Budaya pop Indonesia, lewat salah satu lirik Iwan Fals, menetapkan ukuran tertinggi kepintaran manusia, yakni “seperti otak Habibie.”
Otak Habibie sudah menimbulkan rasa kagum di kalangan rekayasa dan konsrtuksi Jerman, bahkan sebelum ia mengukir prestasi di dunia penerbangan. Ia misalnya berhasil membuat gerbong kereta yang tingkat kekuatannya dianggap mustahil pada waktu itu, yakni gerbong yang mampu menahan tekanan 200 ton.
Retakan Pesawat
Tapi memang, kontribusi teknologis Habibie di ranah aeronautika itulah yang paling dikenal luas. Setengah abad yang silam, dunia penerbangan masih dihantui oleh kekaburan pengetahuan tentang ketangguhan konstruksi pesawat.
Penampakan luar sebuah pesawat terbang memang bisa saja halus mulus tanpa cacat. Tapi, seperti buah apel yang terlihat menggiurkan namun mengandung ulat di dagingnya, pesawat yang tampak cantik bisa dikremus perlahan oleh keropos dan retakan yang tak terlihat. Hantu retakan yang tak terdeteksi inilah yang merundung industri pesawat terbang sampai sekitar 50 tahun lalu. Pemakai dan produsen sama-sama tidak tahu persis, sejauh mana bodi pesawat terbang masih andal dioperasikan.
Titik rawan kelelahan (fatigue) badan pesawat terbang itu biasanya muncul pada sambungan antara sayap dan badan pesawat, atau antara sayap dan dudukan mesin. Elemen-elemen ini mengalami guncangan paling keras dan terus-menerus, baik ketika tubuh pesawat lepas landas maupun saat mendarat.
Ketika lepas landas, sambungan-sambungan tersebut menerima tekanan udara yang besar. Ketika menyentuh landasan, bagian-bagian itu pula yang menanggung empasan tubuh pesawat. Kelelahan logam pun dengan sendirinya tak terhindarkan, dan itulah awal dari keretakan (crack).
Titik retakan, yang kadang mulai dari ukuran 0,005 milimeter itu bisa terus bergerak merambat. Kian hari kian memanjang dan bercabang-cabang sesuai tekanan dan empasan yang diterima. Jika tidak terlacak, taruhannya tentu sangat berbahaya, karena sayap bisa sontak patah saat pesawat tinggal landas.
Dunia penerbangan tentu saja amat menaruh perhatian pada ancaman ini. Apalagi saat itu pula mesin-mesin pesawat mulai berganti dari baling-baling ke jet yang membawa tekanan yang lebih kuat, membuat potensi kelelahan konstruksi makin besar.
Sampai pada awal 1960-an, musibah pesawat terbang masih sering terjadi karena kerusakan konstruksi yang tak terdeteksi itu. Saat itu, dunia belum mengenal adanya pemindai dengan sensor laser yang didukung unit pengolah data komputer untuk mengatasi persoalan rawan ini.
Habibie disegani karena ia menjinakkan hantu retakan yang berbahaya ini. Dengan cara yang cerdik, ia menyingkap dan menghitung rinci rambatan titik retakan itu bekerja. Perhitungannya sungguh halus sampai pada rambatan retakan di tingkat atom.
Sebelum hantu retakan itu bisa dijinakkan, para insinyur mengantisipasi kemungkinan munculnya keretakan konstruksi dengan cara yang paling logis saat itu, yakni meninggikan faktor penjaga keselamatannya. Caranya lumayan kasar: kekuatan bahan konstruksi ditingkatkan jauh di atas angka kebutuhan teoritisnya.
Material aluminium untuk pesawat terbang harus dikombinasikan dengan baja yang lebih tangguh tapi sekaligus juga lebih berat. Akibatnya, bobot material yang dipakai untuk konstruksi pesawat jadi bertambah. Membesarnya bobot pesawat itu tentu membawa akibat yang cukup merugikan, seperti menyusutnya ruang jelajah pesawat.
Namun, setelah titik retakan dan penyebarannya bisa dihitung ,maka konstruksi pesawat bisa disiasati agar bobot bisa diturunkan dengan tetap mempertahankan kekuatannya. Caranya antara lain dengan memilih campuran material sayap dan badan pesawat yang lebih ringan. Porsi baja dikurangi, aluminium makin dominan dalam bodi pesawat terbang.
Dalam dunia penerbangan, terobosan ini tersohor dengan sebutan Faktor Habibie.
Faktor Habibie bisa meringankan operating empty weight (bobot pesawat tanpa berat penumpang dan bahan bakar) hingga 10% dari bobot sebelumnya. Bahkan angka penurunan ini bisa mencapai 25% setelah Habibie menyusupkan material komposit ke dalam tubuh pesawat.
Namun pengurangan berat ini tak membuat maximum take off weight (total bobot pesawat ditambah penumpang dan bahan bakar) pesawat terbang ikut merosot. Dengan begitu, secara umum, daya angkut pesawat meningkat dan daya jelajahnya makin jauh. Sehingga, secara ekonomi, kinerja pesawat bisa ditingkatkan.
Faktor Habibie ternyata juga berperan dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat. Sehingga sambungan badan pesawat yang berbentuk silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara saat tubuh pesawat lepas landas.
Begitu juga pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh, sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Potensi kelelahan material yang bertambah karena faktor mesin jet justru bisa diturunkan.
Frase teknis seperti “Habibie Factor“, “Habibie Theorem”, atau “Habibie Method” adalah monumen kontribusi Habibie untuk ranah sains dan teknologi thermodinamika, konstruksi, dan aerodinamika. “Habibie Factor” yang uraiannya pernah diterbitkan di jurnal bergengsi itu menjadi sebuah standar rancangan pesawat terbang di proyek-proyek NATO.
“Habibie Theorem” yang mengolah cara menghitung gerak acak retakan sayap di tataran atomik itu sangat penting dalam meringkas waktu desain dan konstruksi pesawat, dan membuat Habibie diangkat mejadi wakil presiden merangkap direktur bidang aplikasi teknologi Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB), jabatan tertinggi yang bisa diduduki oleh orang asing.
Selain jabatan prestisius di perusahaan raksasa, B. J. Habibie juga beroleh julukan penghormatan: “Mr. Crack” alias Pawang Retakan.
Penghargaan dari kalangan akademi dunia ia terima antara lain berupa Theodore Von Karman Award dari International Council of The Aeronautical Sciences (ICAS), pada 1992. Ia juga diterima sebagai anggota kehormatan Gesselschaft für Luft- und Raumfahrt (Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar) Jerman dan The Royal Aeronautical Society Inggris.
Dua organisasi tersebut hanyalah sebagian dari belasan lembaga penerbangan di berbagai negara yang mencantumkan nama Habibie sebagai anggotanya. Pada Februari 1986, misalnya, Habibie diangkat sebagai anggota The US Academy of Engineering, konon penghargaan tertinggi yang pernah diterima warga Indonesia dalam bidang teknologi di Amerika Serikat. Asia ketika itu hanya diwakili oleh 3 negara, yaitu Jepang (10 orang), India (1 orang) dan Indonesia (1 orang).
Retakan Bangsa
Tapi bukan hanya di ranah teknologi dan pengembangan industri strategis Habibie memberi sumbangan berharga. Ketika iklim ekonomi dan politik Indonesia bergejolak, ia harus menggantikan Soeharto menjadi nakhoda Republik Indonesia. Tanpa persiapan memadai, ia menerima tanggung jawab itu, dan ia membuat sejumlah keputusan besar yang memengaruhi sejarah Indonesia modern.
Krisis ekonomi dan politik menimbulkan goncangan dan kerusuhan. Ancaman disintegerasi marak di berbagai wilayah Indonesia. Kelelahan terhadap tekanan Orde Baru menimbulkan retakan berdimensi banyak yang menyebar dengan cepat.
Segera setelah memperoleh kekuasaan, Presiden Habibie langsung membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik, dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan berkumpul.
Di era pemerintahannya yang singkat, lahir UU Anti Monopoli atau UU Persaingan Sehat, muncul perubahan UU Partai Politik, dan yang sangat penting adalah UU Otonomi Daerah.
Melalui penerapan UU Otonomi Daerah inilah gejolak disintergrasi yang diwariskan Orde Baru berhasil diredam dan akhirnya dituntaskan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyon. Tanpa adanya UU Otonomi Daerah, bisa dipastikan Indonesia akan dikremus retakan dan pecah berkeping-keping seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.
Prestasi lain pemerintahan Habibie di bidang ekonomi adalah keberhasilan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar yang saat itu masih berkisar antara Rp10.000 – Rp15.000. Selain itu, Habibie juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian.
Pendek kata, di masa pemerintahannya yang sangat singkat dan tidak stabil, Habibie melakukan sejumlah langkah yang berhasil menyelesaikan krisis moneter, menstabilkan perekonomian, dan memberikan landasan kokoh bagi demokrasi Indonesia
Di mata para pengecamnya, kesalahan besar Habibie adalah keputusannya untuk memperbolehkan referendum di Timor-Timur. Publik di dalam dan luar Indonesia gempar ketika ia menyodorkan kemungkinan politik yang beberapa waktu sebelumnya dianggap mustahil itu.
Provinsi ke-19 itu memang akhirnya memilih lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi negara terpisah yang berdaulat pada tanggal 30 Agustus 1999. Berdirinya Timor Leste di satu sisi memang disesali oleh sebagian warga negara Indonesia, tapi di sisi lain membersihkan nama Indonesia yang sering tercemar oleh tuduhan pelanggaran HAM di Timor-Timur.
Kebijakan-kebijakan Habibie di kurun yang pendek itu memang bisa dianggap sebagai pertunjukan menjulang tentang apa artinya politik yang rasional dan membebaskan. Penyair dan pelukis Goenawan Mohamad menyebutnya: "politik dengan sepercik peradaban."
Dua Perempuan
Pencapaian Habibie yang luar biasa dan paripurna itu tak lepas dari dukungan dua perempuan istimewa. Yang pertama adalah R.A. Tuti Marini Puspowardoyo, ibunda yang bekerja keras untuk masa depan anak-anaknya. Habibie muda menghabiskan 10 tahun untuk menuntaskan pendidikan formal hingga S-3 di Aachen-Jerman, dan semua biaya ditanggung oleh ibundanya.
Yang kedua tentu saja adalah Hasri Ainun, kawan masa kecil yang kemudian menjadi pendamping paling setia, bahkan sampai ke liang lahat. Hubungan mereka begitu dekat sehingga ketika mantan Ibu Negara itu wafat, Habibie mengalami pukulan psikologis yang luar biasa.
Tapi kenyataan getir itu ia olah, dan ia suling bersama kenangan indah yang pernah mereka lalui. Hasilnya bukan saja pulihnya kesehatan mental Habibie sendiri, tapi juga lahirnya buku yang dicintai banyak orang, dan menjadi ilham untuk film yang mengimpun banyak penonton.
Jika setengah abad yang lalu budaya pop kita mengangkat Habibie sebagai ukuran tertinggi kecerdasan, maka tak mustahil nanti ibu-ibu akan memuja Habibe sebagai tolok ukur cinta murni. Akan banyak orang tua yang berdoa agar kelak anak-anaknya menjadi manusia paripurna, yang cerdik sekaligus tulus seperti Habibie.
Sebagian dari orang tua itu mungkin juga berdoa agar anak-anak mereka bisa melihat bahwa sebuah bangsa adalah juga sebuah pesawat yang terbang ke masa depan, yang mungkin saja dihantui retakan namun selalu bisa dijaga keutuhannya, dengan sepercik peradaban.