Apa yang bisa kita lakukan agar anak-anak di Sekolah Dasar mau membaca buku? Ada banyak cara, seperti studi kasus di bawah ini. Kasus pertama, anak yang suka membaca versus kasus kedua, anak yang tidak suka membaca.

Kasus 1.

“Nak, apakah kamu suka membaca?” tanyaku pada keponakanku yang baru kelas I SD.

“Ya, aku suka,” katanya riang.

“Kenapa kamu suka membaca?” kataku sambil menunjukkan sebuah buku cerita rakyat.

“Biar tambah pintar!” katanya jujur sambil meraih buku tadi.

Kasus 2.

“Apakah kamu suka membaca buku?” tanyaku pada seorang anak yang masih bersekolah dasar, kelas dua.

“Tidak,” jawabnya santai sambil mewarnai buku cerita Princes bergambarnya. Dan penulis hanya tersenyum simpul sambil memperhatikan kegiatan anak itu.

Budaya baca atau membaca untuk anak sekolah memang sedang digalakkan di era pemerintahan bapak presiden Jokowi saat ini dengan bahasa kerennya “Literasi” atau menggiatkan literasi. 

Pengertian literasi itu sendiri bukanlah dimaknai hanya dengan kemampuan membaca saja, namun juga dibarengi dengan kemampuan menulis, bahkan kemampuan-kemampuan lain seperti berbicara atau diskusi, mengamati dan penelitian yang mengacu pada analisis ilmu pengetahuan juga teknologi.

Budaya baca bagi anak di sekolah dasar memang harus ditumbuhkan sejak dini agar nantinya mereka menyadari pentingnya membaca yang diistilahkan dengan “Membuka jendela dunia” sehingga menjadi kebiasaan dan kebutuhan bagi anak-anak ini. 

Bagi penulis, membaca di sini adalah membaca yang lebih mengutamakan membaca buku atau surat kabar (majalah) atau apa pun yang berbentuk hard copy, bukan dalam bentuk soft copy seperti membaca di media sosial; Facebook, Yahoo, Google, E-mail, dan lain sebagainya walau membaca di media sosial tidak salah namun ilmu dan pengetahuan mereka belum cukup untuk itu. 

Lagi pula, dengan membaca hard copy, anak-anak akan lebih bisa berinteraksi secara sosial dengan orang lain dan mata (panca indera) mereka akan lebih terjaga.

Membaca menjadikan mereka lebih memahami dan mengerti akan suatu hal yang akan membuat terbukanya wawasan, berkembang idenya, termotivasi pribadinya, semangat dan percaya diri menjadi pembelajar. 

Namun, minat membaca bisa ditumbuhkan dengan mengetahui terlebih dahulu tipe-tipe cara pembelajaran anak, atau tipe belajar seseorang dalam Susanto (2006) yaitu: Manusia visual adalah tipe ini mudah menyerap informasi secara optimal dengan melihatnya atau membacanya.

Kemudian, ada manusia auditori adalah tipe yang mudah menyerap informasi dengan apa yang didengarnya. Lalu ada manusia kinestik yaitu tipe ini akan sangat senang dan cepat mengerti bila informasi yang diserapnya lebih dahulu dicontohkan atau diperagakan.

Setelah mengetahui tipe-tipe belajar di atas, kita bisa menyusun starategi cara-cara menumbuhkan minat baca. Apalagi ketika kita sudah mengetahui tipe-tipe ini maka kita bisa mempraktekkan strategi menumbuhkan minat baca secara bergantian, untuk semua tipe manusia belajar diatas. Peran guru di sini sangat penting karena mereka-merekalah yang akan menjadi fasilitator di sekolah banyak yang akan mereka lakukan.

Di bawah ini beberapa strategi menumbuhkan minat baca siswa siswi di sekolah. Yaitu, diawali berdoa kepada Tuhan. Guru dan anak didik memulai semuanya dengan berdoa, dengan berdoa kita memohon pada Tuhan untuk berharap agar segala sesuatunya bisa tercapai yaitu anak didik bisa menyukai membaca dengan berdoa juga membentuk karakter anak didik yang baik, religius.

Kemudian, tersedianya buku bergambar dan berwarna. Sekolah menyediakan buku atau bacaan yang menarik yaitu buku bergambar dan berwarna yang tidak terlalu tebal alias tipis dengan bahasa yang sederhana tidak kaku untuk seluruh bidang keilmuwan karena minat dan hobi anak berbeda dan biarkan anak didik bebas memilih bukunya.

Lalu, memberikan pemahaman. Ketika anak didik selesai membaca, guru bisa memberikan pemahaman tentang bacaanya dengan mengajarkan membuat “mind mapping” membuat peta pemikiran agar mereka mengerti apa yang telah dibacanya. 

Namun, semuanya bisa disesuaikan dengan selera anak didik. Bagi yang suka menggambar bisa menggambar, yang suka merangkum membuat rangkuman, dan lain sebagainya.

Ada saat membaca diluar kelas. Program literasi yang dilakukan di sekolah diusahakan tidak monoton di dalam kelas. Biasanya, buku memang disediakan di dalam kelas dan dibaca di dalam kelas. Guru bisa mengganti ruang membacanya agar suasana lebih nyaman misal dengan membaca bersama – sama di halaman sekolah minimal di luar kelas.

Mengajak anak bercerita setelah membaca buku yang dipilih oleh siswa itu sendiri. Usahakan guru bertanya pada siswanya tentang apa yang telah dibacanya. Ajaklah siswa bercerita tentang isi buku yang dibacanya. Guru juga bisa memberikan pemahaman yang lebih atas bacaannya.

Ayo lempar kuis setelah anak didik disuruh bercerita, guru bisa melemparkan kuis pertanyaan pada teman-temannya. Dari sini guru juga bisa tahu keikutsertaan siswa yang lain dalam menyimak penjelasan temannya.

Membuat kelompok diskusi adalah cara lain selain bercerita, siswa bisa diajak berdiskusi. Misalnya, seorang siswa baru saja membaca tentang roket. Siswa lainnya bisa menanggapi atau bertanya sehingga tercipta ruang berbagi ilmu.

Kita bisa menggali local wisdom (kearifan lokal) karena setiap daerah di Indonesia kaya akan kearifan lokal, guru bisa menggali kearifan lokal agar anak-anak suka membaca. Guru membaca dan atau menyuruh anak didik membaca cerita rakyat. 

Di Jawa Tengah ada cerita Roro Jonggrang, di Jawa Barat ada cerita Banyuwangi, di Mandar, Sulawesi Barat ada kisah Todilaling. Dari sini, diharapkan tradisi bercerita (bertutur) dan menulis nilai-nilai adat budaya akan tetap terjaga.

Mari bernyanyi, berpuisi, dan berpantun, bagi anak didik yang suka seni budaya, membaca juga bisa dilakukan dengan lebih riang dan gembira. Misalnya, mengajak mereka bernyanyi atau bertembang Jawa, atau berkelong Makassar setelah membaca buku.  Anak didik bisa membaca puisi atau sajak dan berpantun. 

Jika di Sumatra Barat ada berbalas pantun tradisional,  di Sulawesi Barat ada Kalindadaq’, pantun ala suku Mandar yang mempunyai banyak tema seperti agama, pendidikan, humor  dan sebagainya. Sehingga, anak didik bisa terpikat pada adat dan tetap menjaga tradisi setempat.

Me-list buku adalah ide yang menarik penulis dapatkan ketika menonton serial Ipin-Upin dengan judul Jembatan Ilmu. Diceritakan Upin-Ipin dan teman-temannya disuruh membaca buku oleh gurunya.

Di kelas si guru Upin-Ipin menyuruh anak didiknya memperlihatkan kartu list buku yang sudah dibaca. Nah, guru bisa mempraktekkan cara “Cegu” itu mengetahui bacaan bukunya si anak didik tapi bukan hanya sekedar list, guru harus tahu sejauh mana si siswa memahami bacaannya.

Kita juga bisa menonton film edukasi karena film merupakan media pembelajaran yang paling asyik dan seru. Sesekali siswa diajak menonton film edukasi misalnya menonton film tokoh perempuan R. A. Kartini. 

Sebelum menonton, guru telah membentuk kelompok dan memberikan pertanyaan tentang film itu. Setiap kelompok menuliskan biodata tokohnya dan temuannya dalam satu karton yang akan dipajang di kelas atau di mading sekolah.

Menulis diari adalah salah satu cara yang paling menyenangkan. Ketika pelajaran bahasa Indonesia, guru bisa memberikan pekerjaan rumah mingguan dengan menulis diari. Mulai dari melengkapi pertanyaan 5 W  + 1 H (Who, What, Where, When, Why and How). Sehingga  dari  sini, di masa datang anak atau generasi kita sudah belajar dari pengalamannya cara menulis sesuatu dengan baik.

Ketika diari penuh, buku ini bisa dibukukan. Misalnya, diantara cerita dalam buku diari itu ada tulisan yang bagus, tidak ada salahnya kita bukukan. Walaupun buku cerita diarinya bergambar pasti sangat menarik untuk dibukukan dan anak didik pun senang dengan kreatifitasnya.

Majalah dinding (mading) jangan disepelekan. Majalah dinding saat ini mungkin bukan menjadi sesuatu yang favorit lagi, tapi tetap penting untuk menghimpun pengumuman (woro-woro), iptek, info sekolah atau lomba, dan profil siswa yang berprestasi. Kita bisa menugaskan beberapa kelompok siswa untuk bergiliran mengisi mading dan membuat mading tetap berisi majalah yang menarik.

Galakkan lomba-lomba karena tidak bisa dipungkiri, lomba- lomba membantu menumbuhkan budaya baca minimal membaca ketentuan lomba bahkan menjadi peserta lomba. Siswa suka dengan sesuatu yang baru dan berhadiah, nah lomba sebagai wadahnya. Lomba antarsiswa kelas atau antar kelas membuat tulisan, bermain drama  atau teater, mendongeng cerita rakyat atau membaca di depan kelas membuat anak-anak ingin membaca dan menambah percaya diri.

Lalu hadiahnya buku, hadiah dari lomba-lomba tadi sebaiknya buku juga sehingga ada bacaan baru lagi buat si pemenang istilahnya mungkin “Dalam buku ada buku”.

Berikan Pujian, sesekali pujilah anak didik kita ketika telah membaca buku dengan baik atau menjadi pemenang lomba-lomba misalnya membaca.

Belajar sambil bermain misalnya; ke perpustakaan kota, taman pintar, museum, dan objek wisata sangatlah menyenangkan ajak anak didik kesana dan sepulang dari sana suruhlah mereka menuliskan pengalamannya atau bercerita apa saja yang telah dilihatnya.

Survei buku adalah cara guru untuk mengetahui muridnya. Guru mensurvei buku yang disukai dibaca dan yang tidak. Kalau perlu riset kecil-kecilan sendiri pada siswanya untuk mengetahui minat baca mereka. Guru dan kepala sekolah “up date” buku baru yang baik dan bagus untuk anak-anak dan menyediakannya di sekolah.

Guru membaca, guru bercerita, guru menulis. Sebaiknya, seorang guru lebih dahulu memperaktekkan ini. Misalnya guru mempunyai buku. Penulis ingat waktu masih duduk di Sekolah dasar, penulis mempunyai guru kesenian yang mempunyai buku tulisan lagu-lagu wajib Indonesia yang ditulis sendiri. 

Hal ini membuat penulis ingin juga mempunyai buku lagu-lagu juga. Kemudian penulis pun menulis buku lagu-lagu wajib Indonesia. Ketika kuliah, penulis mempunyai dosen yang mempunyai buku sehingga menumbuhkan ‘courage’ bagi penulis untuk membuat buku juga.

Kelas inspirasi, meminjam istilah keren saat ini. Kalau ada kelas inspirasi sebaiknya ada  guru inspirasi. Guru yang menginspirasi adalah  guru yang bisa berinovasi dalam pengajaran dengan sesekali sekolah perlu mengundang orang yang sukses di bidang penulisan atau orang yang bisa memberikan semangat anak didik untuk membaca sehingga anak punya role model, panutan. 

Atau sebaliknya anak didik diajak anjangsana ke rumah tokoh pendidikan untuk melihat koleksi bukunya dan buku apa yang telah mempengaruhi hidupnya. Penulis ingat walau di rumah sendiri ayah penulis juga mempunyai banyak buku. Tapi, penulis punya paman yang mempunyai buku yang lain dari ayah, sehingga penuis senang kesana, ke rumahnya.

Taman bacaan, atau taman baca dengan bekerjasama dengan taman bacaan atau perpustakaan. Ada taman baca di masyarakat yang mendukung program ini, untuk menumbuhkan minat baca anak sekolah. Taman baca Mentari di Jogjakarta membantu pekerjaan rumah (PR) dari sekolah. Perpustakaan Nusa Pustaka di Pambusuang, Sulawesi Barat menyediakan banyak buku bergambar.

Anjangsana ke tempat inspiratif, sejalan dengan PR baru anak sekolah yang dicanangkan Presiden Jokowi agar kegiatan sosial masuk kurikulum misalnya ikut kerja bakti di lingkungan. Anak didik bisa kita ajak ke Panti asuhan  membagikan buku sehingga mereka meyadari betapa pentinganya buku bagi orang lain. Lagipula mereka ikut menumbuhkan tenggang rasa dan pengembangan karakter sebagai anak (manusia). 

Anjangsana ke pusat penyiaran misalnya Radio atau Televisi lalu melihat proses membaca berita pasti sangat menginspirasi. Anjangsana bisa juga ke percetakan buku juga sangat inspiratif sehingga membuka wacana mereka tentang dunia tulis menulis, percetakan dan bacaan yang akan dibaca.

Duta baca cilik, yah, mungkin lebih baik ada Duta baca cilik di setiap sekolah. Duta baca bukan Cuma dari kalangan orang dewasa. Biasanya anak  lebih suka punya role model, atau panutan yang sebaya mereka.

Terakhir, sinergi semua pihak. Ada sinergi antara guru dan orang tua siswa di sekolah dan rumah misalnya guru meminjamkan buku cerita dari sekolah dan orang tua siswa membacakan cerita atau dongeng tersebut kepada anaknya ketika mereka mau tidur sehingga disini terjadi juga ikatan (bounding) yang kuat antara orang tua dan anak.

Strategi diatas adalah cara yang sederhana untuk bisa membantu guru dan kepala sekolah secara dinamis dan selaras dalam menerapkan bagaimana menumbuhkembangkan budaya baca di sekolah. 

Semoga guru menghargai semua proses yang ada tanpa harus memaksa anak didik kita menjadi seperti apa yang kita mau. Tapi, guru yang selalu (dituntut) memanusiakan manusia tetap bersyukur dengan amanah untuk memperbaiki karakter anak didiknya, ikut mendidik anak didik mencerdaskan anak bangsa, dan tetap memotivasi dan membimbing dengan membiasakan anak didiknya membaca.

Jika anak-anak bahagia dengan membaca guru pasti lebih bahagia. Setelah ini, penulis berharap ada anak didik yang datang meminta bukunya sendiri pada gurunya, “Berikan aku buku, guruku”.

NB: Tulisan ini pernah dibagikan di akun FB penulis (14 Oktober 2017) untuk mengikuti lomba penulisan yang bertema menumbuhkan minat budaya baca di sekolah dasar.