I
Jika merunut kemerdekaan Indonesia yang diperingati pada setiap tanggal 17 Agustus sejak 76 tahun yang lalu, kelahirannya tidak terlepas dari sejarah panjang yang dimulai dari revolusi Perancis pada abad ke-17 dan lahirnya apa yang disebut sebagai gerakan Pencerahan atau Aufklarung.
Gerakan Pencerahan atau Aufklarung merupakan reaksi terhadap kekuasaan gereja di Eropa abad pertengahan yang tiran dan despotik, menolak hirarki manusia berdasarkan garis keturunan dan menyerukan untuk mengakhiri hak istimewa dan kebangsawanan warga negara. Mereka juga berpandangan bahwa kekuatan akal manusia mempunyai kemampuan memahami dan mengendalikan alam semesta dengan seluk beluk yang ada di dalamnya.
Diantara para pemikir gerakan Aufklarung ini adalah Jean Jacques Rousseau (1712-1778) yang menulis buku berjudul Du contrat Social (Kontrak Sosial, 1762). Dalam karyanya tersebut, Rousseau menyatakan, pada awalnya manusia adalah merdeka dan bahagia. Mereka semua bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak memerlukan pelbagai pengaturan dan undang-undang. Tetapi kekacauan mulai sering terjadi, seperti bencana alam, panen yang gagal, individu mulai konflik dengan tetangganya, kelompok masyarakat berperang dengan kelompok lainnya, sehingga terjadi suatu chaos dan liar (etat sauvage). Pada titik inilah dibutuhkan suatu pengaturan atau undang-undang yang memberi hak-hak kepada masyarakat untuk memperoleh ketenangan dan keamanan dalam hidup mereka.
Dalam pembentukan undang-undang ini dilakukan kontrak sosial dengan pihak lain. Prinsip kontrak tersebut adalah semua harus dalam keadaan bebas, tidak mengalami perbudakan dan tekanan serta mempunyai hak serta kewajiban yang setara diantara para pihak yang melakukan kontrak tersebut. Ia merupakan kedaulatan langsung rakyat dan aspirasi kehendak umum (volunte generale). Kehendak umum ini harus memuat prinsip-prinsip liberte (Kemerdekaan), egalite (kesetaraan) dan fraternite (persaudaraan).
Pemikir Pencerahan lainnya adalah Charles-Louis de Secondat Montesquieu (1689 -1755). Ia merupakan filsuf yang meletakkan nilai-nilai hak-hak dasar manusia dan kemerdekaan yang menyertainya. Ia juga yang meletakkan teori pembagian kekuasaan dalam pengelolaan negara berupa ajaran Trias Politica, yakni pembagian kekuasaan exekutive, legislative dan judicative beserta hak-hak dan kewajiban masing-masing lembaga tersebut. Nilai-nilai ini menjadi semangat lahirnya revolusi Perancis pada 1789-1799
Montesquieu menggambarkan dunia Barat pada sekitar 1720 merupakan dunia yang memberangus kemerdekaan, mengerdilkan akal sehat, tak ada perikemanusiaan dan segala hal yang ia sebut berubahnya sifat alami. Ia menulis dalam karyanya berjudul Lettres Persanes (Surat-Surat dari Persia, 1792) mengenai sifat alami tersebut sebagai berikut : "Kita sama sekali tidak merasakan kekerdilan kita, dan meskipun kita merasakannya, kita ingin tetap diperhitungkan dalam alam semesta ini, ingin mempunyai peranan di dalamnya dan menjadi subjek yang penting". Pada masanya, kemerdekaan individu dan negara ditentang oleh para penguasa, baik penguasa sipil maupun penguasa agama.
Secara umum, para pemikir Pencerahan ini merupakan pendukung toleransi beragama, pendukung kebebasan berfikir dan percaya pada kemampuan terbaik individu manusia untuk memajukan dirinya dan memperbarui masyarakatnya. Para pemikir Pencerahan pun merupakan pendukung gerakan nasionalisme, karena mereka percaya bahwa kemerdekaan rakyat dari pemerintahan asing merupakan perluasan dari perjuangan kemerdekaan bagi individu masing-masing.
II
Renaissance di Eropa dan Kontribusinya bagi Kemerdekaan Indonesia
Nilai-nilai Renaissance Eropa tersebut baik langsung maupun tak langsung berkontribusi pada lahirnya semangat kemerdekaan Indonesia. Kontribusi tersebut dapat dilacak dari berawalnya kebijakan politik Etis Hindia Belanda mengenai pendidikan.
Pada 1899, C. Th. van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah tinggal di Indonesia selama tahun 1880-97 menerbitkan sebuah artikel berjudul "Een eereschuld (Suatu hutang kehormatan)" di dalam jurnal Belanda de Gids. Ia menyatakan bahwa pemerintah negara Belanda sangat berhutang kepada Indonesia karena kekayaan yang dikeruk dan diperasnya. Hutang ini harus dibayar dengan cara memberikan prioritas utama kepada rakyat Indonesia dalam kebijakan kolonial. Pada 1901, pemerintah kolonial pun mengadakan penyelidikan tentang kesejahteraan di Jawa dan setelah itu kebijakan politik Etis diberlakukan. Penerapan kebijakan politik Etis ini meliputi pendidikan, pengairan dan perpindahan penduduk.
Dalam bidang pendidikan, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan tentang dibukanya sistem sekolah untuk golongan elit dan dan untuk rakyat biasa. Untuk golongan elit sistem pendidikan yang berlaku adalah sistem pendidikan Eropa dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Ia juga disebut sebagai "Sekolah Belanda untuk golongan pribumi" atau Hollandsch-Inlandsche School (HIS) yang menyiapkan para siswanya untuk menjadi pamong atau pegawai pemerintah kolonial.
Diantara para lulusan sekolah Belanda-pribumi tersebut lahir para priyayi 'baru' yang memandang pendidikan sebagai kunci menuju kemajuan. Mereka kelak mendirikan organisasi moderen yang pertama di Indonesia, yakni Boedi Oetomo (Budi Utama) yang berdiri pada 1908. Peran organisasi ini salah satunya adalah pernah mendesak pemerintah kolonial untuk menyediakan lebih banyak pendidikan barat, meski desakan itu tak sepenuhnya dipenuhi
(M.C. Ricklefs: 2005: 346).
Salah satu pendiri Budi Utomo adalah Dr. Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917), seorang yang berpendidikan barat dan berusaha memperbaiki masyarakat Jawa melalui pendidikan Belanda. Ia juga bekerja sebagai dokter pemerintah kolonial di Yogyakarta sampai tahun 1899 dan pada 1901, ia menjadi redaktur majalah Ratnadhoemilah, "Ratna yang berkilauan" yang dicetak dalam bahasa Jawa dan Melayu untuk kalangan pembaca priyayi. Ia pun menghimpun beasiswa guna memberikan pendidikan Barat pada golongan priyayi .
Pendiri Budi Utomo lainnya adalah Tjipto Mangunkusumo (1885-1943), seorang dokter yang menyebarkan organisasi ini tak hanya di Jawa, melainkan ke beberapa daerah di Indonesia. Selain itu, Dr. Radjiman Wediodiningrat (1879-1951), juga seorang dokter Jawa yang cara pandang hidupnya banyak dipengaruhi oleh filsafat Barat (M.C. Ricklefs: 2005: 345).
Dalam kaitan dengan gerakan Renaissance ini, Muhammad Yamin pernah berpidato berjudul “Kebangoenan (Renaissance) Bangsa Indonesia" yang disampaikan pada Kerapatan Besar Indonesia Moeda jang ke-1, 29 Desember 1930-2 Januari 1931 di Surakarta. Ia menyampaikan bahwa selain kemerdekaan Indonesia terinspirasi dari nilai-nilai yang berkembang di Eropa, di masa pra-moderen pun sesungguhnya renaissance atau masa Pencerahan ini pernah ada di Indonesia, yakni pada zaman Madjapahit (1930-1500) dimana pada masa itu berkembang ilmu pengetahuan, kesenian, perpustakaan, pertanian, perdagangan dan lain-lain. Di tengah-tengah kejayaan tersebut ditiupkan semangat persatuan kepulauan nusantara oleh Patih Gadjahmada (-+1340 M).
Nilai-nilai Pencerahan tersebut juga berkontribusi pada para orang tua pendiri bangsa, terutama mengenai gagasan nasionalisme dan kemerdekaan negara. Sebagaimana ditulis pada awal tulisan ini, para pemikir Pencerahan percaya bahwa kemerdekaan diri manusia tidak akan tercapai jika tidak ada kemerdekaan suatu bangsa. Kemerdekaan ini harus diperjuangkan, dan bukan sesuatu yang akan diberikan.
Adalah Sukarno yang pertama kali mendirikan partai politik bernama Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) pada 1927 dan pada 1928 namanya berubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Pendirian partai ini bertujuan untuk kemerdekaan bagi kepulauan Indonesia yang wilayahnya meliputi batas-batas sebagaimana ditentukan oleh pemerintah kolonial Belanda, mencita-citakan kemerdekaan politik dan berideologi nasionalisme.
Pembentukan diri Sukarno menjadi seorang nasionalis tidak berdiri sendiri, melainkan ia terhubung dengan beberapa tokoh pergerakan sebelumnya seperti H.O.S Tjokroaminoto, Agus Salim, Sneevliet, Semaun, Musso, Alimin dan Ki Hadjar Dewantara saat ia sekolah HBS di Surabaya dan Douwes Dekker serta Tjipto Mangunkusumo saat ia menempuh sekolah tinggi teknik di Bandung.
Selain Sukarno, terdapat beberapa pendiri bangsa lainnya seperti Hatta, Syahrir dan Ki Hajar Dewantara yang cukup lama menempuh pendidikan di Belanda yang menyiapkan kemerdekaan bagi bangsanya di negara Belanda tersebut. Salah satu puncak dari semangat nasionalisme diikrarkan dalam Sumpah Pemuda (1928) yang menyatakan tentang kesatuan tanah air, bahasa dan bangsa.
Pernyataan puncak tentang kemerdekaan Indonesia di era moderen ini terdapat dalam isi Pembukaan UUD 1945 sebagaimana yang terdapat dalam beberapa alinea: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Pada alinea lainnya tertulis: "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
Sementara cita-cita kemerdekaan Indonesia adalah: bersatu, berdaulat, adil dan makmur, pemerintahnya melindungi segenap rakyat Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Demikianlah cita-cita kemerdekaan kita yang prosesnya sangat panjang, memerlukan puluhan tahun untuk mencapai kemerdekaan hingga titik sekarang ini. Pertanyaan yang patut direnungkan, apakah kita sekarang ini sudah mencapai cita-cita kemerdekaan sebagaimana yang diamanatkan oleh isi pembukaan UUD 45 yang dijalankan oleh pemerintah? Hanya kita semua rakyat Indonesia yang bisa merasakan, menilai dan menjawabnya.