Hari Minggu adalah hari sakral bagi umat Katolik dan Kristen untuk menjalankan ibadah kepada Tuhan. Biasanya di hari Minggu umat Katolik dan Kristen meninggalkan semua pekerjaan mereka, dan sejak pagi atau siang mereka menyiapkan diri untuk beribadah di gereja.

Pada umumnya, ibadah di gereja dimulai dengan doa dan nyanyian, lalu disusul oleh khotbah yang disampaikan oleh pemimpin umat.

Hari ini, Minggu 13 Mei 2018, seperti biasa, umat Katolik dan Kristen bersiap untuk beribadah di gereja. Siapa nyana, peristiwa tak diinginkan terjadi. Tercatat tiga gereja mengalami aksi terorisme bom bunuh diri.

Korban luka dan meninggal tidaklah sedikit. Belum lagi trauma mental yang dialami oleh jemaat gereja yang ada di situ. Hari Minggu yang syahdu berubah menjadi hari yang penuh ketakutan, penuh teror, penuh darah, penuh airmata bagi keluarga korban.

Mengapa teroris memilih untuk melancarkan aksinya tepat di hari ketika umat beribadah? Tentu mereka memilih waktu yang terbaik di mana banyak orang berkumpul, sehingga aksinya itu dilihat oleh khalayak ramai. Tapi, mungkin juga ada motivasi merusak kesyahduan dan kekudusan hari beribadah itu, merusak liturgi yang menjadi puncak keseharian umat Katolik dan Kristen.

Setelah terdeteksi tiga pemboman gereja di Surabaya, pihak berwajib menginstruksikan bagi semua gereja di Surabaya untuk tidak melanjutkan ibadahnya. Alhasil, saya mengamati banyak gereja membuat pengumuman di media sosial atas pembatalan hari ibadah demi keselamatan umat.

Berarti hari ini, Minggu 13 Mei 2018, tidak ada ibadah di gereja. Lalu berarti, berhasilkah teroris merusak hari ibadah umat Katolik dan Kristen? Rusakkah kesyahduan dan kekudusan hari ibadah?

Saya akan membahas hal ini dari sisi teologi Kristen mengenai gereja. Gereja atau ekklesia dalam bahasa Yunani, sejak awal tidak merujuk pada gedung gereja, melainkan pada umat itu sendiri. Ekklesia berarti "kumpulan orang yang dikeluarkan dari kegelapan (dosa) menuju terang-Nya yang abadi." Jadi gereja bukan bicara soal gedung, melainkan orangnya.

Kejadian bom hari ini bisa jadi memporak-porandakan gedung gereja, dan membatalkan ibadah formal di gereja-gereja. Namun, kejadian itu tidak merusak dan meniadakan gereja, umat yang kudus itu. Mereka tetap akan beribadah, di rumah masing-masing, di sebuah tempat lain, atau bersembunyi di bawah tanah seperti di zaman-zaman penganiayaan gereja.

Gereja tidak akan musnah, gereja tidak akan hancur. Ibadah akan selalu berlangsung tanpa harus adanya gedung gereja, yang bisa ditutup atau dihancurkan kapan saja.

Sejarah gereja di masa lampau menunjukkan bahwa berbagai penganiayan tidak membuat gereja semakin takut dan mundur dari iman. Justru dari darah kaum martir yang dibunuh tanpa salah, bangkit iman Kristen yang menyebar sampai ke seluruh dunia.

Meski Kaisar Romawi melemparkan mereka ke singa-singa, dan membakar mereka hidup-hidup, iman mereka tidak lemah. Mereka tidak diberi tempat untuk beribadah, mereka ditangkap saat ketahuan memiliki Kitab Suci, tetapi iman mereka semakin kuat. Ibadah mereka tidak berkurang, ibadah mereka tidaklah rusak.

Jadi, untuk alasan apakah kita umat Katolik dan Kristen harus merasa tawar hati karena teror yang sekarang ini? Satu-satunya yang harus kita rasakan adalah duka mendalam akan meninggalnya korban yang tidak bersalah. Selebihnya, kita harus tetap teguh dalam iman, jangan takut.

Kejadian seperti ini mengingatkan kita agar jangan terlalu nyaman pada keadaan saat ini, diizinkan memiliki gedung gereja yang nyaman, memiliki kebebasan beribadah. Ada masanya di mana mungkin kita akan kembali ke masa penganiayaan seperti waktu dulu. Oleh sebab itu, selama masih ada kesempatan, mari jalankan ibadah dengan khusyuk di gedung gereja. Tapi, seandainya pun kita harus kehilangan gedung itu, ibadah kita tetap tidak boleh berhenti.

Lewat peristiwa ini juga, gereja harus siap berbenah diri dalam persatuan dan kesatuan. Jangan sibuk memperdebatkan doktrin siapa yang paling benar sendiri, sementara pihak luar menertawakan dan siap menerkam kita.

Tiga gereja yang diserang hari ini terdiri dari tiga denominasi yang berbeda: Katolik, Protestan, dan Pentakosta. Ketiganya aliran terbesar di Indonesia. Artinya, memang yang diincar oleh para teroris adalah semua umat Kristen, bukan satu denominasi secara khusus.

Jangan berpikir, "Ah, yang dibom, kan, bukan gereja saya?" Ingat, mereka mengincar kita semua. Kita harus bersatu untuk bangkit dan melawan terorisme, juga bangkit membantu saudara-saudara kita dari gereja bersangkutan untuk tetap teguh dalam iman.

Akhir kata, gereja sebagai persekutuan orang percaya harus tetap berpegang pada pesan Alkitab, yaitu Kasih. Meskipun kita mengutuki aksi terorisme yang berlangsung hari ini, kita harus tetap ingat bahwa Tuhan melarang kita membenci sesama manusia, sejahat apa pun mereka.

Kita tidak boleh membalas dengan perbuatan yang sama atas semua yang terjadi. Kita doakan mereka, sebagaimana Yesus di atas kayu salib berkata, "Ya Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan." Dengan demikian, kita menjadi berbeda dengan mereka, berbeda dengan dunia ini.