Kerumunan orang di Pasar Tungkluk, Tanjungsari, Gunungkidul, tak seperti biasanya. Langit masih cukup gelap. Baru saja subuh selesai. Orang-orang memenuhi pasar itu. Kebanyakan berusia di atas 40 tahun. Perempuan maupun laki-laki bersesakan tanpa sekat. Kalau hari Wage, pandangan begini sudah biasa.
Saat itu aku masih kecil. Berusia tak lebih dari sepuluh tahun, aku diajak nenekku ke pasar itu. Kata nenek, bila Wage tiba, ada yang unik di sana. Banyak aneka barang sampai kuliner dijual murah-meriah. Yang unik, lanjut dia, adalah sego gendong—nasi berisi oseng-oseng tempe atau tahu dengan dibungkus daun jati.
Baru tahu istilah “gendong” di situ merujuk pada gaya penjualan yang memang ditaruh belakang punggung. Tenggok atau bakul kecil diselendangi dan diikatkan ke tubuh. Kalau Anda pernah melihat anak kecil digendong di belakang, serta diikat dengan tali kain bermotif batik seperti banyak ditemukan di dusun-dusun, kira-kira begitulah pemandangannya.
Sego gendong adalah kuliner unik bagi sebagian orang, terutama masyarakat perkotaan. Nasinya ditanak dengan tungku api. Lauknya tempe dan tahu, terkadang ditambahi mi bihun yang kaya akan nabati. Dibungkus memakai daun jati membuat selera sego gendong ciamik di lidah.
Yang membuatku menarik adalah pembungkusnya. Tak seperti nasi bungkus lain yang acap kali memakai kertas atau plastik, sego gendong memakai dedaunan yang pohonnya jamak ditemui di Gunungkidul. Publik mengetahui kalau Gunungkidul ini merupakan salah satu kabupaten di Yogyakarta yang sebagian besar wilayahnya subur ditumbuhi pohon jati.
Tradisi kuliner berbahan baku daun jati ini secara etis merupakan upaya pereduksian terhadap bungkus plastik. Masyarakat Gunungkidul, khususnya wilayah Tanjungsari, telah melakukan demikian selama berpuluh-puluh tahun. Tanpa eksplisit mengampanyekan antiplastik, mereka secara praktis (laku) menyadari dampak buruknya terhadap lingkungan.
Tradisi Antiplastik
Jamak dari kita luput memotret fenomena antiplastik dari perspektif tradisi, terutama Jawa. Kampanye antiplastik yang sekarang viral di kalangan anak muda ternyata bukan hal baru. Belajar dari realitas budaya kuliner di Gunungkidul itu, plastik memang sengaja dihindari karena keberadaan daun jati menjadi pilihan pengganti.
Kata pengganti di situ agaknya kurang tepat. Sebelum kapitalisme industri menyodorkan plastik sebagai barang “serbaguna”, orang Gunungkidul terlebih dahulu mengenal daun jati. Eksistensi daun jati pada gilirannya dianggap mampu menggeser penggunaan plastik.
Walaupun kecenderungan demikian tak sekonyong-konyong dilakukan semua pihak, tetapi upaya mempertahankan daun jati sebagai pembungkus masih dipegang erat kalangan pemerhati tradisi.
Daun jati sebagai pembungkus makanan sesungguhnya mirip dengan penggunaan kertas yang bagi masyarakat tertentu juga digunakan serupa. Bahan baku kedua hal itu niscaya sama, yakni diambilkan dari pohon. Terlepas jenis pohon yang digunakan, daun jati dan kertas, pada konteks ini, setidaknya dipertahankan secara radikal untuk menamengi masyarakat dari ekspansi kapitalisme plastik.
Tak mudah mempertahankan tradisi penggunaan kertas di tengah masifnya pertokoan modern yang menyodorkan plastik tanpa peduli etika lingkungan. Kasus di Gunungkidul berbeda. Mereka melakukan resistensi terhadap bungkus plastik melalui upaya turun-temurun yang sengaja dijaga berdasarkan penanggalan Jawa.
Titik pengingat, sebagaimana telah disinggung di awal tentang “kesakralan pasaran Wage”, inilah yang menurut saya dapat menjadi contoh apik.
Dewasa ini, kampanye antiplastik digalakkan massal. Namun, pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana ia bertahan sebagai gerakan kontinu, sehingga sampai pada sebuah tradisi? Pertanyaan ini muncul dari kecemasan gerakan sosial antiplastik yang sekadar didemonstrasikan di menara gading—datang dari eksklusivisme pengampanye dan dinarasikan sebatas di dunia digital.
Kenyataan demikian adalah amatan saya terhadap kampanye antiplastik. Kita dapat belajar dari situ, khususnya mengambil inspirasi masyarakat Gunungkidul, dengan dimensi tradisi sebagai pijakan fundamental. Saya meyakini kalau kampanye antiplastik yang telah gencar kuat itu dapat bertahan sekian tahun mendatang, namun ia harus dibarengi pula dengan kesadaran kolektif untuk berlaku emansipatoris.
Poin emansipatoris di sini, menurut saya, bukan sebatas seberapa anti kita terhadap plastik, melainkan juga benda apa yang sebaiknya menggantikannya. Kita mafhum, kertas, daun, kantong kain, dan benda lain “yang bukan plastik” adalah barang pengganti plastik yang ramah lingkungan.
Gerakan sosial antiplastik kemudian mesti ditekankan dalam lingkup keluarga, teman, maupun pacar. Ketiga komponen itulah yang hendaknya disadarkan dalam rangka kampanye antiplastik.
Poin emansipatoris tersebut tak perlu meluas, tapi, menurut saya, justru menyempit pada skala lokal. Bukankah ia seperti anggapan umum tentang gerakan sosial yang dimulai dari lokalitas menuju globalitas?
Gerakan sosial antiplastik, dengan kata lain, harus dimulai selokal-lokalnya, tapi diproyeksikan seuniversal-universalnya. Artinya, tindakan emansipatoris berawal dari inisiatif individu yang diperkuat oleh kesadaran etika lingkungan, sementara jangkauan aksiologisnya mesti dialamatkan seluas-luasnya supaya diikuti jamak orang.
Bukankah contoh terbaik adalah laku? Dan inspirator laku ini dapat disematkan pada tradisi "sego gendong" di Gunungkidul.