Setiap tahun, jutaan umat Islam berbondong-bondong berziarah ke tanah suci Mekah, mengikuti kembali napak tilas perjalanan bapak para Nabi, Ibrahim. Meninggalkan keluarga, mengorbankan harta. Haji mungkin menjadi salah satu ibadah paling “prestise” dalam tradisi masyarakat Islam di Indonesia.

Mereka yang menyandang gelar “haji”, dengan sendirinya telah menempatkan diri dalam kelas sosial tertentu di masyarakat; menjadi tokoh yang dihormati, diberikan tempat tersendiri dalam setiap upacara atau bahkan mendapatkan barisan terdepan dalam shaf sembahyang. Haji menjadi ibadah yang “mahal”, bukan karena makna dan nilai sejarahnya, tapi karena nilai ekonomis yang dikandungnya. Berpuluh-puluh juta dihabiskan untuk kunjungan ke Timur Tengah.

Ibadah haji menjadi “kebanggaan”, ibarat memperoleh gelar sarjana atau kenaikan pangkat, tidak sedikit yang melakukannya berulang-ulang kali. Dalam masyarakat kita pun, panggilan “pak haji” atau “ibu haji”, seolah-olah menjadikan sosok yang menyandang gelar tersebut sakral dan tersucikan.

Tapi apakah “haji” sekedar “berkunjung” ke Mekah, mengenakan kain Ihram dan mengitari Ka’bah? Ada beberapa hal yang kiranya perlu “diluruskan” terkait pemahaman tentang haji yang sudah ‘terlanjur’ di yakini oleh masyarakat kita dewasa ini.

Yang utama, adalah terkait persoalan “mabrur”. Dalam salah satu Hadits, Nabi Islam, Muhammad pernah berkata bahwa “tidak ada balasan bagi haji Mabrur kecuali surga”. Dari sini, makna mabrur pun menjadi “sengketa”. Setiap orang mengklaim kemabruran ibadah masing-masing, otoritas Tuhan diperebutkan untuk menjustifikasi ibadah seseorang.

Mabrur menjadi semacam “garansi” bagi mereka yang menunaikan haji. Mabrur sendiri, memiliki akar kata “al-Birr” yang berarti kebaikan, dalam hal ini kebaikan dalam konteks sosial. Jika demikian, maka haji yang mabrur adalah haji yang sekembalinya seseorang dari tanah suci, menjadi pribadi yang lebih baik bagi masyarakat.

Haji yang mabrur adalah haji yang menjadikan seseorang terhindar dari perbuatan tercela, menghentikan korupsi, menindas yang lemah, merampok yang miskin, membantu yang kesusahan, memberi tempat berteduh bagi yang kehilangan tempat tinggal, memberi baju untuk yang telanjang atau memberi makan yang kelaparan.

Persoalan mabrur, bukanlah persoalan kita di tanah suci. Mabrur adalah bentuk perwujudan tanggung jawab kita terhadap ibadah kita lewat laku moral yang luhur terhadap sesama manusia. Menjadi haji, akan membawa kita menjadi pribadi yang mabrur (baik) jika nilai-nilai haji mampu ditafsirkan dalam konteks kemanusiaan, tapi juga akan menjerumuskan seseorang menjadi pribadi “takabur”, manakala haji dipandang sebagai bentuk penindasan baru, kesombongan berbalut jubah agama atau pencapaian dalam derajat sosial lewat sebutan “Haji”.

Tidak sedikit mereka yang berhaji, tetapi masih melakukan korupsi, berlaku diskriminasi atau menciptakan kelas sosial tersendiri untuk memisahkan diri mereka dengan lingkungan sosial dimana dia hidup. Karena kebanggaan inilah, tidak sedikit yang melaksanakan haji sampai berkali-kali.

Tapi melaksanakan haji sampai berkali-kali tidak dianjurkan dalam Islam. Ditinjau dari hukum Islam, bagi mereka yang memiliki kemampuan secara fisik dan finansial, diwajibkan sekali seumur hidup untuk melakukan haji. Nabi Muhammad, dalam kurun waktu hidupnya yang 63 tahun pun hanya sekali melaksanakan haji, yaitu pada saat masa-masa terakhir hidupnya.

Hal ini bukan tanpa alasan. Sebagai seorang pemimpin komunitas muslim pada masa-masa awal, Nabi lebih memfokuskan pada penyelesaian problem kemanusiaan yang dia hadapi; ketimpangan sosial, diskriminasi, penindasan, perbudakan dan sistem hidup yang tidak adil dan tidak memihak terhadap kemanusiaan.

Bertahun-tahun Nabi memiliki kesempatan, kemampuan fisik dan materi untuk melaksanakan haji, tapi Dia lebih mengutamakan membenahi sistem sosial dan ketimpangan hidup masyarakat. Setelah segala persoalan sosial yang dihadapinya diselesaikan, barulah Nabi melaksanakan Ibadah Haji pada masa-masa terakhir hidupnya.

Ini menyiratkan satu hal, bahwa kita pertama-tama harus mengutamakan “ibadah sosial” dari pada ibadah ritual (haji). Untuk apa berbondong-bondong menyesaki tanah suci, thawaf dan ibadah, tetapi masyarakat dimana tempat kita hidup masih terjerat berbagai problem; kemiskinan, kelaparan atau kriminalitas.

Jika memang Haji berkali-kali adalah anjuran dan memiliki keutamaan, mengapa Nabi Muhammad justru hanya melaksanakan haji sekali selama hidupnya? Model-model haji pada masa kini pun ibarat menjadi perlombaan untuk menentukan siapa yang paling kaya, siapa yang paling mampu.

Orang tidak lagi memperdulikan apakah tetangganya kelaparan, anak-anak yang berjalan telanjang tanpa alas kaki atau janda-janda yang tidak disantuni. Mereka lebih peduli terhadap “status” dan gelar haji yang nanti akan disandang. Gelar Haji pun menjadi simbol kebanggan dan kesombongan. Seolah-olah ada sebentuk dosa kecil bagi orang-orang ketika tidak memanggil seseorang dengan gelar “haji”.

Untuk itulah, kita harus lebih memaknai ibadah haji, bukan sebagai bentuk kesombongan manusia karena memiliki harta berlimpah dan fisik yang kuat. Ibadah haji, justru mengajarkan kepada kita, sebagaimana tampak dalam ritual wukuf di Arafah, bahwa manusia, dihadapan Tuhan, tak memiliki makna dan arti apapun.

Semua manusia adalah sama, garis batas yang membentuk kelas sosial dan sistem hidup yang tidak adil, harus dihapuskan sebagaimana pesan yang disampaikan dalam ibadah haji. Penyebutan gelar “haji” pun tidak relevan untuk dipertahankan sebagai sebuah tradisi.

Penyematan atau pun penyebutan gelar haji, justru menjadi semacam bentuk disriminasi yang hadir dengan wajah agama. Tidak ada bedanya antara yang haji dan tidak haji, yang kaya dan miskin, yang hitam dan putih. Satu-satunya yang membedakan antara manusia adalah, seberapa besar kepatuhannya kepada Tuhan dan seberapa cinta kasihnya dia kepada sesama.