Banyak orang menderita dan kelangsungan hidup ekosistem pun rusak. Kita berada pada awal pemusnahan massal dan kalian (para pemimpin dunia) hanya bisa berbicara tentang uang dan dongeng tentang pertumbuhan ekonomi negara kalian.
Beraninya kalian, lebih dari 30 tahun ilmu pengetahuan ilmiah sudah berkembang dan berkata kalian bahwa kalian sudah berbuat cukup ketika saat ini masih dibutuhkan solusi politis untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya lebih lanjut terhadap dunia.
Kalian sesungguhnya belum dewasa untuk mengatakan situasi buruk sekarang seperti yang saya lakukan saat ini. Kalian telah menolak kami. Anak-anak muda sudah mulai memahami pengkhianatan kalian. Mata-mata generasi masa depan sedang memperhatikan kalian. Kalian telah mencuri mimpi kami, mimpi masa depan kami. (Greta Thunberg)
Kutipan di atas merupakan isi pidato Greta Thunberg, seorang gadis belia asal Swedia, ketika ia diundang PBB untuk menjadi salah satu pembicara dalam KTT perubahan iklim di New York. Dalam pidatonya, dia mengungkapkan fakta tentang situasi bumi yang sudah dan sedang berada dalam krisis.
Selain itu, dia mengkritik para pemimpin dunia yang gagal dalam usaha mereka untuk menanggulangi perubahan iklim dunia.
Kritik Greta terhadap para pemimpin dunia memang benar adanya. Krisis ekologi yang terjadi dan makian meluas dikarenakan oleh masih ada pemimpin dunia yang terkesan enggan atau cuek terhadap kondisi bumi yang sedang dalam kiris ini.
Masih banyak pemimpin dunia yang lebih mengedepankan nafsu untuk membangun negaranya dengan teknologi serta investasi yang begitu besar daripada memikirkan nasib keseimbangan ekosistem; dan dampaknya bukan hanya bagi lingkungan, tetapi juga bagi manusia seluruhnya, termasuk mereka sendiri.
Kritik dan kehadiran Greta ke panggung dunia bagi saya pribadi adalah sebuah panggilan untuk kita agar kita bisa kembali memikirkan nasib bumi di masa depan. Kita diharapkan tidak bertindak dan mengambil kebijakan yang hanya bersifat pragmatis, hanya berorientasi pada pembangunan masa kini.
Kritik Greta adalah undangan bagi kita untuk mengepankan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), sebuah pembangunan yang tidak selesai untuk saat ini, tetapi punya dampak dan berlanjut di masa-masa mendatang. Untuk apa kita membangun kemapanan di atas bumi yang kian hari kian rapuh dan menua ini?
Di tengah dunia yang mengglobal dalam segala aspek, termasuk berkembangnnya globalisasi ketidakpedulian, bumi kian hari kian menderita. Globalisasi ketidakpedulian membuat kita hanya fokus pada kepentingan dirinya, tanpa sedikit pun mengalihkan perhatian kita pada kelangsungan hidup bumi, tempat kita berpijak. Dan kehadiran Greta di panggung dunia menyadarkan kita akan bahaya dari globalisasi ketidakpdulian ini.
Dunia tidak berkembang ke arah yang lebih baik jika ia dipenuhi sesak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, orang-orang yang hanya bicara banyak, menebarkan wacana kosong. Dunia justru bergerak ke arah yang posisitif dan bertahan ketika wacana dilanjutkan dengan tindakan konkret demi perubahan.
Karena itu, desakan Greta untuk melihat situasi perubahan iklim saat ini sebagai situasi darurat merupakan keharusan yang harus ditanggapi secara cepat oleh kita semua.
Konteks Kita Indonesia
Saat ini, realitas yang tampak dalam kehidupan berbangsa menunjukkan dengan jelas bahwa kita dan pemerintah kita khususnya sedang dihinggapi sindrom globalisasi ketidakpedulian. Kebakaran lahan hutan di Kalimatan beberapa hari lalu merupakan bentuk bagaimana aparat pemerintah lokal pun nasional menunjukkan dengan jelas ketidakpedulian mereka terhadap persoalan perubahan iklim.
Asap-asap yang diakibatkan pembakaran lahan tidak hanya membahayakan lingkungan, tetapi juga turut membunuh kehidupan manusia secara global. Tercatat beberapa negara tetangga juga turut menerima akibat dari polusi asap yang tejadi akibat pembakaran lahan hutan di kalimatan.
Globalisasi ketidakpedulian juga masuk dalam ranah kehidupan bermasyarakat kita. Masyarakat kita sudah telanjur biasa untuk membuang sampah sembarangan.
Sudah sering kali pemerintah atau lembaga LSM lingkungan hidup menyosialisasikan tentang sampah dan perlunya untuk memperhatikan efek negatif dari tindakan membuang sampah di sembarangan tempat. Sampah itu tidak melulu harus dibuang, tapi bisa disimpan untuk dijadikan sumber pendapatan dan penguatan ekonomi masyarakat.
Salah satu contoh konkret bagaimana sampah dapat dimanfaatkan sebagai sumber penguatan ekonomi masyarakat ditunjukkan oleh Wali Kota Surabaya, yaitu Ibu Risma.
Beliau bahkan menggajak semua masyarakat untuk memanfaatkan sampah sebagai alat komoditas yang bisa dimanfaatkan dalam kehidupan. Ibu Risma mendorong perusahaan pelayanan transportasi mengubah konsep pembayaran yang biasanya dengan uang diganti dengan sampah.
Sampah-sampah yang didapat dari masyarakat lalu diolah oleh pemerintah bahkan diekspor ke negara-negara yang membutuhkan sampah. Yang paling penting di sini, bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam mendidik masyarakat dengan mengubah mindset mereka tentang sampah bukan lagi sebagai material yang harus dibuang tetapi bisa disimpan untuk keperluan hidup
Dari pengalaman ibu Risma, saya yakin bahwa pemerintah, di mana pun di negeri ini, bisa melakukan terobosan kreatif serta kebijakan yang sama. Hanya saja persoalannya, kita belum menempatkan persoalan krisis lingkungan hidup sebagai isu darurat yang membutuhkan solusi cepat dan tepat.
Dalam masyarakat kita, prinsip ini umum terjadi, yaitu kita sudah tahu bahwa ada masalah, tetapi kita tidak pernah ambil langkah untuk mengatasi masalah itu. Kita menunda-nunda.
Akibatnya, ketika baru ada bencana atau masalah lingkungan yang lain terjadi, kita mulai menyesal, menyalahkan masyarakat yang sebenarnya berhak menerima pelayanan terbaik dari pemerintahnya. Atau yang sering kali terjadi, kita menyederhanakan masalah sebagai persoalan kecil, seperti respons Wiranto terhadap kebakaran hutan yang terjadi di Riau berapa pekan lalu (Tirto, 18 September 2019).
Inspirasi Greta
Mengagumi keberanian dan tekad gadis ini dalam memperjuangkan lingkungan hidup. Usianya yang masih begiu beliau, kemampuan tuturnya yang meyakinkan dan kritis dan menyentuh hati para pendengar patut diapresiasi setinggi-tingginya.
Di usia 16 tahun, Greta sudah menjadi aktivis lingkungan hidup yang memberikan banyak pengaruh positif untuk membangun kesadaran global tentang perubahan iklim.
Ketika saya menonton video pidatonya di YouTube, bukan hanya perasaan kagum yang muncul, akan tetapi juga perasaan optimis bahwa kita masih punya pemuda yang berkualitas, pemuda yang peduli dengan isu-isu kemanusiaan.
Kehadiran Greta menjadi penanda serentak gugatan bagi kaum muda-mudi kita dewasa ini yang sering kali terjebak dalam gemerlap perkembangan dunia yang dijejajali globalisasi dan modernisasi yang kosong, tidak pasti, anomie, tanpa nilai.
Kehadiran Greta juga mengetuk nurani kita orang-orang dewasa yang sering terlelap dalam idealisme kosong. Kita orang dewasa sering kali berpikir bahwa kita mengetahui banyak hal, tetapi sebenarnya kita tidak mengetahui apa-apa.
Kita orang dewasa sering kali menjadi aktor di balik kerusakan lingkungan dengan membuang sampah sembarang dan gagal mengajarkan anak-anak kita untuk peduli terhadap persoalan lingkungan yang dari hari ke hari makin memprihatinkan.
Di usianya yang masih 16 tahun, Greta tampil dengan sikap kritis dan komitmen yang gigih untuk mendesak seluruh umat manusia melihat persoalan perubahan iklim sebagai situasi darurat yang membutuhkan respons kolektif dan secepatnya. Pilihannya untuk menjadi pejuang lingkungan hidup datang dari pengalaman konkret akan kepanikannya terhadap masa depan kehidupannya di bumi, mengingat gelombang panas dan kebakaran hebat di Swedia pada 2018.
Hampir setiap Jumat ia menyempatkan diri pergi ke gedung parlemen Swedia dengan sepeda bertuliskan "mogok sekolah untuk iklim". Kepanikannya memunculkan kepeduliaan dan tanggung jawab untuk melakukan sebuah perubahan.
Hemat saya, globalisasi ketidakpedulian terhadap lingkungan hanya bisa diatasi dengan keluar dari zona nyaman, seperti yang dilakukan oleh Greta. Panggilan situasi yang sungguh mendesak dan darurat juga seharusnya menjadi wake up call bagi kita untuk berbuat sesuatu agar pemanasan global tidak terus terjadi.
Kita bisa menunda bahkan mengurangi pemanasan global dengan tidak membuang sampah di sembarangan tempat, menanam pohon dan juga kegiatan-kegiatan ekologis lainnya yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk lebih peduli dengan nasib bumi.
Bumi, dalamnya alam dan manusia, sudah saatnya menjadi titik pijak guna mendorong budi pekerti luhur untuk bekal "hidup".
Alam dan kita adalah bagian dari identitas—dua hal itu juga membentuk identitas kita (Ann Pole, 2019). Kita manusia adalah sebagai bagian dari planet bumi (Freirre, 2010). Keberlanjutan hidup bumi sungguh bergantung pada manusia, begitu pun sebaliknya.
Pada akhirnya, suara Greta mewakili suara dari masa depan, suara dari jutaan anak muda di seluruh dunia, suara dari keluarga serta anak cucu kita yang terancam kehilangan masa depan, karena situasi dunia yang saat ini tidak menjanjikan kehidupan masa depan itu sendiri.
Greta mengajak kita untuk melihat ke depan, melampaui kepentingan-kepentingan kita yang parsial masa kini. Anak-anak cucu dan masa depan mereka juga merupakan tanggung jawab kita. Karena itu, penting untuk kita bertindak mengantisipasi keadaan krisis saat ini agar mereka dapat menikmati kehidupan dan hak-hak mereka.