Gérétan adalah sebuah dolanan atau permainan tradisional yang cukup lazim bagi anak-anak yang tinggal di desa, terutama sebelum tahun 90an. Bentuk permainannya sangat sederhana, hanya menggunakan alat bantu berupa upih atau pelepah jambe. 

Seseorang anak akan naik di bagian pelepah yang lebar, sedangkan anak yang lain akan menyeret ujung pelepahnya. Cukup begitu saja, dilakukan secara bergantian.

Sebagai orang yang lahir di era 80an dan tumbuh di lingkungan pedesaan, saya merasa sangat beruntung karena pernah mengalami dan memainkan permainan tersebut. Masih lekat dalam ingatan bahwa dolanan ini akan lebih seru jika dimainkan di tengah guyuran hujan. Akan beruntung jika ada 2 atau lebih pelepah jambe, bisa dipakai untuk balapan.

 Lalu bagaimana jika dolanan tradisional tersebut dituangkan dalam bentuk tarian anak? Pasti menarik. Itulah yang dilakukan oleh Ki Suroso Topeng dan Kang Budi, yang menggubah tarian tersebut untuk dipraktikkan oleh adik-adik dari SDN Dinoyo 3 Malang, dan diusung dalam lomba FLS2N tahun 2017. 

Hasilnya adalah sebuah tarian sederhana namun penuh makna. Sebuah olah gerak yang ritmis sekaligus magis. Dan sungguh layak apabila tarian tersebut berhasil menyabet Juara I di tingkat provinsi Jawa Timur. Detail tarian tersebut dapat dilihat di tautan https://www.youtube.com/watch?v=6ic6IIcKaIE

Perkara makna dari gerak tarinya usah diragukan lagi. Wong penggubahnya saja Ki Suroso, seorang seniman tulen yang juga cucu Mbah Karimun sang maestro tari topeng Malang. Yang ingin saya ulik kali ini adalah tembang dolanan yang menjadi background sound tarian tersebut. Bagi saya tembang tersebut tak kalah menarik dari olah gerak tarinya. Berikut adalah baris-baris tembang dolanan geeretan:

Ayo ayo ayo dulinan
Kanca kanca dulinan gérétan

Arané gérétan, gérétan, gérétan
Têka slumpring jambé, iku dulinané
Ayo kanca, padha ndang dimulai

Sing ngarêp nggéréta, sing mburi nyurunga
Sing tengah mésêma, mésêma, mésêma
Arék sing dulinan, iki arék pinggiran
Mula kanca, ayo padha sing rukun

Srêngéngé wis ngulon, ayo padha mulih
Dulinan disimpên kanggo sesuk manéh

Siapa sangka jika dalam syair tembang yang sederhana tersebut tersimpan sanépan yang teramat dalam, tentu saja bagi mereka yang mau berfikir. Mari kita kupas larik demi larik.

Ayo ayo ayo dulinan, kanca kanca dulinan gérétan” Baris pembuka tersebut jika diartikan secara harfiah hanya akan menjadi ajakan kepada teman-teman untuk bermain geretan. Namun jika digali agak dalam, kalimat ini bisa berupa ajakan untuk bergerak mencapai suatu tujuan. Atau sebut saja cita-cita yang besar dari seorang anak. 

"Sing ngarêp nggéréta, sing mburi nyurunga, Sing tengah mésêma, mésêma, mésêma" bisa dimaknai sebagai ketiga unsur dalam diri manusia yaitu Cipta (sing ngarep – yang di depan), rasa (sing tengah – yang di tengah), dan karsa (sing mburi – yang di belakang). Usaha manusia untuk mencapai suatu tujuan harus melibatkan ketiga unsur tersebut. 

Cipta digunakan sebagai tenaga penarik, sedangkan karsa dipakai sebagai pendorong. Akan halnya rasa menjadi penyeimbang di tengah cipta dan karsa. Sebagai penyeimbang, rasa harus selalu mesem (tersenyum). Maknanya harus selalu dalam keadaan senang, ikhlas dan legawa dalam mengerjakan segala sesuatu untuk mencapai tujuan.

Dalam terminologi pendidikan ini mungkin senada dengan semboyan Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani yang disuarakan oleh R. Soewardi Soerjaningrat. Kita telah sama-sama mafhum bahwa semboyan Ki Hajar Dewantara tersebut telah menjadi kalimat suci bagi dunia pendidikan di Indonesia.

"Arék sing dulinan, iki arék pinggiran" mempunyai arti bahwa manusia yang bisa melakukan hal ini (menggapai cita-cita besar) adalah manusia yang berada di 'pinggiran', maknanya adalah orang yang jauh atau menjauh dari 'keramaian'. Hal ini juga bisa dimaknai sebagai orang yang jauh dari pamrih duniawi (nir ing hawa, sepi ing pamrih). Dilanjutkan dengan "Mula kanca ayo padha sing rukun" yang berarti itu semua bisa lebih mudah dicapai dengan kerukunan dan keharmonisan.

"Srêngéngé wis ngulon, ayo padha mulih, Dulinan disimpên kanggo sesuk manéh", artinya setiap upaya apapun tetap harus memperhatikan waktu. Ada kalanya kita harus berhenti mengejar sesuatu ketika srêngéngé wis ngulon atau sore hari.  “Dulinan disimpên kanggo sesuk manéh" Maknanya kita juga memerlukan waktu istirahat dalam mengejar cita-cita. Ketika situasi dan kondisi sedang tidak memungkinkan, kita perlu menyimpannya dulu untuk dilanjutkan esok hari. Bahwa setiap upaya niscaya membutuhkan jeda.

Segala pesan yang tertulis dalam baris-baris tembang tersebut baru sampai di level kulit. Dalam tataran yang lebih dalam, pesan agungnya justru dilingkupi oleh sebuah guru sastra yang tidak tersurat. Yups, tersirat melalui penggunaan alat bantu permainan berupa upih/slumpring jambe.

Upih adalah pelepah yang telah jatuh dari pohonnya. Artinya ia sudah purna, telah selesai dengan keterikatan terhadap pohonnya. Upih juga bisa dimaknai sebagai sesuatu yang sekilas telah terbuang menjadi sampah, namun dalam dolanan ini masih bisa memberi manfaat sebagai alat permainan.

Sedangkan jambe kita ketahui sebagai buah monokotil, buah berbiji tunggal yang tan kena sinigar, tak bisa terbelah secara alami. Sesuatu yang tunggal ini sebagai perlambang dari -apalagi kalau bukan- Gusti Pangeran, Dzat Yang Maha Tunggal, Yang Maha mengabulkan segala gegayuhan.