Bill Liddle, dosen saya di Columbus, Ohio, menyebut Goenawan Mohamad (GM) dengan istilah unik, Shakespeare-nya Indonesia. Shakespeare, lahir pada pertengahan abad ke-16, berperan monumental dalam perkembangan bahasa Inggris. Lewat banyak karyanya, bahasa yang kini mendunia itu menjadi lebih matang, mampu mengantarkan perasaan dan pikiran manusia dengan presisi makna yang tinggi, sekaligus indah dan enak didengar. Bagi Pak Bill – panggilan akrab Prof. Liddle – peran itu pula yang diemban oleh GM buat bahasa Indonesia.
Saya tahu Pak Bill kadang bergurau, namun dalam hal ini dia tidak terlalu berlebihan. Menurut saya, sejak Amir Hamzah dan Chairil Anwar, peran GM dalam perkembangan bahasa kita tidak bisa diabaikan. Saya bukan ahli bahasa, tapi di mata saya – bersama tokoh lain seperti WS. Rendra dan Umar Kayam – GM telah memberi sumbangan yang sangat berarti.
Dalam pengalaman saya sendiri, setiap kali saya mencoba menulis tentang suatu hal, sadar atau tidak referensi yang ada dalam benak saya adalah rumusan kalimat-kalimat GM dalam Catatan Pinggir (Caping). Sejak mahasiswa, referensi ini menjadi semacam patokan, sebuah ideal yang mungkin sulit didekati tetapi sangat bermanfaat sebagai arah pencapaian yang jelas. Saya tahu teman-teman saya segenerasi yang aktif menulis, seperti Dede Basri, mantan menteri keuangan, juga sama. Bagi kami, GM adalah empu bahasa Indonesia yang pergerakannya sudah menyerupai angin, tidak kelihatan tapi terasa.
Kurang lebih, itulah salah satu peran GM. Saya tulis “salah satu” sebab dia menjadi sosok yang inspiring dalam banyak hal. Dalam soal produktifitas dan disiplin menulis, misalnya. Saya tidak habis pikir, bagaimana dia selama lebih empat dekade hampir tanpa putus menulis Caping. Setiap minggu, lebih empat dekade berturut-turut. Sekarang kumpulan Caping ini sudah terbit dalam empatbelas jilid. Kalau pohon, GM tidak pernah berhenti berbuah. Mungkin hanya satu kata dalam bahasa Inggris yang tepat untuk menggambarkan hal ini: prolific.
Setiap jilid dalam kumpulan Caping ini berisi kurang lebih 600 halaman, atau sekitar 240 ribu kata. Jadi dalam kumpulan Caping saja GM sudah menulis hampir 3,5 juta kata. Kalau ditambah dengan bukunya yang lain (seperti Seks, Sastra, Kita) mungkin jumlah keseluruhannya mencapai 4 juta kata. Dalam sejarah Indonesia, tidak ada penulis lain yang pernah menghasilkan karya sebanyak ini.
Kebetulan belakangan ini saya membaca karya-karya Winston Churchill. Dia mantan perdana menteri dan pahlawan demokrasi dari Inggris. Peraih Penghargaan Nobel untuk bidang kesusasteraan, dia menulis bukan hanya tentang perang, politik, dan sejarah, tapi juga tentang Charlie Chaplin, seni melukis, serta kupu-kupu. Dalam hidupnya yang panjang, dia menghasilkan 6 juta kata dalam 37 jilid buku. Menurut Prof. Paul Johnson, sejarawan serius penulis salah satu biografi Churchill, jumlah ini kurang lebih sama dengan jumlah kata yang dihasilkan oleh Shakespeare dan Charles Dickens digabung menjadi satu.
Jadi dari sudut ini kita bisa melihat pencapaian GM dalam sebuah skala perbandingan. Churchill tumbuh di tengah suatu masyarakat dengan sejarah intelektual dan kesusasteraan yang kental. Dunia tulis-menulis adalah bagian dari tradisi panjang mereka. Dengan 6 juta kata, Churchil sudah dianggap terdepan, salah satu penulis mereka yang paling produktif.
GM sangat berbeda: dia tumbuh dalam masyarakat yang masih didominasi tradisi lisan. Tradisi menulis dalam masyarakat kita masih sangat tipis. Tapi dalam kondisi seperti ini pun dia bisa menghasilkan 4 juta kata. Saya tidak tahu kapan pencapaian seperti ini bisa didekati oleh penulis lain di negeri kita.
Dan lebih penting lagi dari soal “kuantitatif” seperti itu: isi dan pesan dalam berbagai tulisannya juga selalu tajam dan menarik. Hampir dalam semua karyanya, GM menyajikan ide, mengajak pembacanya untuk berpikir atau merenung. Konsistensinya bukan hanya dalam berkarya, tetapi berkarya dengan kedalaman yang mengagumkan.
Dalam hal ini pun, sejauh perbandingan memang memungkinkan, GM dan Churchill bisa disandingkan. Perbedaannya tentu terletak pada format kreatif dan cara pandang terhadap peran masing-masing. Churchill melihat dirinya sebagai pelaku sejarah, dan karena itu tulisannya yang terbaik adalah tentang pusaran besar yang mengentak, khususnya ketika dia menjadi peserta atau pelaku utama yang berada di tengah pusaran tersebut (Perang Dunia Pertama dan Kedua). Format kreatif yang dipilihnya adalah format panjang, bahkan terkadang sangat panjang, sambung menyambung dalam empat hingga tujuh jilid.
GM berbeda: dia mengambil posisi sebagai a witness of history. Format kreatif yang dipilihnya memang sangat terbatas (Caping). Namun tulisannya yang terbaik adalah ketika dia melihat, merasakan, memberi kesaksian, bukan hanya terhadap hal-hal besar, tetapi juga terhadap berbagai kejadian keseharian yang menyiratkan makna yang luas. Kalau toh dia menulis tentang sejarah, elemen GM yang bersinar adalah manakala dia bertanya atau memberi kesaksian seperti ini: “Sejarah dirundung macam-macam obsesi – apalagi jika ada surga di bumi dan di langit yang dijanjikan. Terkadang berhasil tak jarang dengan mayat yang bergelimpangan.” (Turki, Caping, 20 Agustus 2020).
Walau berbeda bagai bumi dan langit, in the final analysis, saya melihat persamaan GM dan Churchill yang fundamental. Keduanya pembela gigih prinsip-prinsip kebebasan, peka pada nilai kemanusiaan, serta menganggap pemerintahan demokratis memang tidak sempurna tetapi, karena sifat hakiki manusia, tetap jauh lebih baik dari alternatif lain yang ada. Dan keduanya dengan cara masing-masing mampu memikat pembaca mereka saat menyampaikan pesan-pesan dasar semacam itu.
Dalam hal ini, kurang lebih saya setuju dengan Thomas E. Ricks, pemenang Hadiah Pulitzer yang menulis sebuah buku penting beberapa tahun silam, Churchill and Orwell – The Fight for Freedom (2017). Di dalamnya ada penjelasan menarik: “Jalan mereka tak pernah bertemu, namun mereka saling mengagumi di kejauhan, dan ketika Orwell mulai menulis novelnya, 1984, dia memberi nama pahlawan pemerannya ‘Winston.’ Di lain pihak, Churchill didengar sering berkata kepada orang sekitarnya bahwa dia begitu suka novel tersebut sampai dia membacanya dua kali… Walaupun sangat berbeda, mereka disatukan oleh perjuangan yang sama, sebuah komitmen pada kebebasan manusia.”
Orwell dan Churchill, atau GM dan Churchill, tokoh-tokoh yang berbeda di zaman yang berlainan, dengan kelebihan masing-masing. Karena beberapa prinsip fundamental yang sama, mengalir dari nilai-nilai yang bersinggungan, bersifat universal, maka terkadang perbedaan di antara mereka sebenarnya lebih banyak di permukaan, pada metode ekspresi dan kewajiban peranan masing-masing, bukan pada esensi dan kedalaman mereka.
Jadi singkatnya, kembali ke GM: dia bukan saja produktif, setia pada pilihannya, tetapi juga kreatif dan berisi. Tema yang dia dipilih sangat beragam, dari tokoh pewayangan, ilmu dan epistemologi, cerita di balik sebuah puisi, hingga nasib seorang anak yang terkapar – dalam soal ini, dibanding Churchill, tema penulisan GM jauh lebih kaya.
Terus terang, saya tidak tahu dari mana GM memperoleh semua kemampuan itu. Otaknya pasti encer, memorinya kuat, dan perasaannya peka menangkap gelombang kehidupan, baik yang terjadi pada dirinya sendiri maupun pada manusia lain yang ditemuinya. Tapi saya duga kemampuan ini tidak datang begitu saja.
Sejak kecil dia pasti rajin membaca buku, dan sejak remaja dia sudah aktif mengamati berbagai hal. Dia membaca buku dengan minat yang luas, dari perkembangan sastra hingga perubahan sosial. Dia menyerap semua bacaan ini, bertanya dan berdialog dengan dirinya sendiri, kadang dengan kesimpulan yang pasti, tetapi mungkin juga dengan pertanyaan yang justru semakin terbuka. Sampai sekarang proses ini masih berjalan, dan mungkin karena itu GM masih terus menulis.
Harapan kita tentu saja: proses ini tidak pernah berhenti. Churchill banyak mengisi hari- harinya dengan melukis panorama alam yang indah atau obyek lain yang dianggapnya menarik. GM juga sudah mulai aktif melukis dalam beberapa tahun terakhir. Namun, tanpa mengurangi arti lukisan bagi pelukisnya, saya kira semua pembaca Caping berharap agar GM tidak pernah berhenti menulis.
Kalau mengadopsi sebuah ungkapan yang kerap diserukan Bung Karno dulu, kepada GM kita mungkin bisa berkata, for an inspiring writer, there is no journey’s end.
***
Buat saya pribadi, saya merasa bersyukur bisa berkenalan dengan GM. Di Yogyakarta pada akhir dekade 1980, dalam sebuah acara diskusi bersama Arief Budiman, saya bertemu GM. Dia mendorong saya menulis di Tempo. Dia pemimpin redaksi, saya aktivis mahasiswa.
Kurang dari sebulan kemudian tulisan saya (resensi buku Peter Berger, The Capitalist Revolution) sudah dimuat. Itulah pertama kali saya menulis di Tempo dan pengalaman ini tidak pernah saya lupakan.
Pengalaman lain dengan GM lumayan banyak, tetapi barangkali lebih baik saya ceritakan pada kesempatan berbeda. Yang jelas, pengalaman ini pada umumnya meninggalkan kenangan menyenangkan, bagi saya dan bagi banyak orang lainnya. Selamat ulang tahun. All the best, mas Goen.