Sebelumnya akan saya jelaskan dulu siapa dua generasi di atas, berdasarkan sedikit kriterianya.
Generasi roti susu, dalam bayangan saya ini merupakan orang-orang teratur dan peduli gizi. Waktu sekolah mereka diawali dengan sarapan pagi yang sehat. Roti dan susu mungkin dengan sedikit campuran selai blueberry.
Ketika berangkat diantar oleh Mama atau papa, yang dengan santun melambaikan tangannya dari dalam mobil dengan sedikit membuka pintu kaca dan berkata "daaah", melihat anaknya yang manis berjalan di depan gerbang sekolah yang bersih.
Rajin mengerjakan PR dan kursus bahasa Inggris atau matematika di luar jam sekolah. Sembari mungkin mengasah keterampilan non akademis dengan kursus biola. Hidup yang kejar-kejaran dengan prestasi.
Liburan pun diisi dengan kegiatan berkualitas, jalan-jalan ke wisata edukasi, ke toko-toko buku beli komik atau ke luar negeri, melihat dunia dengan indah dan santai.
Generasi sego wadang adalah generasi lainnya. Sebelum sekolah, mereka sarapan dengan sego wadang. Sego wadang ini merupakan terminologi yang disematkan kepada nasi sisa tadi malam atau kemarin, yang diolah lagi pagi harinya. Mungkin bisa berbentuk nasi goreng atau nasi kelapa. Mereka sarapan dengan itu, atau barangkali tidak sarapan.
Berangkat sekolah yang tanpa pengawalan bapak-emak. Sebab, bapak-emak sibuk ke sawah, ladang, atau pabrik rokok. Tak ada kursus apa pun di luar jam sekolah. Bantu-bantu kerja atau bermain bola di jalananan kampung dan berenang di sungai setelahnya, melihat ikan-ikan yang sedang menyosori kotoran manusia.
Dalam beberapa kesempatan dua generasi ini mungkin akan saling bertemu pada kondisi atau ruang yang sama, berbaur. Waktu sekolah mereka akan ada pada suatu ujian yang standarnya disamakan. Sekolah-sekolah akan mengadakan UAN (walaupun mungkin sekarang sudah agak beda metodenya). Ketentuan UAN akan memukul rata seluruh sekolahan yang ada.
Sekolah dengan SPP jutaan yang dipenuhi generasi roti susu dengan kamar mandi yang bersih nyaman wangi dan dengan segenap fasilitas praktik laboraturium yang memadai akan satu standar dengan sekolah yang gurunya itu-itu saja, gedung sekolah yang asbesnya terlihat bolong dan kamar mandi dengan kloset kuning dan bau pesing di mana-mana, yakini sekolahnya generasi sego wadang.
Barangkali mungkin, jika Fullday School bukan hanya gagasan mentah yang hanya jadi komoditi media, jika ada niatan benar-benar dari pemerintah untuk menerapkannya, mungkin generasi roti susu hanya akan menambah porsi sarapan dan uang sakunya.
Sementara itu, generasi sego wadang akan kehilangan momen bagaimana bermain bola di jalan, atau ketika ikan -ikan itu menyosori kotoran manusia dengan hikmat. Tetapi ini hanyalah sedikit imajinasi, barangkali kenyataan hidup bukan hanya untuk teratur dan mengejar prestasi di mana pun.
Ketika kuliah pun, mereka yang dari dulunya hidup dengan dijejali fasilitas serba ada, akan melewati hidup dengan begitu. Jalan-jalan ke mall, shopping dan tinggal gesek.
Penampilan mereka oke dan mereka disipilin dalam menuntut ilmu. Dan ketika lulus, mereka akan mengantri untuk masuk ke perusahan multinasional ternama. Berdandan rapi dan siap meneruskan budaya memperkaya diri. Mengabdi kepada yang membayar dan siap untuk tak peduli dengan gejala sosial apa pun.
Tak banyak dari generasi sego wadang yang beruntung sampai bisa kuliah, dan ketika kuliah sayangnya banyak yang tidak disiplin. Banyak dari mereka yang lulus tidak tepat waktu alias lebih dari 4 tahun. Banyak waktu yang terbuang di warung kopi, demonstrasi sana-sini atau dengan kegiatan-kegiatan bakti sosial, tak peduli walaupun rokoknya masih ngecer.
Tapi, apakah Indonesia akan jadi Indonesia jika dulu kaum yang mendominasi adalah generasi roti susu? Sekolah tinggi, jadi priyayi terus mengabdi kepada koloni. Apakah kata-kata merdeka dapat digali dari dalam kehidupan generasi yang nyaman?
Soekarno yang seorang insinyur, memilih tidak mengabdi kepada dinas Belanda dengan proyek pembangunannya waktu itu. Ia sibuk untuk menjalani hidup sebagai oposisi. Mendirikan partai berbasis rakyat kecil.
Sarjana sarjana lulusan Belanda seperti Hatta juga tak terlena. Padahal, mungkin ketika ia memilih untuk mengabdi kepada koloni, ia akan mendapat tempat yang terjamin. Tapi naluri hidupnya tidak ingin senyaman itu. Ia memilih memperjuangkan kemerdekaan meski terlihat sulit. Pun dengan orang terdidik lain seperti Syahrir, dan lainnya.
Meski begitu, mereka adalah pahlawan yang bisa kita kenang dengan semangat perlawanannya.
Kini, setelah kemerdekaan itu dicetuskan, anak bangsa lebih asyik dengan gaya hidupnya sendiri. Sarjana-sarjana berjejal di depan job fair, mengantri barangkali saja bisa sedikit beruntung. Menjadi pegawai kantoran, sebagai upaya awal menuju hidup yang tertata.
Ia tak peduli apakah perusahaannya nanti melakukan pencemaran lingkungan, polusi ataupun gejolak di masyarakat.
Ia tak peduli. Ia siap dibayar per bulan untuk apatis.
Ah barangkali, mereka tak ambil pusing dengan konstruksi masyarakat saat ini. Yang namanya Sarjana itu ya yang kerjanya pagi sampai sore di kantor, di dalam ruang ber-AC. Pakai sepatu pantofel dan baju berdasi. Mungkin kalau ada tetangga yang meninggal di siang hari, malam harinya baru datang dan berkata: "maaf, tadi masih kerja."
Indonesia sekarang hanyalah negeri yang mencium tangan bangsa lain sebagai majikannya.
Sementara itu, kenyamanan hidup sebagai petualang akan lebih mudah dilihat dari generasi sego wadang. Banyak dari generasi ini yang memulai dengan wirausaha atau menjadi aktivis-aktivis yang rela melakukan apa pun demi melihat Indonesia seperti yang dicita-citakan para pendirinya. Bolos kuliah untuk advokasi hak buruh. Bahkan sampai jauh-jauh ke Rembang melihat kondisi masyarakat Samin dan bantu-bantu mereka di sana. Mereka banyak tak peduli dengan kehidupannya ke depan.
Mungkin di atas adalah sedikit gambaran, pembaca yang terbiasa dengan tulisan akademis pasti akan berkomentar: "Terlalu banyak generalisasi."
Ah,tapi cobalah sedikit direnungkan, barangkali standar penilaian tidak hanya bagus pada validitas data saja. Terkadang kenyataan hidup tidak bisa dikalkulasikan dengan palnning-planning.
Saya hanya mengikuti alur-alur orang akademisi jaman sekarang. Bahwa masyarakat itu harus diklasifikasikan, dikategori-kategorikan, dipilah sesuai kriteria dan prinsipnya masing-masing, lalu dirumuskan. Lantas, dianggap kekal dan universal, gitu toh?
Tapi manusia ya manusia, selalu berubah, dinamis, menyesuaikan ruang dan waktu. Bisa jadi sore ini mereka adalah generasi roti susu, tapi besoknya sudah jadi generasi sego wadang. Atau generasi roti susu tapi bermental Soekarno? Ah, entahlah dalam satu individu akan ada seribu kemungkinan untuk ngapa-ngapain.
Kemarin-kemarin, rokok pun jadi wacana. Katanya, berdasarkan penelitian, kalau harganya dinaikkan maka pembelinya berkurang. Apalagi dengan kutap-kutip data WHO, yang katanya ribuan orang mati tiap bulan gara-gara rokok. Seumur hidup saya belum pernah lihat kok, orang nyedot rokok lalu terkapar.
Yoweslah, gakpapa, wong mau diapakan lagi, kerja kalian kan meneliti. Sama seperti Cak Pur, tetangga saya yang jualan peppaya, tiap hari ia akan jualan pepaya untuk menyambung hidupnya.
Mungkin orang yang terbiasa menulis sistematis akan berkata: "Judul, pengantar, isi dan konklusinya gak nyambung!"
Ah, biarlah. Apakah semua hal harus seragam dan dibuatkan kurikulum bakunya? Termasuk menulis?