Prolog

Gagasan Gus Dur tentang Humanisme di setiap tulisannya dan pembahasan dari orang lain mengenainya selalu mengarah pada hal-hal kolosal. Sebutlah tentang Penindasan, Kebebasan dan lainnya. Itu sama sekali tidak keliru mengingat Gus Dur pun dawuh di salah satu essay-nya di Islam Kosmopolitan bahwa, “Hal-hal yang menggaungkan (meninggikan martabat atau posisi) kemanusiaan haruslah diutamakan”.

Pembahasan kolosal seperti di atas bukannya telah usang. Tetapi di zaman ini ada satu sisi dari bangunan besar Humanisme yang mana kebanyakan anak muda masa kini dirundung olehnya, sisi ini seperti lubang hitam kecil dan entah bagaimana para anak muda berjalan di dekatnya dan kemudian terhisap olehnya, yaitu sisi Insecurity.

Lingkungan manusia yang makin luas tidak hanya di sejangkau tubuhnya, melainkan juga di alam maya—tempat semua hal diamplifikasi sangat mungkin menyerang sisi-sisi rapuh anak muda sehingga timbul perasaan insecure. Untuk kepentingan itulah tulisan ini mencoba untuk menggali dan menangkap semangat dari Gus Dur yang dapat dimanfaatkan untuk memerangi perasaan insecure tersebut.

Ini menjadi penting untuk didiskusikan di samping tema-tema besar yang penulis sebutkan di atas lantaran memang sudah makin banyak ditemui anak muda yang tidak yakin dengan dirinya sendiri bahkan mungkin merasa terpinggirkan dari dunia.

Sepotong Manusia, sebeban Insecure

“Manusia selalu sepotong, tidak pernah utuh” yang dituliskan Gus Dur di Islam Kosmopolitan adalah manifestasinya atas kodrat ketidaksempurnaan manusia. Sisi minus ini bagaikan kutub magnet yang menarik sisi lawan yaitu sisi positif—sisi sempurna. Sialnya, kutub positif itu datang bukan untuk melengkapi, melainkan untuk makin merapuhkan sisi negatif sehingga manusia makin meratapi kesepotongannya itu.

Secara sederhana itulah pengertian insecure. Selaras dengan yang dikatakan dr.Gabriela di Halodoc.com, dia yang insecure akan merasa cemas dan takut secara berlebihan serta menaruh curiga terhadap orang dan lingkungan sekitarnya.

Insecure adalah akibat. Dia adalah hasil dari seluruh faktor yang saling berjalin-berkelindan. Tepat kiranya yang dikatakan Gus Dur, “Saya ngga percaya bahwa pribadi seorang dibentuk oleh dirinya sendiri. Kalau dikatakan dibentuk tidak oleh dirinya, ya oleh keseluruhan lingkungannya.” Itu celotehnya di Tabayun Gus Dur.

Diri yang berasal dari dalam dan lingkungan yang datang dari luar selama ini bekerjasama untuk menghasilkan manusia yang sepototng—tidak utuh. Kesepotongan manusia adalah gerbang utama perasaan insecure menyelinap dan menjangkit. “Kita semua kadang merasa insecure, itu tak terhindarkan” begitu yang penulis kutip dari laman psychologytoday.com.

Apakah benar-benar semua manusia? Bisa jadi memang benar. Ingatkah bahwa seorang pribadi sebesar Nabi Musa as pernah mengeluh karena ketidakmampuan dirinya untuk berbicara dengan baik? Padahal dia adalah Nabi, yang, merupakan teladan terdepan umat manusia. Hingga dia yang kita kenal sangat perkasa itu “bersedia” bekerjasama dengan Nabi Harun as yang dapat berbicara lebih baik. Barangkali Nabi Musa as merasa insecure kala itu? Karena salah satu tanda Insecure adalah kurangnya percaya diri.

Lalu bagaimana dengan Gus Dur sendiri? Kita kenal dia sebagai pribadi yang humoris, ringan dan santai—seakan kalis dari embun derita—meskipun sudah sejatuh dari setingginya kursi Presiden. Hingga sahabatnya yaitu KH.Mustofa Bisri atau Gus Mus menyebut Gus Dur sebagai orang yang memiliki kemampuan dan kelebihan, sekaligus sikap percaya diri, I’timad ‘ala an-nafs. Tetapi jika kita berani berpikir bahwa Nabi Musa as pernah merasa insecure, adakah kesempatan Gus Dur untuk luput darinya?

Jika memang Gus Dur masih santai kala dilengserkan dari kursi Presiden dan lebih meratapi kehilangan piringan hitam Bethoveen-nya, maka kesimpulannya adalah jabatan Presiden bukanlah item yang sanggup membuat dia insecure. Lalu harus kejadian apalagi yang lebih besar dari jatuhnya seorang Presiden? Barangkali kita tarik ke masa kanak-kanak cucu Hadratusyaikh ini.

Di satu hari ada seorang anak seumuran 12 tahun diajak ayahnya untuk pergi ke suatu tempat naik sebuah mobil sedan yang kendarai oleh seorang sopir. Jalanannya cukup berkelok dan licin. Kemudian di satu jarak sang sopir tak mampu mengendalikan laju mobil dan membuat mobil itu menabrak truk besar.

Kecelakaan terjadi, sang anak berhasil keluar dari mobil naas tersebut dan selamat. Tapi tidak dengan sang ayah dan sopir. Mereka tak sanggup bertahan hingga pertolongan tiba. Anak 12 tahun itu melihat dengan mata kepalanya sendiri ayahnya lambat laun kehilangan kesadaran.

Ringkasan cerita di atas kita tahu sebagai tragedi tewasnya KH.Abdul Wahid Hasyim ayahanda Gus Dur. Sepanjang kebersamaannya, Gus Dur sangat dekat dengan ayahnya mengingat dia adalah putra tertua. Greg Barton yang menulis biografi Gus Dur pun penasaran dengan akibat dari kejadian ini. Temuannya tentang akibat tragedi ini adalah, “Sebagai seorang dewasa, ia (Gus Dur) jarang mengakui pernah mengalami keraguan atau depresi.

Namun demikian, ada tanda-tanda bahwa kematian sang ayah, yang lebih dekat dengan dirinya daripada saudara-saudaranya merupakan pukulan yang hebat.” Dan mungkin bukan kebetulan bahwa setelah kehilangan sang ayah, Gus Dur menjadi malas untuk bersekolah dan lebih memilih bermain bola. Menurut lama psychologytoday.com, tekanan lingkungan seperti mengalami sebuah tragedi di masa kecil adalah sebab utama perasaan insecure.

Amplifikasi Media Sosial

Mayoritas pengguna media sosial adalah anak muda. Sarana mengekspresikan diri dan mendapat pengakuan. Kebelum mantapan fondasi pribadi anak muda karena masih berada dalam tahap mencari adalah kunci datangnya perasaan insecure.

Meskipun terlihat remeh saja, karena melihat status pencapaian hebat di Facebook, foto bagus di Instagram, atau thread cemoohan ala anak Twitter yang bahkan dia tidak kenal. Tetapi semua itu datang setiap saat tanpa henti kepada anak muda yang tengah mencari.

Insecure terjadi karena adanya hubungan antar manusia, sedangkan perasaan insecure karena bermain media sosial sebab anak muda merasa terkoneksi dengan manusia yang ada di balik akun media sosial tersebut. Dalam hal ini, media sosial fungsinya hanya amplfying (melipatgandakan) pengaruh hubungan tersebut kepada orang yang lebih banyak. Itu menurut Psikolog Nago Tejena dikutip dari lama kumparan.com.

Perasaan tidak cukup adalah anak kandung dari perasaan insecure jika kita tarik simpulan dari sebab insecure karena bermain media sosial. Anak muda menginginkan apa yang orang lain capai: tubuh yang sintal, hidup yang mudah, atau juga prestasi yang membanggakan. Menyedihkan, karena bahkan kala anak muda bersedia untuk mengukur diri setelah melihat media sosial namun pada akhirnya dia seakan meratapi titik mulainya yang jauh berbeda dengan para pencapai membanggakan itu.

Paling gawat adalah fatalisme, seperti Jabariah versi millenial. Mereka menerima dengan cara yang destruktif bagi dirinya sendiri. Semacam depresi yang tidak berat namun membuat penderita enggan melangkah—titik mulai yang berbeda mungkin juga mengisyaratkan beda kelancaran dan hambatannya.

Namun entah mengapa, meskipun media sosial adalah sumber utama perasaan insecure bagi anak muda, toh mereka masih membukanya setiap saat. Karena di sana dia pun menemukan pemilik akun media sosoal yang senasib. Bagai seorang Masokhis yang ketagihan dengan ‘siksaan’ berbinar-binarnya media sosial. Maka kala kesempatan untuk memutus koneksi dengan media sosial hampir tak berkemungkinan, lalu apa yang sebaiknya anak muda lakukan?

Proggresive Acceptance

Anak muda itu akan sampai di satu titik jenuh. Ekstrimnya berakibat pada self-harrashment atau bahkan bunuh diri. Dan titik jenuh yang menggembirakan adalah mulainya dia sanggup menerima dengan hati yang luas, seperti rasa mual yang lekas dimuntahkan. Perasaan muak yang positif ini mungkin bisa kita sebut sebagai Proggresive Acceptance atau penerimaan yang positif, kutub lawan dari Jabariah Millenial yang disebut lebih dulu.

Akan ada satu daya yang membuat dia bergerak. Keyakinan yang kecil dengan bubuhan ketakutan seperti yang pernah Gus Dur akui, “Saya sendiri punya ketakutan-ketakutan.” Tetapi, “Asal kita percaya bahwa kita menjalankan sesuatu yang berguna, itu sudah cukup.” Dawuhnya di Tabayun Gus Dur. Lanjutnya, “Saya merasa inilah panggilan saya, ya saya jalan.” Sesederhana itu.

Barangkali kesederhanaan adalah rangkuman dari segala benang kusut yang telah terurai, sebuah pencarian yang meskipun belum berhenti namun terasa lebih pasti. Dari kesederhanaan prinsip itu Gus Dur memperoleh daya geraknya sejak depresi masa kecilnya. Dia mulai makin banyak membaca buku, makin tekun ngaji, getol berdiskusi, dan sebagai yang terpenting: berani memperjuangkan nasib orang lain. “Saya memandang hidup ini dari manfaatnya saja.” begitu katanya di Tabayun Gus Dur.

Epilog

Ada seorang Kiai yang yakin saja dengan apapun Gus Dur perbuat, katanya, “Yasudah kalau Gus Dur yang bikin, walaupun kita masih 50 tahun lagi baru paham.” Paham di sini bukan karena proses berpikir melainkan proses melihat akibat dari perbuatan Gus Dur tersebut.

Gus Dur dalam sejarah pergerakannya menurut Hairus Salim pendiri LKiS dalam wawancaranya dengan Puthut EA mengatakan bahwa Gus Dur hanya sebatas mengobrol dengan kita (para pendiri LkiS), tidak mendoktrin apalagi memobilisasi. Mungkin karena keyakinan Gus Dur sendiri bahwa, “Saya berpendapat, kemandirian generasi muda itu sangat penting.”