Kawasan Londerang yang berada di Tanjung Jabung Timur, Jambi, salah satu lokasi yang tertimpa kebakaran lahan paling parah. Lahan seluas 12.600 hektare kritis hingga 90 persen saat itu. Kini mereka berbenah.

Ramadan lalu saya bersama kawan-kawan mengunjungi Desa Londerang. Desa ini berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Kami berangkat jam 8 pagi dan sampai sekitar jam setengah satu.

Kami tak hanya menggunakan mobil. Tapi untuk sampai Londerang, kami harus menggunakan perahu bermesin. Selama setengah jam kami menggunakan perahu kecil dan sampailah di Londerang. Desa Transmigrasi yang mempunyai jalur lintasan air di tengah desa mereka.

Sungai yang lebarnya sektar 15 meter itu berada di depan rumah masyarakat. Sungai itu digunakan untuk transportasi, mandi hingga mencuci. Sungai itu menyusuri desa ini. Desa yang sebagian besar tanahnya merupakan tanah gambut, tanah yang mudah terbakar itu.

Tahun 2015 lalu adalah tahun yang sangat tidak mengenakkan bagi mereka. Sebab lokasi mereka adalah yang terparah terbakarnya. Lahan gambut di wilayah mereka seluas 12.600 hektare kritis hingga 90 persen saat itu. Kini mereka berbenah.

Tanah gambut di wilayah mereka ini awalnya ditanami jelutung. Namun, sempat dirobohkan sebuah perusahaan yang lokasinya dekat sekali dengan desa. Mereka melawan. Perlawanan mereka berhasil mengusir pekerja yang ada di sana, membakar camp-nya dan mengembalikan tanah mereka. Mereka tak hanya marah sumber ekonomi mereka dirobohkan, tapi juga karena itu lahan gambut mereka menjadi lebih sensitif dan babakbunyak.

Warga Londerang sempat lesu, tapi kemudian perlahan-lahan bangkit. Beruntung pula datang bantuan berupa bibit-bibit jelutung lagi. Mereka menjual bibit jelutung tersebut dan menanaminya lagi di sekitar gambut Londerang. Tanaman ini bisa dijual bibitnya atau ditanami untuk diambil karetnya. Tanaman ini adalah tanaman karet yang cocok dengan lahan gambut.

Tak heran jika menyusuri desa tersebut akan ditemukan bibit jelutung yang masih di poly bag diletak di pinggir sungai. Rata-rata masyarakat menjualnya. Meski pun begitu, pasarnya tak tetap. Tapi mereka tetap berusaha berdiri.

 

Bibit pohon jelutung di pinggiran sungai Londerang/ Jaka HB

Selain itu, mereka juga dibantu dengan dibuatkannya sekat-kanal di pedalaman lahan gambut londerang, tepatnya Hutan Lindung Gambut (HLG). Biayanya mahal. Namun, kanal itu dibuat dengan bantuan dari WWF-Indonesia yang bekerja sama dengan Badan Restorasi Gambut (BRG).

Harapan mereka dengan adanya pengaturan sungai dengan sekat kanal dan penanaman jelutung di sekitarnya tidak mengulangi kebakaran 2015 lagi. Walaupun masyarakat harus menunggu enam tahun agar jelutung ini dapat dipanen karetnya. Hal ini merupakan proses rewetting atau pembasahan gambut. Harapannya saat musim kering, air sungai tidak akan langsung kering. Tapi dapat tertahan tiga hingga enam bulan selama kemarau.

Saya kemudian menghampiri Adang (45) yang sedang menenteng cangkul di pundaknya. Dia baru saja ikut bergotong royong membuat sekat kanal di Hutan Lindung Gambut (HLG) Londerang. Saya bertanya bagaimana keadaan 2015 lalu. Dia tersenyum dan sembari melambatkan jalannya Adang menyambung perbincangan.

Adang mengatakan asap betul-betul menyusahkan warga tempatnya tinggal. “Kalau air sudah surut, itu (kanal) kering dan mudah kebakar,” kata pria beranak tiga ini. 

Adang berasa dari Tasikmalaya. Dia ikut orang tuanya transmigrasi pada tahun 1982 di Desa Rawa Sari. Dia mengatakan dulunya jarang terjadi kebakaran dari gambut, namun sejak tahun 2000-an, seingat Adang, sering terjadi kebakaran dari lahan gambut.

Pada tahun 2008, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tanjung Jabung Timur saat itu menyarankan warga untuk beramai-ramai membibit pohon jelutung. Tanaman ini akan ditanamkan di lahan gambut dan getahnya terkenal digunakan untuk bahan permen karet.

Bibit Jelutung ini punya nilai ekonomi bagi masyarakat. Hanya saja pasar untuk Jelutung ini belum begitu jelas. Kalau menunggu Jelutung sampai bisa berproduksi, warga harus menunggu 8 tahun dahulu. Meskipun begitu mereka masih merasa Jelutung yang cocok ditanam di lahan gambut.

Kholil, salah satu warga desa mengatakan sejak 2004 dia bersama bapaknya dan seorang warga lagi mencoba-coba awalnya menanam jelutung. Namun, pada 2008 Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Tanjung Jabung Timur menyarankan mereka berbibit tanaman pohon jelutung (Dyera lowii) ramai-ramai.

Bibitnya kemudian ditanam di lahan gambut.  Lantas sebanyak 80 KK dari 238 kemudian membuat pembibitan jelutung. Kholil tidak tahu berapa jumlahnya sekarang. Dia memperkirakan ada ratusan ribu bibit jelutung di desanya. 

Kholil dan Adang pun berjalan ke perahu. Dia hendak balik ke rumahnya. Membayangkan bagaimana dekatnya sumber asap dengan warga setempat saja sudah membuat saya sesak. Apalagi benar-benar mengalaminya.

Sedangkan itu, saya yang berada di Kota Jambi saja sesak oleh asapnya. Jika membicarakan korban dari asap ini sulit dihitung. Pada tahun 2015 lalu banyak peserta jambore pramuka di Kabupaten Merangin, Jambi, mengalami sesak napas. Mereka kesulitan bernapas karena asap tebal.

Ada pula serang kawan saya bernama Ilsa yang tinggal di Kota Jambi juga cemas karena asap. Pasalnya, karena anaknya mengalami sesak yang sangat. Segera saja dia membawa sang anak ke rumah sakit dan langsung terapi nebulizer saat itu juga. Tapi Ilsa menegaskan harapannya, “Saya sangat berharap asap pekat beracun akibat pembakaran lahan beberapa tahun lalu adalah yang terakhir,” katanya saat saya temui kembali.

“Pemerintah harus menjalankan fungsinya sebagai penjamin kemaslahatan rakyatnya. Apalagi kesehatannya,” tegas perempuan berjilbab ini.

Usaha pembasahan ini lantas tak hanya menumbuhkan harapan warga Londerang. Tapi juga saya dan masyarakat Jambi. Sebab harapan tak harus berasal dari kita, tapi juga dari keringat-keringat petani yang tinggal jauh di pedesaan yang tersebar di mana pun.

#PantauGambut #StrategiMasyarakatdalamRestorasiGambut #RestorasiGambut