Dalam arti tertentu, graffiti diartikan sebagai penggunaan warna, garis, bentuk, dan konfigurasi volumetrik untuk menulis kata, simbol, atau frasa tertentu di dinding. Selain itu, graffiti ditawarkan sebagai media alternatif untuk menyampaikan pesan yang ingin ditampilkan oleh para senimannya. Menurut Wikipedia, graffiti adalah coretan di dinding yang menggunakan komposisi warna, garis, bentuk, dan volume untuk menulis kata, simbol, atau frasa tertentu. Alat yang digunakan saat ini biasanya produk cat semprot kalengan.

Pernyataan di atas membuat saya berpendapat bahwasanya ada suatu keinginan untuk tampil di dalam benak seorang seniman graffiti itu sendiri. Di samping itu, graffiti juga memiliki  sistem kerjanya tersendiri, yang selalu identik dengan namanya perampasan secara ilegal atau tidak adanya perizinan terlebih dahulu terhadap pemilik tembok yang akan segera digarap oleh para seniman graffiti tersebut. Setelah pernyataan tersebut hadir dapat saya nyatakan bahwasanya graffiti merupakan hasil kerja dari eksis yang egois. 

Kenapa eksis?  dan kenapa pula egois? Di sini saya akan terlebih dahulu mendefenisikan kedua kata tersebut. Menurut defenisinya, eksis adalah keadaan dimana seseorang ingin dianggap keberadaannya, sedangkan egois adalah ketika seseorang lebih memprioritaskan dirinya sendiri, baik terhadap lingkungan maupun orang lain. Menurut saya kedua pengertian tersebut jika digabungkan dapat menimbulkan sifat bodo amat pada diri seorang seniman graffiti. 

Apakah bodo amat berdampak buruk terhadap diri pribadi mereka atau malah sebaliknya? Menurut saya sifat bodo amat tersebut memungkin akan menjadi pendongkrak keeksistensian seorang seniman graffiti di jalanan, sebab kebodoamatan ini, para seniman graffiti akan leluasa menggarap di berbagai spot tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.  

Tetapi, apakah menggambar secara ilegal itu baik? Apakah perlu bernegosiasi terlebih dahulu? Jika negosiasi dilakukan, boleh atau tidaknya akan menjadi respon yang  keluar dari mulut pemilik tembok tersebut.  

Namun, jika diperbolehkan, pastinya seniman graffiti sendiri akan lebih leluasa mengeksekusi tembok tersebut tanpa ada rasa ketakutan terhadap  pemilik tembok, masyarakat, dan pihak-pihak yang berwajib.  

Permasalahannya tak berhenti sampai di situ, saat pemilik tembok memperbolehkan, kemungkinan besar pemilik tembok akan memberikan tuntutan-tuntutan terhadap para seniman graffiti. Saat tuntutan itu diterima oleh mereka, maka egois yang menjadi landasan mereka akan meluntur. Namun, apakah keeksistensian itu akan selalu ada?

Sebelum itu,  graffiti merupakan subculture dari culture hip-hop, yang mana dalam hip-hop sendiri memiliki berbagai elemen, termasuk musik RAP. Di RAP sendiri ada yang  namanya dissing, para rapper akan saling mencela satu dengan yang lainnya dengan menggunakan musik dan rima yang berisikan segala macam cacian atau apapun itu. 

Graffiti juga demikian,  pastinya tidak akan terlepas dengan namanya dissing. Bentuk dissing pada graffiti yaitu saling tiban-menibang gambar, Ketika culture tiban-meniban masih terus dilakukan, keeksistensian seniman graffiti di jalanan bisa dikatakan hanyalah sesaat.    

Di bidang berkesenian lain pun juga demikian, pernyataan eksis yang egois harus ada dan perlu ada, sebab, jika dirimu tidak eksis,  akan dipastikan dirimu tidak akan percaya diri terhadap karyamu. 

Kamu haruslah menjadi sesosok yang egois, sebab, dengan keegoisanmu itu,  tidak akan ada seseorang pun yang dapat mengganggu gagasan-gagasan tertuangkan pada karyamu.

Namun segala bentuk keegoisan itu dapat luntur dan harus dilunturkan pada waktu-waktu tertentu, salah satu contohnya pada saat mereka dihadapkan dengan sebuah brand yang akan mengajaknya untuk berkolaborasi. Namun brand tersebut  tidak menginginkannya membuat karya seperti yang biasa ia buat. Apakah si seniman akan menolak? Sebegitu idealisnya jika mereka menolak.

Di sebuah kota terdapat sebuah ruang publik untuk mewadahi  para seniman graffiti dan siapa saja untuk berkarya, namun pemberian nama tempat tersebut seakan-akan apa yang dilakukan oleh para seniman graffiti hanyalah sekedar coret-coretan belaka. 

Kenapa bisa terpikir untuk membuat nama demikian? menurut saya pribadi, dengan pemberian nama seperti demikian, tidak akan membuat perspektif orang-orang membaik terhadap graffiti, tetapi  malah sebaliknya, akan semakin mempertegas apa yang dilakukan oleh para seniman graffiti tersebut hanyalah sekedar kegiatan corat-coret belaka. 

Apakah dengan adanya ruang publik seperti itu dapat  mengurangi kegiatan-kegiatan yang katanya “merusak” di jalanan? Menurut saya tidak. Sebaiknya mereka berpikir untuk bagaimana seniman graffiti dapat menggambar dengan leluasa di berbagai sudut kota manapun dan merubah pola pandang masyarakat terkait kegiatan berkesenian ini.

untuk menutup tulisan ini,  saya meyakini bahwasanya ketika di sebuah kota masih berseliwengan karya-karya graffiti di tembok-temboknya, kota tersebut masih terdapat suatu permasalah-permasalahan yang menindihnya. Sekali lagi, eksis yang egois harus tetap bergejolak di benak  para seniman apapun itu konsentrasinya.  Sehat selalu buat para seniman graffiti di luar sana, tetaplah menumbuhkan keberadaan, tetaplah liar dan bebas. Tiban seluruh permasalahan di kota tempatmu bertumbuh dengan tulisan-tulisan bergayamu!