Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hutan hujan tropis melimpah yang tersebar di berbagai pulau, khususnya Pulau Sumatera dan Kalimantan. Menurut data World Wide Fund for Nature (WWF) pada tahun 2003, luas hutan di Indonesia mencapai sekitar 109 juta hektar.

Kondisi tersebut menjadikan Indonesia menempati posisi ke-3 sebagai pemilik hutan hujan tropis terbesar di dunia setelah Brasil dan Kongo. Keberadaan hutan di Indonesia turut berfungsi vital bagi paru-paru dunia dan penyerap karbondioksida di atmosfer yang menjadi salah satu penyebab fenomena rumah kaca.

Banyaknya area hutan hujan tropis di Indonesia tidak hanya berperan sebagai paru-paru dunia ataupun filtrasi saja, tetapi juga meningkatkan biodiversitas (keanekaragaman hayati), baik flora maupun fauna. Tercatat kekayaan biodiversitas hutan di Indonesia, diantaranya: 38 ribu jenis tanaman, 515 jenis mamalia (terbanyak di seluruh dunia), 511 jenis reptilia, dan 1531 jenis burung.

Perlu kita ketahui bahwa banyak diantaranya hanya ada di Indonesia dan tidak ditemukan di tempat lain (endemik). Tidak mustahil jika hal tersebut terjadi, karena hutan hujan tropis Indonesia dikenal dapat mempertahankan suhu konstan (80 F) dan juga jenis hujan deras yang diterima dapat mencapai 160-400 inci per tahun. Kondisi tersebut memungkinkan semua jenis organisme hidup dapat berkembang dengan baik.

Sayangnya, kekayaan hutan hujan tropis Indonesia yang memiliki banyak biodiversitas bisa saja hilang dengan seketika bila praktik penembangan liar (illegal logging) terus terjadi. Pada tahun 1977- 2000 saja Indonesia sudah mengalami kerusakan hutan (deforestasi) yang mencapai 2,8 juta hektar/tahun, dan parahnya hingga saat ini hutan di Indonesia diperkirakan hanya tersisa 28% saja.

Terkhusus hutan di Pulau Kalimantan, pada tahun 2010 hanya tersisa 44,4% saja dan diperkirakan pada tahun 2020 semakin menyusut hingga tersisa 32,6%.

Kerusakan tersebut salah satunya disebabkan oleh para oknum yang tak bertanggung jawab untuk kepentingan industrinya dengan mengeksploitasi hutan secara ilegal. Perlu diketahui bahwa praktik illegal logging mempunyai peran yang sangat besar dalam menyumbangkan kerusakan hutan dengan menghilangkan 1,2 sampai 1,4 juta hektar area hutan Indonesia.

Gambar Hutan di Kalimantan (Sumber: https://agusnizami.com/2012/05/04/hutan-kalimantan-yang-semakin-gundul/)

Pemberantasan praktik illegal logging mulai gencar dilakukan sejak Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 4 Tahun 2005 tentang pemberantasan illegal logging di Indonesia.

Inpres ini memerintahkan agar pihak kepolisian dan kejaksaan dapat melakukan tuntutan secara tegas dan berat terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mempercepat prosesnya baik pada penyidikan, penuntutan, maupun eksekusi.

Dalam literatur hukum, illegal logging merupakan kejahatan pidana yang besifat kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan tergolong sebagai kejahatan yang langsung melanggar UU No.23 Tahun 1997, tentang Pelestarian Lingkungan Hidup. Berdasarkan pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) periode 2005-2008, penegak hukum hanya berhasil menjerat pelaku di lapangan, sedangkan aktor utama kejahatan kehutanan banyak yang lolos.

Sarana untuk menjerat pelaku illegal logging memang sudah mendukung, tetapi perlu adanya ketegasan secara real baik dari Pemerintah, Departemen Kehutanan, Kepolisian, dan Kejaksaan dalam memerangi kasus ini

Tanpa disadari, masyarakat juga memiliki andil dalam langkah preventif merebaknya illegal logging. Kehidupan modern menawarkan segala kebutuhan manusia dengan mudah, sehingga melahirkan sikap konsumtif yang berlebihan. Manusia dapat memperoleh segala sesuatu dengan cepat dan mudah (instan), asalkan memiliki uang.

Kondisi ini merupakan proses dari revolusi industri dunia barat (1750-1850) yang secara tidak langsung berpengaruh juga di Indonesia sebagai wilayah kaya akan sumber daya alam (bahan mentah). Cepatnya produksi barang industri berbanding lurus dengan kebutuhan bahan mentah yang semakin banyak. Hal tersebut memunculkan tindakan eksploitasi sumber daya alam sebanyak-banyaknya.

Di sisi lain, masih terdapat masyarakat tradisional yang menurut pandangan orang modern sangat udik, tetapi justru memiliki sikap maju karena lebih mengedepankan bersinergi dengan alam dibandingkan ego untuk memuaskan nafsu diri. Sikap tersebut banyak tercermin dalam falsafah kehidupan, salah satunya Memayu Hayuning Bawana yang berarti penyelamatan keseimbangan alam dan lingkungan tempat manusia hidup.

Akan tetapi, arus modern yang dibarengi dengan industrialisasi memang tidak dapat dihindariHanya saja, masyarakat dapat meminimalisir tindakan tersebut, salah satunya dengan ikut serta dalam gerakan paperless dengan mengurangi sikap konsumtif terutama barang yang berbahan dasar kayu (kertas).

Gerakan Paperless

Gerakan Paperless merupakan istilah yang tidak asing lagi bagi aktivis lingkungan sejak akhir abad ke-20 M, yaitu suatu aktivitas mengurangi pemakaian kertas atau sejenisnya, bukan meniadakannya sama sekali. Mengurangi pemakaian kertas sebenarnya merupakan hal sulit, karena sebagian besar aktivitas masyarakat (modern) tidak bisa dilepaskan dari benda ini, seperti buku, layanan administrasi, bungkus makanan, dan sebagainya.

Akan tetapi, sangat disayangkan ketika masyarakat memakai kertas secara boros, karena keberadaannya yang melimpah dan mudah dibeli apabila habis. Padahal kertas yang dikenal sebagai barang praktis, tanpa disadari bahan bakunya diperoleh dari kayu hutan. Sebenarnya pemakaian kayu sah-sah saja selama diperoleh secara legal, atau dalam dunia industri biasanya memiliki Hutan Tanaman Industri (HTI).

Akan tetapi, besarnya permintaan produk (kertas) di pasaran yang membengkak tidak dapat mencukupi kebutuhan kayu sebagai bahan baku utamanya. Keadaan tersebut memunculkan praktik illegal logging untuk mencukupi kebutuhan industri demi memperoleh keuntungan yang besar.

Gerakan Paperless merupakan aktivitas sederhana tetapi perlu mendapat perhatian dari masyarakat, karena yang dibutuhkan adalah membangun kesadaran untuk membiasakannya. Banyak masyarakat yang kurang peduli ataupun tidak tahu sama sekali bahwa kertas yang mereka pakai turut menyumbangkan deforestasi. Pada tahun 2005 konsumsi kertas di Indonesia mencapai 5,6 juta ton yang diproduksi dengan membutuhkan sekitar 22,4 juta meter kubik kayu.

Konsumsi kertas semakin bertambah pada tahun 2015 dengan produksi mencapai 10,4 juta ton. Diperkirakan jumlah tersebut semakin meningkat sekitar 2,1 % setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya kebutuhan dan populasi manusia.

Ada satu lagi benda praktis yang sangat boros dipakai, yaitu tisu. Tisu adalah kertas tipis yang terbuat dari bubur kertas (pulp) yang mudah dipakai untuk membersihkan sesuatu. Pemakaian tisu sudah menjadi gaya hidup masyarakat (modern), di mana satu orang biasanya dapat menghabiskan 1 pak tisu (isi 20 lembar) dalam waktu beberapa hari, bahkan satu hari saja.

Tanpa disadari pemakaian tisu yang sudah menjadi kebiasaan ikut mendukung kerusakan hutan, karena ternyata dari satu pohon berumur 6 tahun hanya menghasilkan 2 pak tisu (40 lembar). Selain itu, tisu juga berasal dari campuran bahan anorganik yang tidak dapat diuraikan oleh tanah dalam waktu yang cepat, sehingga tisu juga memunculkan masalah lain terhadap bumi.

Meskipun sering digalakkan program 1 orang menanam 1 pohon, upaya tersebut belum sebanding dengan banyaknya kertas dan tisu yang dipakai. Banyaknya kertas dan tisu yang kita pakai, maka banyak pula pohon yang harus ditebang untuk memproduksinya. Padahal satu pohon bisa menghasilkan oksigen (O2) untuk menghidupi 3 orang secara gratis. Namun demikian, hal tersebut tidak berarti apabila hanya sebagai renungan semata.

Banyak cara sederhana untuk menanggulangi kerusakan hutan salah satunya melalui paperless, seperti mengurangi pemakaian kertas dan tisu, menggunakan dua sisi kertas, menghindari mencetak dokumen dengan menggunakan softcopy, memaksimalkan media IT (Teknologi dan Informasi), menggunakan kertas daur ulang, menyalurkan sampah kertas ke pemulung atau industri kertas daur ulang, dan beralih menggunakan sapu tangan atau handuk sebagai pengganti tisu.

Beberapa cara tersebut cukup efektif untuk menekan penggunaan kertas dan tisu secara berlebihan. Meskipun demikian, masih banyak cara yang dapat dipraktikkan sebagai upaya paperless.

Gerakan paperless sebagai upaya peduli lingkungan (hutan) sudah dicanangkan di beberapa tempat, salah satunya dengan adanya program Paperless Office. Akan tetapi, penerapannya belum meluas dan masih terbilang jarang. Dengan demikian, upaya konservasi hutan sekaligus melestarikan semua biodiveritas yang ada didalamnya, jangan sampai dilakukan ketika hutan Indonesia sudah gundul.

Perlu adanya peran dari semua pihak, meskipun melalui hal-hal sederhana (paperless). Tidak perlu menyalahkan salah satu pihak, yang terpenting adalah peran kita terhadap kelestarian hutan Indonesia itu sendiri karena semua itu menjadi tanggung jawab bersama.