Setiap tanggal 25 November, kita memperingati Hari Guru Nasional. Apresiasi terhadap para pendidik tunas bangsa ini laik diabadikan sekaligus dimonumenkan mengingat mereka telah berjasa untuk bangsa dan negara. Tanpa sosok seorang guru, bangsa ini tidak mungkin berkompetisi. 

Pada peringatan Hari Guru Nasional ini, mari kita membenamkan refleksi seputar guru, sekolah, dan belajar.

Guru: Mantan yang Wajib Dikenang

Guru adalah mantan yang wajib dikenang. Menemukan sosok seorang yang menjadi panutan laiknya seorang guru adalah sebuah pekerjaan yang cukup sulit. Lebih-lebih, jika sosok yang dikejar adalah mereka yang memiliki “high profile”. 

Tokoh panutan memang digandrungi di mana-mana, justru karena kepiwaian, kreativitas, dan keberaniannya dalam menciptakan sesuatu yang baru – boleh jadi mengubah batu menjadi roti.

Guru adalah salah salah satu dari sekian hero yang menjadi “waktu” yang terus dikejar. Guru dengan segala kemampuannya, selalu menjadi monumen yang selalu berdiri tegak menyaksikan keberhasilan peserta didiknya dan selalu menjadi mantan yang wajib dikenang. Boleh jadi ia disebut-sebut sebagai mantan yang paling berperan dalam kehidupan sesorang.

Profil seorang guru dan karakternya selalu menjadi potret keberhasilan dan kegagalan (masa depan) tunas-tunas bangsa. Masing-masing kita, pastinya memiliki setidaknya seorang “private teacher” dalam menempuh petualangan hidup, entah itu orangtua, teman, pengalaman, kekasih atau guru sendiri ketika kita menginjak usia level didik – dari TK hingga Perguruan Tinggi.

Sosok guru adalah sosok yang selalu dicari, walaupun tak bisa dimungkiri banyak pula orang-orang sukses karena usahanya sendiri. Di Indonesia, kehadiran guru masih menjadi mimpi yang selalu ditatap. Beberapa wilayah, misalnya di pelosok Kalimantan atau Nusa Tenggara Timur, guru masih menjadi aktor Hollywood yang sulit digapai.

Sekolah dan belajar

Kenyataannya, banyak orang yang sekolah tapi tidak belajar. Mereka diberi kesempatan untuk mengalami pendidikan di sebuah institusi, tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Mereka gagal di dalam sekolah karena tidak belajar. 

Sebaliknya, ada banyak orang yang belajar, tetapi tidak sekolah. Ada keinginan untuk mencicipi pendidikan di sekolah, tetapi ekonomi kurang berstamina. Mereka hanya punya modal belajar, tetapi tak bersekolah.

Jika mau disebut pelajar, tak cukup belajar. Ia butuh sekolah. Sekolah dalam hal ini mengarah pada struktur, sebuah institusi, birokrasi, managemen, dan masih banyak hal lainnya. Sekolah dengan kata lain adalah lahan formal dimana kegiatan belajar itu sendiri diakui. 

Persoalannya, di sekolah ada orang yang justru gagal dan berperilaku tidak jelas. Ada yang tidak naik kelas, tidak lulus, dan bahkan tidak bekerja. Sekolah, tapi tidak bekerja. Sekolah, tapi tidak lulus. Sekolah untuk apa?

Dengan sekolah, tidak berarti berhenti belajar. Sekolah hanya menjadi infrastruktur bagaimana kegiatan belajar yang sudah ditanamkan dalam diri seseorang bisa bertahan, dikembangkan, menciptakan tansformasi (inovatif), dan lebih-lebih, bisa diterapkan dalam dunia kerja. Prospeknya, semangat belajar yang sudah ada, atau belum ada sama sekali, dalam diri seseorang, mulai dibentuk saat sekolah.

Kita banyak menyaksikan orang-orang yang berhasil melakukan pembebasan diri dengan pendidikan. Orang-orang miskin, dari desa terpencil. Mereka lahir dan tumbuh besar dari keluarga yang tidak berpendidikan. Keluarga rakyat kecil, bukan priyayi. Orang-orang ini dengan segala keterbatasannya berjuang keras dalam menempuh pendidikan.

Hasilnya, ia mendapat pengetahuan dan keterampilan, yang kemudian menjadi bekal baginya untuk bekerja. Ia bekerja lebih baik dari orangtuanya, mendapat penghasilan yang lebih baik pula. Ia membebaskan dirinya dari kemiskinan dan keterbelakangan yang dulunya menjadi stigma yang tak kunjung hilang.

Orang-orang seperti itu, tidak hanya membebaskan dirinya sendiri. Ia kemudian hari, justru memberi inspirasi, sekaligus membiayai adik, keponakan, atau bahkan orang lain yang sama sekali tak ada hubungan darah dengannya. Ia membebaskan orang dengan jumlah yang lebih banyak lagi. 

Tapi kita juga mendengar banyak cerita, tentang orang-orang yang mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan, tapi gagal membebaskan dirinya.

Ada yang gagal selama sekolah. Ia tak mampu menyelesaikan sekolahnya. Ada pula yang sekolah sampai selesai, tapi pendidikan yang ia tempuh tak membuatnya bisa hidup lebih baik. Kita cukup sering mendengar kisah-kisah tragis, tentang orangtua yang berharap anaknya "naik kelas" dari kelas rakyat kecil, menjadi priyayi, dengan menyekolahkan mereka. Ada yang sampai menjual sawah, untuk membiayai kuliah anaknya.

Di akhir cerita, anaknya gagal menyelesaikan sekolah, atau ia lulus tapi kemudian menganggur. Atau ia bekerja di sektor-sektor informal, tanpa terlihat bekas bahwa ia pernah sekolah tinggi. Apa yang terjadi pada orang-orang itu? 

Mereka adalah orang-orang yang gagal melakukan hal yang paling dasar dalam proses pendidikan, yaitu belajar. Mereka gagal mendapatkan kompetensi yang paling dasar, yang harus diperoleh oleh orang yang telah menempuh pendidikan, yaitu kemampuan belajar.

Ya, ada begitu banyak orang yang sekolah tapi tidak belajar. Mereka hanya menghafal sejumlah dalil dari buku-buku pelajaran, tanpa memahaminya. Hafalan itu hanya menjadi serpihan mozaik yang tak terhubung satu sama lain. Lebih penting lagi, serpihan-serpihan itu tidak memberi petunjuk tentang bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan di ruang kehidupan. 

Orang-orang ini tidak akan pernah mampu bekerja. Bekerja adalah menyelesaikan persoalan. Baik itu persoalan diri sendiri, maupun persoalan orang lain yang membayar kita. Dari sekolahnya, mereka tak belajar untuk menjadi penyelesai masalah (problem solver).

Sekolah seharusnya membentuk pola pikir, sebelum memenuhi benak pelajar-pelajarnya dengan pengetahuan. Pola pikir itu membangun struktur pemahaman, dan dengan struktur itu akan semakin mudah bagi pelajar untuk belajar lebih lanjut. Ibaratnya, seperti menyiapkan rak-rak dalam "lemari pikiran," tempat di mana pengetahuan dan informasi kelak akan diletakkan.

Pola pikir itu juga akan menentukan bagaimana informasi dan pengetahuan diolah untuk suatu keperluan. Sekolah juga seharusnya membangun kebiasaan-kebiasaan positif, baik kebiasaan mental maupun fisik. Setidaknya sekolah itu membuat keterampilan dalam diri dapat diasah.