di seluruh wilayah Indonesia melalui kebijakan harga oleh Pertamina. Dengan jalan demikian, maka beban tinggi distribusi di wilayah tertentu di Papua akan ditanggung bersama, sehingga kenaikan nilainya menjadi sangat kecil dan tidak memberatkan.

Dengan asumsi konsumsi BBM kita secara nasional adalah sebesar 1,6 Juta Barel per hari, maka beban Rp. 800 miliar tersebut hanya akan menambah harga jual kurang dari Rp. 10 untuk setiap liternya. 

Untuk kenaikan sejumlah sepuluh perak tersebut saya sangat yakin bahwa masyarakat tidak akan berkeberatan, kecuali memang dasarnya ingin selalu menyalahkan pemerintah, sebagaimana dengan wakil ketua DPR bernama Fadli Zon itu yang sepertinya masih belum rela jika Pemerintahan saat ini berhasil dengan baik.

Dengan demikian, kebijakan Presiden Jokowi yang menyamakan harga BBM di Papua dengan wilayah lain di Indonesia bukanlah suatu kebijakan  yang luar biasa dari sisi fiskal. Namun, menjadi luar biasa karena kebijakan tersebut hanya bisa dibuat oleh mereka yang mempunyai hati, yang mendengar dan turut merasakan ketidakadilan, penderitaan masyarakat, khususnya saudara kita yang ada di bagian terdalam dan jauh di atas pegunungan sana di Papua, yang sangat sulit dijangkau oleh transportasi.

Kebijakan tersebut juga tidak mustahil dan sangat bisa dilakukan di eranya Presiden SBY. Namun sayangnya, Presiden SBY tidak pernah berpikir sampai  sejauh itu. Bahkan yang ada, Petral  yang menjadi broker dan trader BBM itu justru dibiarkan dan menjadi salah satu penyebab tingginya harga BBM dari yang seharusnya.

Andai hal itu pernah terpikirkan, sejak dulu harga BBM di Papua bisa sama dengan harga di Jawa dan di seluruh wilayah Indonesia.