Takjub. Hanya satu kata tersebut yang mewakili perasaan saya ketika memasuki ruangan utama museum ini. Sesuai dengan namanya, Colossal Sanctuary, ruangan yang pernah menjadi tempat ibadah ini berukuran sangat besar dan tampak makin luas karena kubah megah yang menaunginya. 

Struktur bangunan masih tampak kokoh dan tegak berdiri, dinding berlapis marmer juga masih terpelihara, serta interior kubah masih menampakkan keindahannya. Sebuah kemegahan yang sempat membuat saya lupa bahwa bangunan ini sudah berumur hampir 1500 tahun lamanya. Ya, bahkan jauh lebih tua dibandingkan Candi Borobudur dan Prambanan.

Mata saya kemudian tertuju pada gambar yang ada di langit-langit kubah. Tampak bunda Maria yang sedang memangku Yesus kecil. Gambar ini bersanding dengan kaligrafi Allah dan Muhammad di sisi kanan dan kirinya.

Di bagian lain terdapat gambar malaikat-malaikat dan juga kaligrafi para Kulafaur Rosyidin. Sedangkan di puncak kubah terdapat kaligrafi ayat Alquran berwarna emas. Interior ini langsung mengingatkan saya pada satu novel milik Dan Brown, Inferno

Dalam novelnya yang ke-4 dari serangkaian seri Robert Langdon tersebut, Dan Brown banyak menceritakan tentang detail dan sejarah Hagia Sophia. Menurutnya, Islam dan Kristen mempunyai dua penekanan yang berbeda dalam menggambarkan keindahan ciptaan-Nya, di mana Islam lebih suka pada kaligrafi dan pola-pola geometris, sedangkan Kristen lebih suka menggunakan bentuk menyerupai nyata.

Sehingga tidak heran jika di masjid kita akan banyak melihat kaligrafi dan hiasan geometris, sedangkan di gereja kita banyak melihat banyak gambar atau patung Yesus, Maria, atau orang-orang suci. Di Hagia Sophia, saya bisa melihat keduanya.

Hagia Sophia memang menjadi saksi sejarah panjang dua agama dan berbagai kekaisaran. Dibangun pada abad ke-6, yaitu tahun 537 tepatnya, pada mulanya Hagia Sophia adalah sebuah gereja. Kaisar Justinianos, pemimpin imperium Byzantium yang berkuasa saat itu, mengerahkan upaya terbaiknya dengan mengumpulkan bahan-bahan kualitas premium dari seluruh negeri. Hasilnya adalah bangunan yang sangat fantastis dan terindah di dunia pada masa itu. 

Tiang-tiang marmer raksasa, kubah yang megah dan cantik, juga dinding yang sebagian besar dihiasi dengan mosaik yang terbuat dari emas, perak, dan batu indah lainnya, menjadikan Hagia Sophia menjadi gereja terbesar dan termegah di dunia selama hampir satu abad lamanya. Bahkan kemegahannya masih terasa dan bisa kita nikmati hingga sekarang.

Ketika kekaisaran Ottoman menaklukkan Istanbul pada abad 15, Hagia Sophia langsung diubah fungsinya menjadi masjid. Hanya tiga hari setelah penaklukan, salat Jumat sudah mulai dilaksanakan di sini. Sebagai konsekuensi perubahan ini, banyak gambar, patung, dan mosaik yang bernuansa gereja ditutup dengan kaligrafi. Sultan Al Fatih dan penggantinya kemudian menambahkan minaret yang mengelilingi bangunan utama museum. 

Desain kubah Hagia Sophia dan minaret ini kemudian menjadi rujukan desain masjid di Istanbul hingga saat ini. Masjid Camlica pun yang baru selesai dibangun tahun lalu dan merupakan masjid terbesar di sana berdesain kubah dan minaret menyerupai Hagia Sophia.

Selama dua ratus tahun lebih, Hagia Sophia menjadi masjid utama di Istanbul. Pada tahun 1661, saat Blue Mosque selesai dibangun tidak jauh dari sana, fungsi masjid utama ini kemudian beralih.  

Tahun 1935, setelah keruntuhan kerajaan Ottoman dan digantikan Republik Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Ataturk, masjid Hagia Sophia diubah menjadi museum. Hal ini seakan menekankan perubahan ideologi Turki menjadi negara sekuler. 

Selama dua jam lebih saya berkeliling bangunan ini, namun rasanya belum puas. Begitu banyak cerita dan sejarah yang tersimpan di dalamnya. Tidak heran karena dia telah menjadi simbol dua keimanan dan saksi kejayaan berbagai kekuasaan, juga penaklukan-penaklukan di antaranya. Ketika akhirnya saya harus melangkah ke luar pun, berbagai kisah sejarah tersebut masih terus membayangi.

Lima tahun telah berlalu sejak saya berkunjung ke sana. Tetapi setiap detail dan sudutnya seperti masih dapat saya bayangkan. Suara azan yang saat itu saya dengar dari samping kiri museum pun seakan masih terdengar indah. Benar-benar indah, karena azan ini adalah azan pertama yang saya dengar setelah dua tahun hijrah ke Inggris.

Tentu azan ini bukan berasal dari dalam Hagia Sophia. Menurut penjaga restoran di depan museum, azan tersebut berasal dari musala yang berada tidak jauh dari sana.

Saat ini, suara azan bisa kita dengarkan langsung dari Hagia Sophia. Minggu lalu Presiden Erdogan memutuskan mengembalikan status Hagia Sophia menjadi masjid. Sebuah keputusan yang disambut sorak-sorai oleh kelompok islamis namun juga ditentang kelompok lainnya. Tetapi keputusan Erdogan sudah bulat. Salat Jumat pun sudah mulai dilaksanakan di sana.

Istanbul adalah kota yang memiliki hampir tiga ribu masjid. Sebagian di antaranya berukuran sangat besar. Blue Mosque yang tidak jauh dari Hagia Sophia dapat menampung lebih dari 10.000 jemaah. Camlica Mosque yang baru selesai dibangun bahkan dapat menampung lebih dari 60 ribu jemaah.

Selain itu, masih banyak masjid dengan ukuran tidak kecil yang tersebar di setiap sudut kota. Sayangnya, ketika salat di beberapa masjid di sana, saya tidak menemui satu masjid pun yang jemaahnya melebihi separuh masjid.

Hagia Sophia adalah simbol dua agama. Jika kembalinya masjid Hagia Sophia saat ini dianggap sebagai kemenangan, menurut saya ini juga seharusnya dijadikan momen bagi umat Islam untuk meraih kemenangan yang sesungguhnya, yaitu umat kembali memenuhi masjid dan menjadikannya sebagai pusat peradaban. Apalah arti kebanggaan atas kembalinya Hagia Sophia jika itu hanya menambah deretan masjid kosong setelahnya.