Abdurrahman Wahid, begitu nama beliau meski di masa hidupnya acap disapa dengan Gus Dur. Dengan nama aslinya itulah beliau ingin disapa saat perjumpaan dengan saya--dalam wawancara imajiner--di sela-sela saya sedang berkutat dengan berita-berita olahraga di media tempat saya bekerja.
Beliau menolak dipanggil Gus. "Gelar dan julukan-julukan itu hanya dibutuhkan di dunia sana saja. Di sini, itu buat apa," begitu gugatnya. Ciri khas beliau yang kerap mendobrak hal-hal yang merendahkan kemanusiaan dan apa saja yang rentan diskriminasi, masih sangat kental terlihat. Maka itu dalam wawancara dengannya, ia berbicara banyak hal seputar Indonesia terkini, tak terkecuali Pilkada DKI.
Berikut hasil wawancara (imajiner) tersebut:
Kenapa Anda tak ingin dipanggil Gus dan lebih suka dipanggil nama lengkap saja?
AW: Ya, ada kata "abd" di dalam nama saya yang merujuk pada keakuan, kedhaifan, keterbatasan, yang diikuti "Rahman" merujuk ke yang kita sembah, Maha Penyayang, dan "Wahid" yang juga merujuk kepada keesaan-Nya. Juga pada kata wahid itu juga ruh yang satu, kesatuan, dan sesuatu yang tak dapat dipecah-pecah...
Rasanya penjelasan Anda kali ini terlalu serius....
AW: Tidak juga. Anda yang terlalu serius, jadi mengira bahwa saya terlalu serius. Keseriusan itu di sana, di dunia. Cuma di sana kalian suka menafsirkan keseriusan itu sebagai ekspresi nirlelucon. Padahal keseriusan itu tidak kaku, justru seharusnya kalian lebih makin rileks saat kalian makin serius.
Bisa Anda contohkan lebih jelas lagi?
AW: Begini. Katakanlah Anda sendiri serius menyembah Tuhan, misalnya lho, ya. Nah, yang Anda sembah itu adalah eksistensi yang memiliki kemahaan, Dia Maha Segala. Jika Anda meyakini Dia Maha Penyayang, seharusnya Anda jangan menuduh dia terlalu cepat marah, cepat tersinggung. Dia tidak begitu.
Jadi...
AW: Di situ itulah banyak orang yang terlihat paling rajin beribadah, tapi juga paling cepat marah. Ya, sebab pemahaman. Sebab kemampuan melihat-Nya yang kalian miliki sangat terbatas, jadi mengira kemahaan itu ada batas.
Jadi, apa-apa yang sebetulnya kecil jadi terlihat besar, sedang yang betul-betul besar bahkan Mahabesar, terlihat kecil. Tidak kalian sebut Dia kecil secara lisan, karena takut dosa, tapi kalian kecilkan Dia lewat perbuatan dan anehnya kalian tak merasa berdosa.
Bagaimana itu, agar saya lebih gampang mencernanya?
AW: Katakanlah Anda sembahyang. Di sana Anda baca ayat-ayat dan rapalan-rapalan yang berisikan kalimat pemujaan atau pujian kepada-Nya. Tapi di luar sana, kalian mengira Dia tidur di musala, masjid, gereja, dan rumah ibadah apa saja. Kalian tak merasa Dia hadir di mana saja napas kalian berembus. Kalian lebih meyakini napas itu ada tanpa dapat melihat kecuali merasakan saja, tapi tak merasakan kehadiran Dia...
Sudah lebih gampang saya cerna. Lalu, apa pengaruh soal kemampuan merasakan yang Anda sebut tadi itu?
AW: Ya, kalian beribadah sampai lelah tapi kalian mencuri sampai kenyang dan terengah-engah. Kalian memuji Tuhan sampai memuncratkan air ludah, tapi kalian juga menggunakan lidah yang sama untuk menipu dan mengisap darah korban Anda serakus lintah. Tak ada rasa kehadiran-Nya. Ya, karena mengira Dia tidur di musala, di rumah-rumah ibadah.
Baik. Anda masih menyimak negara kita di sana?
AW: Saya tak butuh koran atau internet untuk mengetahui dagelan kalian di sana. Kalian itu lucu, tapi tak ada lagi yang punya selera humor, jadi gagal menyimak kelucuan itu. Jadi kelucuan-kelucuan yang sejatinya ada pada kalian masing-masing justru tak pernah kalian tertawakan.
Padahal itu kelucuan paling dekat. Ibarat makanan enak dan betul-betul nikmat, tapi jika selera makan sudah tak ada maka sama saja, tak ada enak-enaknya. Walau itu ada di depan hidung Anda sendiri.
Sedikit sulit saya temukan korelasinya dari gambaran Anda berikan itu dengan realitas di sana..
AW: Lihat sajalah, bagaimana kalian lebih memilih mencari hal-hal yang dapat ditertawakan itu pada orang lain. Kalian mencari keburukan orang lain, bukan untuk diperbaiki atau mendatangkan sesuatu yang lebih baik, tapi justru hanya untuk sekadar ditertawakan. Kalian mencari keburukan suku lain, agama lain, aliran politik lain, dan apa saja yang di luar kalian, bukan untuk dipelajari atau setidaknya dijadikan bahan refleksi melainkan thok untuk ditertawakan.
Jadi...
AW: Jadi jika ditanyakan kegilaan itu sebetulnya seperti apa, ya begitu itu.
Bagaimana menerjemahkan hal itu dengan realitas konkret negara yang pernah Anda pimpin itu?
AW: Sebetulnya dari saya belum jadi presiden, sampai jadi presiden, hingga saya diminta mundur bahkan saya masuk kubur pun realitas tak jauh-jauhlah. Sama saja, saya rasa.
Sama saja?
AW: Iya, sama saja. Karena banyak yang ngawur, ngelantur, tapi seolah-olah teratur. Sedangkan yang betul-betul diatur tak lebih dari upaya mencari kekurangan orang lain sebanyak-banyaknya cuma untuk ditertawakan sekeras-kerasnya.
Apakah ada dari kekurangan yang dicari itu dijadikan bahan untuk betul-betul melahirkan perubahan? Sebagian iya, tapi jauh lebih banyak yang tidak begitu. Anda tahulah, jika di sana tidak ngotot, tidak unjuk kekuatan, tidak pamer massa, digilas begitu saja oleh mereka...
Betul, yang begitu memang masih terjadi...
WA: Akan tetap terjadi. Sebab ada cara berpikir dan cara melihat yang masih belum berubah secara signifikan. Lihat saja, bagaimana orang-orang dengan dalih iman lalu merasa berhak untuk menghina yang tak beriman, yang terlihat saleh merasa berhak menghantam yang dirasa tak saleh...
Apakah itu berkaitan dengan situasi terkini di DKI jugakah?
Tak hanya soal yang terjadi di Jakarta. Itu akan ada di mana-mana; orang-orang sombong merasa saleh, orang-orang culas mengenakan pakaian orang saleh. Jadi kembali ke masyarakat muslim sendiri, ingin sekadar melihat pakaian atau sesuatu yang ada di hati, ingin terkecoh dengan surban atau ingin menggali yang ada di dalam kepala.
Sepanjang kalian hanya tertarik pada hal-hal berbau simbol, hal-hal yang berkaitan dengan jumlah, hanya berdasarkan yang terlihat, sepanjang itu pula kalian akan mudah dibodohi.
Bisa dijelaskan lebih jauh?
Anda lihat sajalah, seperti apa orang-orang mengelabui dengan berbagai macam atribut dan simbol. Saat mereka ingin meraih impian untuk memanjakan keserakahan mereka, dengan tanpa dosa mereka menjual agama. Ketika mereka sejatinya mengincar kekuasaan, mereka tanpa rasa bersalah memanfaatkan orang-orang tak berdaya, dan memangsa kalangan minoritas yang dikira mereka lemah.
Mereka lupa, jika orang yang mereka sebut kafir pun, jika dianiaya, difitnah, ditindas, doa mereka bahkan lebih didengarkan-Nya dari doa Anda yang berbusa-busa menyebut nama-Nya tapi lupa diri, lupa untuk adil, lupa untuk menyadari bahwa Dia melihat segalanya hingga ke hal-hal yang tersembunyi...
Anda di sini mendapatkan kabar soal aksi 4 November nanti?
Saya tak perlu surat kabar untuk mengetahui yang terjadi di sana. Tapi yang harus Anda sadari adalah jangan pernah terkecoh di tengah fasihnya orang-orang mengutip ayat Tuhan. Jangan pernah takut berdiri membela yang benar, sekalipun yang benar itu adalah mereka yang berada di luar agamamu sendiri, di luar sukumu, dan di luar apa pun yang akrab denganmu.
Sebab, Tuhan bisa berpihak ke mana saja, sepanjang di sana ada yang benar. Tuhan bisa saja menjauh dari siapa saja yang terlalu besar kepala karena mengira sudah sangat dekat dengan-Nya. Anda boleh tidak percaya, saat kita terkotak-kotak oleh agama dan sebagainya, Tuhan berada di atas semua kotak-kotak itu.
Ada pesan lain yang ingin Anda sampaikan?
Dari tadi sebenarnya saya sudah sangat banyak berbicara. Sedangkan di sini sebenarnya saya sedang beristirahat, dan giliran kalian yang masih di dunia sana yang bekerja. Bekerjalah dengan cinta pada apa yang ada di bumi, maka yang di langit akan mencintai Anda.
Jangan batasi cinta itu hanya untuk kalangan sendiri dan orang-orang sendiri, sebab itu hanya menjadi sinyal egoisme Anda. Berikan cinta ke siapa saja. Anda ingat, jika saya dulu dihujat karena dinilai terlalu ramah pada Yahudi? Tidak apa-apa, yang jelas kita yakini saja, bahwa Tuhan itu bekerja dengan cinta, dan Anda harus mencintai dengan tulus pada ciptaan-Nya meski terlihat berbeda. Itu saja.