Akhir-akhir ini media lokal dan nasional ramai menyoroti pernyataan Gubernur Nusa Tenggara Timur yang mengatakan bahwa; “Karena orang cerdas saja yang masuk surga. Tidak ada orang bodoh dan miskin yang masuk surga.” Pernyataan ini menjadi viral dan ramai diperbicangkan netizen.
Ada yang menganggap pernyataan ini tidak layak diucapkan oleh Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) mengingat secara sosial menyinggung orang miskin dan dari sudut pandang agama pernyataan ini justru bertolak belakang dari ajaran agama yang ada.
Bagi saya adalah sebuah kewajaran ketika masyarakat ramai-ramai bereaksi terhadap pernyataan ini. Semua orang punya hak untuk mengekspresikan ketidakpuasan ataupun protesnya.
Saya punya tanggapan tersendiri terhadap pernyataan Gubernur ini. Kebetulan bahwa saya juga sudah pernah mendengar ceramah Bapak Gubernur secara langsung ketika beliau datang mengunjungi salah satu Sekolah Tinggi Filsafat Katolik di Flores, yaitu Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero-Maumere. Beliau dalam ceramahnya, mengungkapkan pernyataan yang kurang lebih sama.
Awalnya saya merasa risih mendengar kalimat ini. Alasan utamanya adalah, karena pernyataan beliau bertentangan dengan apa yang diajarkan dalam Kitab Suci. Dalam Kitab Suci diajarkan sebaliknya, Orang Kaya sulit masuk surga, tapi orang miskin justru lebih mudah.
Akan tetapi saya toh tidak ingin cepat-cepat menghakimi pernyataan beliau sebagai sesat. Saya dalam refleksi lebih lanjut mencoba untuk memahami konteks antara apa yang diungkapakan beliau dan apa yang ada dalam Kitab Suci saya. Saya tidak akan membahas konteks pernyataan beliau dari sudut pandang Kitab Suci. Di sini saya hanya akan membahas pernyataan VBL dari konteks sosiologis NTT.
Prihatin dan Stereotipe
Konteks pernyataan beliau adalah Nusa Tenggara Timur. Beliau sebagai Gubernur yang baru beberapa bulan menjabat prihatin dengan kondisi NTT yang miskin. Gubernur-berganti Gubernur, tetapi kondisi NTT tidak berubah. Masyarakat masih miskin bahkan terus dan bertambah miskin.
Memang tak bisa dipungkiri bahwa salah satu faktor yang menciptakan kemiskinan adalah kelemahan struktural yakni pemerintah yang korup. Akan tetapi ada faktor lain yang membuat masyarakat NTT tetap miskin, di antaranya stereotipe yang diproduksi atau diberikan kepada NTT sebagai daerah miskin. Seolah –olah NTT tidak bisa maju dan identik dengan kemiskinan.
Stereotipe ini terus berkembang dalam pengetahuan masyarakat sehingga memunculkan kepasrahan dalam diri masyarakat bahkan perasaan menerima diri atau fatalistis. “Sering ada pernyataan dari masyarakat yang menunjukkan pemikiran fatalistis “ Kami hidup begini sudah, mau bagaimana lagi. Setelah pilih Pejabat pun (pemilu) hidup kami tidak berubah.” Pernyataan seperti ini mengambarkan fatalisme, betapa masyarakat NTT kebanyakan menyerah pada nasib.
Imajinasi tentang Surga
Saya ingat bahwa sebelum menyampaikan kalimat kontroversial ini, VBL menyingung tentang visi dan imajinasi. Visi bagi beliau adalah kompas yang mengarahkan berhasil atau tidaknya pembangunan dan diprogramkan. Selain itu visi adalah alat bantu yang dipakai sehingga pembangunan berjalan sesuai dengan apa yang dicanangkan, fokus dan punya hasil yang kemudian bisa dinilai. Karena itu, bagi beliau, visi penting bagi pembangunan sebuah daerah.
Selain membahas tentang pentingnya visi. VBL juga berbicara tentang imajinasi. Imajinasi secara teoritis adalah kekuatan atau proses menghasilkan citra mental dan ide. Ia adalah kecerdasan konstruktif yang mampu mewujudkan kumpulan berbagai pengetahuan atau gagasan menjadi satu hal baru, murni dan rasional. Ia adalah proses memecahkan masalah sosial tertentu oleh penggunaan simulasi jiwa. Imajinasi merupakan kekuatan kreatif pikiran yang dapat membantu manusia untuk melampaui hal-hal yang realistis, hal-hal yang selama ini diterima dengan apa adanya tanpa sikap kritis.
Imajinasi yang dikonsep VBL penting dalam pembangun NTT. Ia penting karena imajinasi memungkinkan berkembangnya hal-hal kreatif dalam pikiran. Imajinasi membantu memperkaya serentak mendorong agar visi sungguh berjalan sesuai dengan pembangunnan yang dikonsepkan. Karena itu ia mengucapkan pernyataan itu dalam rangka mengaktifkan imajinasi masyarakat NTT “Hanya orang cerdas yang masuk surga. Tidak ada tempat bagi yang miskin dan bodoh di surga”
Surga adalah produk imajinasi. Dia bukan merupakan tempat yang riil. Tidak ada dari kita yang dapat membuktikan bahwa surga itu adalah sebuah tempat yang nyata. Akan tetapi konsep yang cukup jelas dan banyak berkembang menjadi keyakinan kita tentang surga berasal dari agama. Surga dalam agama dipercaya sebagai tempat akhir bagi manusia yang hidup bertakwa kepada Allah di dunia.
Saya menilai bahwa surga yang diimajinasikan oleh VBL adalah bukan surga yang menjadi konsep Agama. Surga yang dimajinasikan adalah sebuah kondisi hidup, sebuah ideal kehidupan. Surga sebagai kondisi hidup yang seperti kesejahteraan, kebahagiaan, kemakmuran dan kemajuan manusia. Kondisi surga seperti inilah yang diimajinasikan oleh Gubernur Viktor ketika beliau mengungkapkan kalimat ini. NTT seyogyanya mampu sampai pada surga seperti yang Gubernur imajinasikan.
Melalui pernyataan ini “orang cerdas saja yang masuk surga dan tidak ada orang bodoh dan miskin masuk surga” VBL hendak ingin mengaktifkan imajinasi kita tentang surga. Dengan imajinasi tentang surga yang hanya bisa dimasuki orang cerdas, VBL ingin memotivasi NTT untuk keluar dari konstruksi yang dibahasakan sebagai stereotipe bahwa NTT adalah daerah miskin. Imajinasi tentang surga, hendaknya mendorong atau menjadi motivasi moral bagi masyarakat NTT untuk bergegas serentak berbenah untuk keluar dari stereotipe miskin dan bodoh dan mencoba berpikir maju dan besar.
Memang, bahwa imajinasi sering diposisikan dalam arti peyoratifnya. Imajinasi dalam hal ini biasannya disamakan dengan ilusi, khayalan, dan fantasi—karena imajinasi mempunyai kecenderungan “menggelayut” dan tidak memberikan arahan real dalam identifikasi pengetahuan. Orang sering mengajak kita untuk berpikir realistis ketika kita mempunyai gagasan yang muluk-muluk, seperti yang diprogramkan VBL.
Justru, berpikir realistis, menerima nasib adalah pola pikir yang coba didekonstruksikan oleh VBL. Pernyataan beliau tentang hanya orang cerdas yang masuk surga merupakan sarkasme/kritik moral terhadap kondisi masyarakat kita yang cendrung berpikir realistir, fatalisitis dan pada akhirnya menyerah pada nasib.
Kemiskinan bukanlah fakta terberi. Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang bisa diubah. Dan persis, pernyataan VBL merupakan ajakan agar masyarakat mulai merubah mindset mereka berhadapan dengan kemiskinan. Perubahan itu mesti dimulai dari pikiran dan konsep. Karena itu, dalam konteks mengubah mindset pernyatan surga itu bukan milik orang miskin dan bodoh bisa diterima.
Surga seperti yang diimajnasikan VBL, bukan milik mereka yang hanya menunggu sumbangan pemerintah tapi tanpa bekerja dan berjuang mengubah hidupnya. Surga bukan milik mereka menyerah pada nasib. Surga adalah milik mereka yang cerdas, mereka yang memanfaatkan akalnya untuk berpikir lalu bekerja dan berjuang mengatasi kemiskinannnya.
Yang bisa masuk surga adalah mereka yang mampu melihat peluang di tengah tantangan dan hambatan hidup. Mereka yang bisa mengimajinasikan surganya sperti surga yang diimajinasikan VBL dan menariknya menjadi hidup mereka.
Saya menaruh harapan banyak untuk kemajuan NTT di tangan VBL. Sebelumnya saya pesimis terhadap beliau dan menilainya kipranya secara negatif. Akan tetapi, setelah mendengarkan ceramah beliau berapa waktu lalu, mendengar betapa beliau banyak tahu, banyak mengerti serta banyak solusi terhadap masalah di NTT, saya kemudian berpikir bahwa ada optimisme yang sedang dibawa beliau kepada masyarakat NTT.
Saya berharap bawa optimise dan imajinasi surga yang beliau ungkapkan bisa menjadi optimisme dan imajinasi kita semua. Mari kita dukung beliau, kita dukung programnya dan kita mengkritisi bila kelak program yang dicanangkan tidak berjalan sebagaimana mestinya.