Menurut disiplin ilmu politik, kajian yang tepat untuk memahami landasan preferensi masyarakat dalam proses politik, seperti pilkada, dijelaskan melalui studi tentang perilaku pemilih (voting behavior). Uraian mengenai perilaku pemilih sendiri, sejatinya terbagi ke dalam tiga model pendekatan. Pertama, pendekatan sosiologis. Kedua, pendekatan psikologis. Dan ketiga, pendekatan ekonomi-rasional.

Dalam pendekatan sosiologis, keputusan seseorang untuk menjatuhkan pilihannya pada kandidat tertentu, sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial yang berada di sekitarnya. Semisal, variabel kesamaan pekerjaan, suku, ras, maupun agama.

Sedangkan dalam model pendekatan psikologis, tingkat pengambilan keputusan seorang pemilih disandarkan pada karakter intrinsik masing-masing individu, termasuk ikatan emosionalnya pada suatu partai politik. Proses identifikasi terhadap partai politik tertentu, dan juga orientasi terhadap kandidat merupakan pertimbangan yang dijadikan acuan dalam menjatuhkan sebuah pilihan politik.

Adapun pendekatan ekonomi-rasional, lebih mengutamakan kalkulasi untung dan rugi saat seorang pemilih menjatuhkan pilihan politiknya pada kandidat ataupun partai politik. Dalam terminologi lain, pendekatan model ini juga lebih sering disebut sebagai kerangka pemikiran pragmatis.

Dalam kaitannya dengan gelaran Pilgub DKI 2017 mendatang, studi tentang perilaku pemilih menjadi penting untuk dicermati. Hal ini dibutuhkan untuk melihat karakteristik dan kecenderungan sikap memilih warga DKI pada kondisi termutakhir.

Tendensi Ikatan Primordial

Hal ini menjadi riskan, karena pada momen Pilgub DKI 2012 silam, menurut hasil pengamatan PT. Grup Riset Potensial (GRP), sebuah lembaga riset pemasaran di Indonesia, ada beberapa temuan yang menunjukkan munculnya sebuah tren.

Gejala yang mengindikasikan adanya korelasi yang signifikan (sebesar -0.84) antara perolehan suara pasangan pemenang kontestasi, Joko Widodo (Jokowi) – Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dengan proporsi populasi Muslim di suatu kelurahan.

Sinyalemen itu merujuk pada perolehan suara pasangan Jokowi-Ahok di Kepulauan Seribu yang relatif rendah (di bawah 10%), di mana populasi penduduk Muslim di wilayah tersebut hampir 100%.

Namun di sisi lain, presentase suara Jokowi-Ahok, terlihat dominan (di atas 60%) di kelurahan-kelurahan dengan tingkat populasi Muslim yang rendah. Semisal Pasar Baru, Gunung Sahari Utara, Kapuk Muara, Pejagalan, Pluit, Sunter Agung, Kelapa Gading, Tanjung Duren, Jelambar dan Glodok.

Berdasarkan analisis lanjutan oleh GRP, kemenangan pasangan Jokowi-Ahok pada Pilgub DKI 2012, diperoleh karena mendapat dukungan sebanyak 32% dari kelompok Muslim. Namun sebaliknya, hanya sekitar 11% warga DKI yang tidak beragama Islam saja, kemudian mendukung pasangan calon lain.

Fakta di atas setidaknya menyimpulkan tiga hal penting. Pertama, bahwa data tersebut menggambarkan bahwa mayoritas pemilih Muslim, memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menyalurkan suaranya pada pasangan calon dengan identitas keagamaan yang serupa, yakni Islam.

Dengan mendasarkan diri kepada analisis kausalitas yang dibentuk pada kesimpulan pertama, maka kesimpulan ke dua, dapat ditarik indikasi bahwa salah satu faktor penentu dari terpilihnya pasangan Jokowi-Ahok pada Pilgub DKI 2012, pada hakikatnya tak bisa dinafikan dari pengaruh sosok Jokowi, yang bukan hanya saja saat itu sedang populer, tetapi juga karena beragama Islam.

Sedangkan kesimpulan ketiga, dapat ditinjau dari tipologi pemilih yang menunjukkan dominasi bentuk pendekatan sosiologis, sesuai dengan kajian studi mengenai perilaku pemilih. Fenomena ini, seperti saya singgung di awal tulisan, menjadi penanda karakterisitik masyarakat DKI yang cukup fundamental untuk dikaji, bagi tiap-tiap pasangan calon yang akan berlaga pada Februari 2017 mendatang.

Konsekuensi Menguatnya Primordialisme

Kenyataan bahwa warga DKI Jakarta masih memiliki sentimen primordial yang tinggi dalam memilih pemimpin, sebenarnya merupakan sebuah fakta yang cukup menyulitkan bagi calon petahana. Beban Ahok di Pilgub DKI 2017 bertambah berat, seiring polemik penistaan agama yang kini tengah disidangkan pengadilan masih akan terus bergulir.

Menguatnya semangat aliansi keagamaan lewat berbagai aksi skala besar yang lalu (Aksi 411 dan 212), juga merupakan bukti kuat bahwa proses penguatan ikatan primordial digalang secara masif. Hal ini wajar dipahami sebagai sebuah pernyataan sikap dalam memilih, dengan mengutamakan akar sosiologis, ketimbang pertimbangan psikologis ataupun ekonomi-rasional.

Karena jika ditilik dari kacamata politik, menurut Prof. Siti Zuhro (seperti dilansir oleh okezone.com, 31 Oktober 2016), unsur primordialisme berperan cukup vital dalam preferensi memilih pemimpin. Dan menurutnya, tak selayaknya digolongkan ke dalam kategori perbuatan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan).

Namun di sisi lain, bersemainya kultur primordial yang berkembang, pada kenyataannya malah memberi ruang yang cukup lebar bagi hadirnya ancaman aksi-aksi intoleran. Sebab berdasarkan hasil riset Wahid Foundation pada Agustus 2016 silam, (sebagaimana dilansir kompas.com, 1 Agustus 2016), perilaku primordial masyarakat Indonesia menunjukkan sebuah fenomena yang cukup memprihatinkan.

Penelitian yang dilakukan di 34 Provinsi di Indonesia dan melibatkan 1.520 responden ini, menyebutkan bahwa sebesar 59,9% masyarakat memiliki kelompok yang dibenci bedasarkan faktor-faktor sosial, seperti ras dan agama.

Kemudian dari 59,9% itu, ada sebanyak 92,2% yang tak setuju bila anggota dari kelompok yang dibenci, menjadi pejabat pemerintahan di Indonesia. Bahkan ada kurang lebih 84% responden yang tidak rela apabila kelompok yang dibenci itu menjadi tetangga mereka.

Tentu adanya temuan-temuan di atas, sudah selaiknya dijadikan bahan perhatian khusus oleh pihak aparat yang berwenang dan juga tokoh masyarakat setempat, untuk menghindari terjadinya konflik horizontal akibat munculnya kecenderungan primoridial antar warga, khususnya dalam hajatan Pilgub 2017.

Sebab merujuk pada Geertz, dalam The Interpretation of Cultures, konflik-konflik komunal yang terjadi antar warga, lazimnya terjadi karena ketidak berdayaan aparatur penegak hukum untuk mengelola potensi konflik primordial.

Penutup

Oleh karena munculnya beragam kemungkinan pemicu konflik, maka besar harapan kita selaku warga masyarakat agar potensi-potensi kerawanan yang ada dapat diminimalisir dengan baik. Karena sesungguhnya, tugas menjaga ketertiban dan keamanan bukan saja pekerjaan petugas hukum semata, melainkan juga kewajiban seluruh lapisan masyarakat.

Semua elemen warga DKI Jakarta khususnya, untuk senantiasa merawat kondusifitas sosial menjelang bergulirnya Pilgub DKI yang akan dilaksanakan dalam kurang lebih, satu bulan ke depan.

Kita juga tentu berharap agar momentum Pilkada DKI 2017, bukan menjadi panggung bagi pertunjukkan lakon disintegrasi bangsa. Melainkan menjadi penyejuk bagi sistem demokrasi, dan dapat menjadi sarana pemersatu berbagai kelompok masyarakat yang ada, lewat terpilihnya sosok pemimpin yang tepat bagi DKI Jakarta.

Semoga!