Generasi milenial merupakan mereka yang lahir sekitar tahun 1980-an hingga 1990-an, yang berarti mereka berusia sekitar 23 – 37 tahun pada tahun 2018 ini. Jika sekolah sesuai dengan umur hingga menempuh S1, berarti mereka mulai bekerja di umur 23 tahun. Tetapi, jika mereka meneruskan hingga gelar doktor, berarti mereka memerlukan usia yang cukup lebih lama untuk bisa bekerja meskipun tetap bisa mendapatkan gaji yang lebih besar.
Kalau kita membuat gambaran dari 10 orang yang menyelesaikan sekolahnya hingga gelar doktor, hanya 2 orang, dan 3 orang menyelesaikan sekolahnya sampai gelar S1, kemudian sisanya lulusan SMA/SMP. Jadi, bisa dikatakan, 2 orang inilah yang berpeluang besar bisa mempunyai rumah dan 3 orang lainnya hanya berpeluang melunasi biaya KPR (Kredit Pemilikan Rumah) separuh hidupnya. Sementara sisanya yang bergaji UMR, bisa jadi mereka terancam tunawisma.
Hal itu kenapa bisa terjadi? Gaji dari kebanyakaan generasi milenial inilah tampaknya tidak sebanding dengan harga rumah. Saat ini, UMR (Upah Minimum Rakyat) tahun 2018 adalah Rp. 3,8 juta, sementara harga rumah di tengah kota bisa mencapai angka 1 miliar dan harga rumah di pinggiran kota seperti di Depok, Cibinong, ataupun Bojong Gede rata–rata sudah mencapai angka 500 juta bila kita membayar dengan cara langsung lunas.
Kalau kita membayarnya dengan cara menyicil, bisa mencapai angka 1 miliar lebih sudah terhitung dengan bunganya. Dan kita perlu waktu untuk melunasinya dengan durasi 15 – 20 tahun dengan biaya cicilan per bulan mencapai angka 3 jutaan.
Kenapa kita harus mulai memikirkan mempunyai rumah dari sekarang? Karena rumah adalah salah satu kebutuhan dasar manusia selain makan dan pakaian. Rumah juga adalah sebuah aset masa depan ketika kita sudah memiliki anak nantinya.
Semua orang pasti menginginkan masa depan yang baik ketika sudah mempunyai keluarga. Apalagi laki-laki yang nantinya akan melamar sang kekasih di hadapan orang tuanya, tidak menutup kemungkinan sang orang tua dari kekasih kita mempertanyakan “apakah kita sudah bekerja? Dan apakah kita sudah memiliki rumah?”
Itu adalah hal wajar yang akan ditanyakan kepada kita sebagai laki-laki. Karena orang tua sang kekasih pasti tidak mau salah pilih dan ingin mendapatkan menantu yang sudah siap secara materi ataupun mental untuk putrinya.
Pemerintah Kota Jakarta yang dipimpin Gubenur Anies Baswedan memang mempunyai program DP rumah 0 persen untuk karyawan ber-KTP DKI Jakarta dengan syarat yang belum mempunyai rumah, berpenghasilan di bawah 7 juta, tetapi berpenghasilan minimal sesuai dengan UMR Jakarta dan sudah menikah.
Mendengar berita ini, pertama kali saya merasa senang atas program yang dicanangkan Gubenur DKI Jakarta ini. Tetapi, setelah mengetahui ternyata yang dimaksud adalah rumah vertikal atau rumah susun, saya merasa pesimis kembali.
Memang rumah vertikal atau rumah susun memiliki lokasi yang strategis karena pasti di pusat kota dan memiliki keamanan yang baik. Tetapi, kalau kita berpikir panjang untuk masa depan, rumah tapaklah yang bisa diungulkan.
Rumah vertikal hanya berisi kamar dan ruang tamu saja, memang cocok untuk pasangan muda. Tetapi, jika anggota keluarga mulai bertambah dengan kehadiran anak, pasti dirasa makin sempit untuk rumah vertikal dan kemudian harus berpikir kembali untuk tempat tinggal anggota keluarga yang bertambah. Kemudian dari segi investasi jangka panjang, tentu rumah tapak bisa diunggulkan.
Dengan kondisi tersebut, kembali lagi kepada individunya yang berusaha dan yakin untuk mendapatkan rumah. Dengan usaha yang cukup keras, seperti nasihat orang tua: “Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala”, untuk nantinya kita bisa menikmati hidup yang layak di masa tua. Karena kita masih muda dan masih mempunyai tenaga untuk menepis ungkapan bahwa generasi milenial adalah generasi yang terancam tunawisma.
Dengan kondisi tersebut, kembali lagi kepada individunya yang berusaha dan yakin untuk mendapatkan rumah. Dengan usaha yang cukup keras, seperti nasihat orang tua: “Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala”, untuk nantinya kita bisa menikmati hidup yang layak di masa tua. Karena kita masih muda dan masih mempunyai tenaga untuk menepis ungkapan bahwa generasi milenial adalah generasi yang terancam tunawisma.