Tak perlu dipungkiri, beberapa orang di antara milyaran penduduk Bumi ini pasti mempunyai keinginan menjadi orang yang sakti mandraguna. Tak peduli ia berasal dari mana dan berlatar pendidikan seperti apa. Mereka, orang-orang yang menginginkan kesaktian itu terus saja mencari kekuatan-kekuatan alam yang kemudian mereka jadikan jurus andalan.
Tak perlu dipungkiri juga, sampai saat zaman modern ini pun aku yakin bahwa ada beberapa orang sakti yang menyembunyikan dirinya dari khalayak dan ada pula segelintir orang yang mencarinya kemana-mana hanya demi ingin menjadi murid dan berguru padanya. Boleh dikata, orang sakti seakan menjadi magnet di dalam kotak tukang mebel yang berisi bermacam-macam paku. Ia menjadi bunga berputik yang selalu dicari oleh para kumbang.
Kini, di kota yang dipenuhi oleh kesaktian teknologi, pembicaraan semacam itu dianggap tidak rasional alias tidak masuk akal. Bahkan, aku sempat dituduh miring hanya karena pernah bercerita sekilas tentang sosok lelaki misterius yang dulu selalu menjadi buah bibir para santri di pesantren beberapa tahun yang silam.
Aku menanggapi perlakuan mereka sewajarnya saja. Ya, karena mungkin teman-temanku itu sedari kecil telah hidup di kota yang mungkin sedikit sekali adanya kemungkinan tersebarnya ilmu-ilmu langka seperti yang pernah kutahu. Siapalah di antara mereka yang pernah mendengar tentang ilmu Songai Rajeh atau Tase’ Mereng? Atau paling tidak amalan bacaan seperti Hizbun Nashr, Hizbul Autad, Hizbul Ikhfaa’, dan juga Hizbus Sakran?
Nyaris tidak ada. Kalau pun ada, itu hanya berkisar satu sampai tiga orang saja yang kesemuanya pernah nyantri atau memang mempunyai lingkungan keluarga yang mengamalkan ilmu tersebut. Terkait dengan diriku, selain pernah nyantri, aku berasal dari lingkungan yang pernah berkecimpung di ranah suprarasional tersebut. Ya, aku menyebutnya suprarasional karena ia bukan irasional. Ilmu kanuragan itu menurutku berada di atas tingkat rasional dan itu tentu saja logis!
Jadi, selama masih di kota, aku memilih bungkam tentang hal yang dianggap tidak masuk akal itu. Terlebih lagi, aku tidak ingin menarik perhatian banyak orang sebagai seorang primitif, kolot, dan tak waras. Meski, di sisi lain, ada juga segelintir pengusaha kaya yang percaya dan meminta untuk diajarkan hal semacam itu. Ah ya, mengapa mereka harus percaya?
***
Beda tempat, beda pula suasana yang disajikan. Begitulah yang kurasa selama ini bila kubandingkan perbedaan keberadaan diriku antara di pesantren dulu dan di kota sekarang. Dulu, sungguh ilmu kanuragan bukan hanya menjadi isapan jempol belaka. Aku bersama teman-temanku pernah mempraktikkannya. Di antara kami ada yang berhasil dan pasti ada yang gagal. Dan aku, aku termasuk salah seorang yang berhasil, meski tingkatannya masih belum seberapa.
Aku masih dalam tahap amalan hizb dan belum sampai pada ilmu semacam Songai Rajeh atau Tase’ Mereng. Pernah suatu ketika aku di-ijazah-kan amalan Tase’ Mereng, namun, aku tak berani mengamalkannya. Alasannya, aku masih terlalu muda.
Di kota, jarang sekali ada orang yang mengetahui kemampuanku. Di sini, seperti yang telah kukatakan, orang-orang tidak peduli pada hal seperti itu. Mereka lebih percaya pada ilmu modern yang empiris dan rasional. Namun, untuk menjaga diri, aku tetap mengamalkan amalan-amalanku tersebut.
Hingga suatu ketika, datanglah masa penuh terror itu. Penjarahan marak dimana-mana. Begal-begal berkeliaran di jalanan kota. Orang-orang takut keluar malam karena berita mengabarkan banyak korban penjarahan yang dipotong bagian tubuhnya bahkan dibunuh sedemikian rupa.
Ah! Para hansip, satpam, dan anggota keamanan dikerahkan untuk menjaga warga meski tetap saja para bengal itu berpesta pora. Sungguh, seakan kota sudah menjadi tidak aman dan setiap orang merasa terancam, di saat itulah orang-orang mulai percaya pada ilmu kanuragan!
Ah! Mengapa mereka harus percaya?
***
Saat media massa semakin gencar memberitakan komplotan-komplotan begal di kota, suatu malam, aku berada di dalam gerbong kereta yang sedang melesat di tengah kegelapan malam di antara sawah-sawah yang tampak hitam. Di samping kananku duduk seorang anggota tentara muda. Sedangkan di samping kiriku, ada seorang lelaki yang sedari tadi sore asyik mengobrol dengan seorang perempuan yang duduk di hadapannya. Aku tak tahu apa profesi lelaki tersebut. Namun, dari gaya bicaranya, ia bukanlah orang biasa.
Mas Iwan, tentaramuda yang duduk di samping kananku tertidur pulas setelah sebelumnya kami asyik berbincang masalah keamanan negara yang sedang carut-marut. Lelaki yang duduk di samping kiriku –yang sampai sekarang ku tak tahu siapa namanya- tampak masih akan melanjutkan obrolannya dengan perempuan di depannya.
Malam semakin larut diiringi angin AC yang bertambah dingin dan suara gerbong yang ber-jegelek-jegelek ria tatkala aku ingin sekali memejamkan kedua mata. Namun, urung, entah mengapa lelaki di samping kanan mengajakku bicara. Kulihat, perempuan yang sedari tadi mengobrol dengannya menguap lantas menarik selimut yang ia sewa.
“Adek, bagus cincinnya. Ini batu apa?” Ujarnya membuka percakapan sambil menunjuk sebuah batu cincin berwarna putih yang kukenakan di jari manis tangan kiriku.
“Tidak tahu, Mas.” Aku membalas dengan senyuman. “Kenapa Mas?”
Lelaki itu menatapku sekilas. “Tidak apa-apa,” katanya, “cincinmu bagus. Seperti mata kucing,” ungkapnya.
Aku manggut-manggut. Hening menyapa sejenak.
“Adek, mau ke kota? Saya dengar pembicaraan adek dan mas tentara itu tadi sungguh mengasyikkan. Pembegalan di kota sedang maraknya. Adek harus berhati-hati.” Lelaki itu bergumam pelan.
Aku menoleh sekilas lalu manggut-manggut lagi. Aku tidak mengerti, serasa lidahku kaku tuk berucap membalas perkataannya.
Jegelek. Jegelek. Jegelek. Suara gerbong terdengar jelas.
“Ehm,” lelaki itu berdehem. “Adek, sepertinya punya sesuatu ya?” Ia bertanya tanpa memandangku.
Aku melongo. Sesuatu? Kurasa pembicaraannya mengarah pada sesuatu.
“Adek, untuk apa belajar begituan? Untuk apa mengamalkan amalan-amalan itu setiap malam?”
Aku terhenyak. Siapakah lelaki ini? Seakan ia mampu membaca pikiranku.
“Hehe,” ia menyeringai. “Adek tak perlu takut. Aku bukan siapa-siapa. Aku orang biasa-biasa saja. Aku tak seperti Adek yang mempunyai ilmu semacam itu,” ujarnya seraya menatap mataku. Dan ah! Mata macam apa itu? Tiba-tiba saat itu aku merasa terintimidasi, seperti ada kekuatan yang sedang menyelubungi dan membatasiku.
Aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Aku hanya bisa tertegun mendengar ucapannya.
“Hhh.” Lelaki itu menghela nafasnya. “Sudahlah, Dek, hentikan amalanmu itu. Tak perlu kau mengamalkannya jika kau tak tahu hakikat ilmu yang sedang kau amalkan itu.”
Jegelek-jegelek-jegelek. Suara gerbong menyela percakapan kami.
“Apakah kautahu hakikat ilmu yang kau amalkan itu?” Ia bertanya sesaat kemudian. “Sepertinya kamu masih belum tahu, anak muda. Hehe.” Ia tersenyum simpul. Lelaki itu lantas menepuk punggung telapak tanganku.
“Dek. Ilmu seperti itu bukan diniatkan agar kau ditakuti, atau disegani, atau kebal diri dari senjata apapun, atau bahkan untuk tidak mati-mati. Apalagi bila kau mengamalkannya hanya demi bisa melawan para pembegal itu. Hahaha.” Ia tertawa.
Aku terhenyak. Siapa lelaki ini? Bagaimana bisa ia tahu semuanya?
“Sudahlah, sudahlah.Tak perlu bingung. Begini. Aku hanya ingin mengingatkanmu satu hal bahwa esensi ilmu yang kaupelajari itu hanya satu, yakni, takwa pada Sang Pangeran. Bukan untuk tetek-bengek rendahan seperti kesaktian atau kedigdayaan. Kau santri, bukan? Tentunya kau lebih paham tentang arti takwa itu sendiri daripada aku. Hehehe.”
Aku benar-benar terdiam. Sementara ia terus saja berbicara.
“Aku sudah berkelana ke berbagai pulau di negeri ini. Aku mempunyai banyak guru di beberapa daerah yang terpencil. Aku sudah mengamalkan amalan-amalan yang kauamalkan. Bahkan, jauh dari itu, aku punya amalan Songai Rajeh dan Tase’ Mereng dari daerahmu. Kau bisa membuktikan sendiri perkataanku ini sekarang juga. Aku juga punya Rawa Rontek. Hahaha.”
Hah? Rawa Rontek? Aku jadi begidik mendengar nama itu disebut olehnya.
Ia masih saja tertawa. “Hahaha. Tak perlu takut, Dek. Aku bukan orang jahat. Aku pengembara yang sudah berkelana ke banyak tempat hanya demi ilmu-ilmu itu.” Ia menatapku datar.
“Dan kautahu, apa yang kurasakan setelah kukuasai semua ilmu itu?” Lelaki itu menyeringai. “Aku merasa sombong sampai-sampai buta hati menganggap diri ini paling hebat, paling sakti di negeri ini. Aku merasa, tidak aka nada orang lagi yang dapat melukaiku,” ujarnya.
“Namun, itu tidak lama. Suatu hari, aku bertemu dengan guruku yang menyadarkanku akan hakikat semua ilmu itu. Saat pertama kali bertemu, ia langsung mencabut kemampuanku karena melihat diriku terlalu pongah.”
Aku masih terdiam. Tapi, kini aku mulai menikmati kisahnya. Bagaimana bisa ia kalah?
“Hahaha.” Ia tertawa lagi. “Kau pasti berpikir mengapa aku bisa kalah, hah? Jelaslah aku kalah. Aku baru tahu bahwa di atas Rawa Rontek masih ada ilmu yang lebih tinggi dari itu. Hahaha.”
Apa? Apa katanya? Mataku mengerjap-ngerjap.
“Kau tidak tahu bukan? Salah satu alasan mengapa ia dapat mencabut ilmuku adalah karena ia memiliki ilmu yang lebih tinggi lagi. Namanya ilmu Pancasona.” Kulihat mata lelaki itu berkaca-kaca.
Jegelek-jegelek-jegelek. Kereta melesat cepat memburu waktu petang.
“Bukan hanya itu. Alasan lain mengapa ia dapat melakukan hal tersebut rupa-rupanya karena ia tahu hakikat dari segenap ilmu yang dimilikinya. Hal itulah yang ia ajarkan padaku dan hal itu pulalah yang kukatakan padamu tadi.” Lelaki itu menoleh padaku, menatap wajahku yang kini hanya tampak seperti orang linglung.
Takwa? Takwa pada Sang Pangeran?
Lelaki itu mengangguk. “Ya. Takwa pada Yang Maha Kuasa, Yang memiliki seluruh kekuatan, Yang Maha Perkasa, Yang Tiada Duanya, Yang Maha Raja. Allah subhanahu wa ta’ala.” Perkataannya langsung masuk menyelinap ke kalbu.
“Bukankah bacaan amalan itu bertujuan agar kita mengingat-Nya? Meminta pertolongan-Nya? Bukankah kita mengamalkan amalan itu agar kita dekat pada-Nya?”
Jegelek-jegelek-jegelek. Hening membahana.
“Ada satu lagi. Kau tak perlu merasa harus berhadapan dengan para pembegal itu hanya karena kaupunya ilmu. Lebih baik kau berdoa selamat saja. Ini pesan dariku. Mungkin saja mereka memiliki ilmu yang lebih tinggi darimu, kan? Buat apa punya ilmu kebal tapi tidak selamat? Hahaha.” Ia sekali lagi, tertawa.
“Sudahlah, Dek. Sudah malam. Kau tidur saja. Maaf telah menyita waktu istirahatmu. Sebentar lagi, aku akan turun di stasiun terdekat. Ingat pesanku baik-baik.” Lelaki itu beranjak berdiri seraya mengambil tas ranselnya di atas bagasi. Lidahku masih kelu tak bisa bicara. Kulihat, ia lalu beranjak pergi menuju pintu gerbong.
Jegelek-jegelek-jegelek. Tuuut. Tuuuut.
Tunggu dulu! Tunggu dulu, Mas! Aku masih belum tahu siapa dirimu dan siapa gurumu! Aku berusaha sekuat tenaga mengucapkan kata-kata itu. Tapi…ah!
Tuuut-tuuuuut….jegelek-jegelek-jegelek…
Kereta akhirnya berhenti beberapa menit kemudian. Lelaki itu turun. Aku beranjak dari seat-ku dan berlari menyusulnya. Di samping pintu, kulihat ia telah berjalan menjauh.
“Tunggu! Tunggu dulu! Aku belum tahu siapa namamu, siapa gurumu!” Akhirnya pula aku bisa bersuara dan berteriak sekerasnya. Orang-orang di sekitarku menoleh padaku, termasuk lelaki itu.
Ia tersenyum anggun. “Aku tak bernama! Nama guruku, Kiai Pancasona!” Ujarnya balas berteriak. Orang-orang menoleh ganti menoleh padanya. Ia lantas melambaikan tangan padaku.
Tuuut-tuuuut…jegelek-jegelek. Kereta pun mulai berjalan meniggalkan stasiun pemberhentian. Sedangkan aku masih berdiri di dekat pintu gerbong. Aku sibuk sendiri dengan pikiranku.
Aha, Kiai Pancasona? Haruskah aku mencarinya?
Sepertinya aku tak harus mencarinya lagi. Tapi, yang jelas, aku harus mempercayai hakikat ilmu yang diajarkannya!
Ya. Bukankah takwa adalah inti dari segala-galanya?
DS, 04 September 2015