Istilah “kelas ekonomi” sebenarnya bukan hal yang asing. Istilah ini sudah sering kita dengar di keseharian kita. Hal ini nampak sederhana dan seolah bagai angin lalu dalam keseharian. Sementara itu, dalam mobilitas transportasi istilah ini begitu populer dan mendapatkan tempat sangat berarti di masyarakat.

Pada uraian ini, penulis akan menyoroti perihal kemiskinan, yang menurunkan masyarakat kelas ekonomi tersendiri di masyarakat. Di mana-mana, dalam rutinitas kehidupan, “kelas ekonomi” telah menjadi kelompok tersendiri di masyarakat. Dan kelompok ini sangat mudah dijumpai, di stasiun, terminal, perhelatan konser musik, pertandingan sepakbola, dan lain sebagainya.

Sedemikian banyaknya kelompok ini sehingga mampu menciptakan sebuah tradisi kehidupan baru dalam masyarakat. Di mana profesi pengamen, pedangang asongan, pengemis seolah telah akrab dan menjadi sahabat dalam pergulatannya.

“Kelas ekonomi” tidak hanya menjadi pilihan namun telah membudaya sebagai bagian dari ekspresi kemanusiaan masyarakat Indonesia. Ekspresi tersebut menjelma dalam ragam partisipasi sosial yang tercipta melalui hubungan kelompok masyarakat ini dalam komunitas “kelas ekonomi” tersebut.

Ragam reaksi pun bermunculan, contoh sederhana bagi mereka yang telah terbiasa dengan transportasi darat seperti bis kota, kereta listrik dan lain sebagainya, akan dengan sendirinya mempersiapkan uang receh untuk para pengamen dan pengemis. Ada juga yang seolah tidak mau tahu, namun terlepas dari itu, secara garis besar dapat kita saksikan dan rasakan bahwa terjadi kebudayaan baru dalam kelompok masyarakat ini.

Jika kita sejenak melakukan komparasi dari Badan Pusat Statistik, bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2011 mencapai 12,36 % (sekitar 29,89 juta orang). Artinya, di luar dari data itu masih tersisa persentase kelas menengah dari masyarakat Indonesia secara ekonomi. 

Dan sebagaimana yang kita ketahui, “kelas ekonomi” dalam terminologi seperti di atas didominasi oleh kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah. Masyarakat dalam kategori miskin tersebut tentunya selalu menjadi obyek perbincangan di setiap kampanye politik, atau dalam diskusi media massa yang melibatkan para pelaku kebijakan. Kemiskinan bukanlah sesuatu yang lepas dari perbincangan kita, melainkan sesuatu yang belum mampu kita atasi secara bersama.

Analisis yang digunakan pun beragam, namun secara sederhana dapat kita kelompokkan dalam dua kategori, yakni analisis makro dan mikro. Secara makro, problem kemiskinan selalu saja terarah pada statistik pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan angka-angka peningkatan. 

Angka-angka yang menghimpun persentase inilah yang menjadi sebuah jawaban dalam meretas kemiskinan. Walaupun secara mikro kita dapat dengan mudah mengatakan bahwa, sejenak ketika membuka pintu rumah saja telah berderet orang-orang yang kelaparan. Mata-mata terlihat kosong dalam tatapannya seolah tidak tahu lagi harus berbuat apa guna meningkatkan kualitas hidupnya.

Kemiskinan pada dasarnya bukanlah sekedar pengeluaran perkapita bulanan masyarakat yang dianggap di bawah garis kemiskinan. Melainkan apakah kita dapat memperoleh makanan dalam sehari atau tidak. Persepsi ini sangatlah awam, namun sebenarnya berdasar pada basic need masyarakat yang sesungguhnya. 

Perut yang kosong akan dengan sangat mudah memicu peningkatan kriminalitas. Maka memerangi kemiskinanlah yang kini harus menjadi tugas bersama, dan itu termanifestasi dalam ragam bidang kehidupan sosial kita (pendidikan, politik, kebudayaan dan lain sebagainya).

Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, maka medan perjuangan pun mengalami perluasan. Hari ini model transformasi sudah tidak lagi hanya dapat dilakukan melalui kekuatan massa. Secara individual pun setiap orang memiliki potensi untuk melakukan perjuangan pembaharuan, atau dalam istilah Wahib disebut dengan freelance intelligentia. Sebab, dengan demikianlah kita mampu menciptakan pikiran-pikiran yang melampaui ruang dan zaman. 

Meskipun atas kehendak kita sendiri, kita tidak dapat membatasi model perjuangan kita hanya pada bagaimana mengisi kemerdekaan melalui peretasan kemiskinan. Dalam arti yang sangat luas kita membutuhkan semacam pertarungan kelas yang sinergis antara Indonesia dan bangsa-bangsa lainnya. Ketika modernitas menjelama menjadi sebuah pengetahuan yang utuh atas eksploitasi sumberdaya alam dan kepemilikannya. Dengan demikian tugas kita dalam mempersiapkan generasi selanjutnya akan terwujud.

Tidak dapat dipungkiri lagi, berapa ribu, bahkan berapa ratus ribu rakyat Indonesia yang meringkuk dengan perut kosong di emperan-emperan kota melepas lelahnya. Realitas ini sangatlah lekat dengan kita sehari-hari. Maka, toleransi dalam pengertian ini adalah menelurkan pemikiran dan mengaitkannya dengan ragam perspektif yang ada guna diaktualisasikan dalam bentuk nyata kehidupan sosial. 

“Kelas ekonomis” sebagai kelompok yang paling dominan dalam masyarakat kita, sudah saatnya tidak hanya mendominasi gerbong-gerbong kereta api, namun bergerak dalam nalar kritis menuju sebuah pembaharuan. Di mana perwujudan masyarakat adil makur dapat dengan sangat kongkrit terasa melalui kepulan asap dapur setiap rumah tangga yang memadati Indonesia Raya.