Saat pemahaman tentang “sejarah memiliki pola umum” telah ditinggalkan, peradaban dunia mengalami perubahan mendasar di ranah pemikiran. Postmodernisme mengawali lahirnya zaman baru tanpa subyek, hilangnya orientasi sejarah, krisis akan makna, dan filsafat tenggelam menuju jurang yang paling mendasar.

Kontrol atas narasi-narasi besar telah begitu dalam tergoyahkan, apakah memang demikian bahwa sebenarnya peradaban dalam sejarah tidak memiliki konsep kemajuan. Subyek sebagai pelaku intelektual dan satu-satunya tolak ukur bagi realitas yang bebas, sekarang ini sudah tidak lagi menjadi pegangan.

Diri merupakan entitas yang tidak lagi sepenunya sadar, zaman baru telah memutarbalikan ide universal bahwa bukan manusia yang menemukan makna, tapi maknalah yang menemukan manusia. Kata-kata menjadi lebih aktif dan bersifat trans daripada manusia dan kesadaran itu sendiri, sebagai subjek yang tak lagi tetap.

Di mana letak spiritualitas? Pada mulanya, awal kelahiran postmodernisme juga ditandai dengan kematian iman, orang-orang Barat telah banyak mengalami kehilangan arah atas kepercayaan. Mereka mencari pegangan-pegangan baru atas nama sains, pengetahuan pasti yang mereka anggap lebih layak diperjuangkan, demi kepastian dan kemanfaatan dalam hidup.

Betapapun rumitnya fenomena kegagalan atas kemunduran prestasi iman ini, kita tidak layak menyebut sebagai era kematian Tuhan. Kematian iman tidak muncul atas argumentasi rasional dan ilmiah menolak eksistensi Tuhan, tetapi bagi mereka Tuhan merupakan gagasan yang terlalu berlebihan dan tidak berguna.

Zaman ini sama sekali jauh dari wilayah transendensi, mereka cenderung mengalami situasi-situasi dalam kenyataan yang begitu saja langsung hadir secara nyata. Fakta ini tidak seluruhnya mengambarkan era peradaban Barat, narasi besar telah hilang dan saat munculnya kemunduran spiritual ini dimulai, justru saat kemajuan tampak nyata bagi sains. Orang-orang timur hampir tidak menyadari dampak kemajuan ini.

Bersamaan dengan itu, penolakan terhadap agama-agama formal yang menjadi dasar bagi keimanan mereka melahirkan gerakan spiritualitas baru. Mereka meyakini bahwa hanya ada satu Realitas yang eksis, wujud dari peniadaan agama formal ini mengarah pada terbentuknya agama universal yang bermuara pada kesatuan wujud.

Jalan spiritual agama hanya jembatan menuju satu Realitas, ini adalah keyakinan paling substansial bagi gerakan spiritualias baru (New Age). Ciri khas gerakan lintas agama ini terlihat dari penolakannya terhadap eksklusifisme dan dogmatisme secara semena-mena, mereka tidak percaya bahwa dua hal itu merupakan jalan keselamatan, atau barangkali mereka sudah tidak menghargai lagi arti keselamatan.

Ajaran tentang Tuhan adalah segalanya dan segalanya adalah Tuhan telah mengisi kepercayaan mereka dengan melalui penghayatan transpersonal menuju transendensi diri. Wilayah di mana materi hanyalah satu kecenderungan dalam mencapai satu dimensi agung di atas sana.

Kebenaran tidak lagi ditemukan dalam tradisi-tradisi teks suci, mereka mengagungkan kesucian diri, dan proses pencarian Tuhan dilalui dengan cara-cara kontemplasi individual. Pikiran dan hati, adalah mediasi paling utama dan terakhir dalam menemukan dunia transenden tanpa ada jarak dan tak dibatasi oleh doktrin-doktrin normatif yang kaku dan berbelit-belit.

Mereka membangkitkan ajaran-ajaran kuno tentang reingkarnasi, seperti juga ajaran-ajaran Gnostis, Pantheisme, Paganisme, Karma, Meditasi, dan keseluruhanya. Baginya, gerakan baru ini merupakan jawaban atas kekeringan spiritual yang begitu hampa. Sebuah dekadensi akan arti spiritualitas dan meta-empirik.

Gerakan spiritualitas baru ini percaya bahwa manusia harus tercerahkan, kenyatanannya manusia adalah makhluk suci secara intrinsik. Jiwa-jiwa yang tenang merupakan manifestasi wujud dari ruh ketuhanan. Kebahagiaan adalah saat dimana diri mengalami kemenyatuan dengan kodrat tertinggi, Tuhan yang transenden tidak lagi menjadi realitas wujud yang sama sekali terpisah dari pribadi-pribadi, ia tunggal dan tak terbagi.

Pemahaman keagamaan kita tidak selalu alamiah, gagasan tentang sesuatu dibalik agama tidak berasal dari spekulasi abstrak, tetapi ia sekaligus keyakinan yang selalu berkomitmen dalam melibatkan diri pada hal-hal yang menjadi keharusan. Akal pikiran kita tidak terlalu memadai dalam mengungkapkan realitas tak terbatas melalui sistem iman.

Gerakan spiritualitas baru sadar sepenuhnya akan kenyataan ini, tetapi pengingkarannya terhadap agama-agama dunia menuntut mereka bergerak lebih jauh melampui batas-batas moralitas menuju kepastian masa depan. Sebuah kepastian yang tidak memiliki tendensi apapun kecuali harapan dan rasa takut putus asa.

Jika keimanan dan keyakinan tidak lagi dimaknai sebagai suatu keterlibatan diri secara menyeluruh dalam ritual dan kedekatannya dengan simbol-simbol sakralis seperti halnya dalam terma-terma agama formal, maka gerakan spiritualitas ini merupakan agama baru bagi zaman postmodernisme yang segera akan kita tinggalkan.

Zaman di mana relativisme mulai dipertanyakan, sifat kesementaraan dan mana suka digugat atas relasi dinamis hidup yang juga tidak menemukan titik kepastian primordial tentang ukuran segala sesuatu, dinamika yang selalu berubah dan tidak tetap. Yang pasti, kita tak dapat meninggalkan sepenuhnya atas kepastian-kepastian subjektif yang diyakini. Pada tataran inilah kebenaran dalam konteks spiritual, masih dapat bertahan.