"Maka ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku." – (Q.S Al-Baqarah: 152)
Apa? Apa yang kau katakan?
Aku tidak bersyukur? Tidak kurasakan. Aku selalu mensyukuri atas segala pemberian-Nya
Malas beribadah? Sembarangan. Aku tidak pernah meninggalkan, walau hanya sekali saja
Beribadah di Masjid atau Mushalah? Sudah pasti. Laki gitu loh!
Jarang bersedekah? Aku tidak ingin memberitahukan, nanti dibilang ria. Minimal lima kali sehari
Ngomong kasar plus ngomongin orang? Gak mungkin!
Mencari ilmu? Oh itu nomor 1
Menjalankan sunnah-sunnah Nabi? So pasti!
Uhh.. pokoknya hidup bahagia selalu, enak, tentram, dan damai
Tapi... Kapan ya bisa seperti itu? Eeeee... eeeee... Masa-masa I’dad, enaknya..
Semangat sih sudah ada, tapi mana aksinya? Nihil
Orang yang hidup di zaman ini atau istilah yang sedang ngetren zaman now, hampir sebagian isi kepala mereka sudah tersuntik doktrinisasi skuler dan doktrin hedonisme (kebendaan) ala Barat, yang tidak ada barometer kemuliaan seseorang kecuali ukurannya adalah kemewahan dunia lengkap dengan accesoris-nya. Sehingga, mereka mengejar, memburu, mempatri, dan menguasai hingga ke plosok hati. Menyebabkan sebagian di antara mereka terjerumus lumus ke lembah kesedihan yang berkepanjangan, menerima kekecewaan yang amat sangat berat, hingga ajal menjemput mereka dalam keterpurukannya.
Seiring perkembangan zaman yang semakin maju dan mapan, kini kita telah memasuki ke era yang menghadirkan sebuah perubahan bagi beberapa aspek kehidupan. Era yang mengubah tatanan dan gaya hidup manusia dari tradisional ke modern. Era dimana segala sesuatu dapat diperoleh secara instan, apalagi jika bukan era globalisasi.
Bukan hanya mengubah gaya hidup manusia, globalisasi juga dapat menjadi pengaruh menurunnya tingkat keimanan seseorang. Kita memang tidak dapat menghindari lajunya arus teknologi. Namun, jangan sampai kita terhanyut karena dilanda banjir informasi. Menjaga keseimbangan keimanan dan berenang menghantam arus zaman.
Manusia lahir dalam keadaan fitrah bertauhid (authentic made) ( Q.S Ar-rum : 30). Atas dasar inilah setiap muslim wajib memahami tentang pandangan hidup yang lurus dan benar. Tidak ada manusia yang memiliki jalan yang lurus kecuali menjalankan visinya dengan benar, Allah SWT menciptakan wajah manusia menghadap kedepan. Maksudnya, setiap muslim bisa memandang hakikat penciptaan dan tujuan hidupnya.
Keyakinan dalam pandangan hidup manusia dinamakan visi, sedangkan visi utama (main vision) seorang muslim ialah menjadi hamba bertauhid total beribadah kepada Allah ta’alaa tanpa reserve (Mudzakir Al-Haq, 2018:266).
Namun pada era modernisasi ini, manusia lebih mengorientasikan hidupnya kepada dunia yang fana. Seakan akhirat dikesampingkan terlebih dahulu hingga manusia itu merasa puas. Nah, sifat manusia secara alamiah tidak pernah memiliki kepuasan yang mutlak.
Seketika aku teringat kepada nasihat mendiang almarhum engkong (kakek). Beliau bilang : “Tong, kita hidup kudu tiga : (Ibadah, sehat, berkecukupan). Kalau kita hanya beribadah dan sehat, tapi di lain sisi kita tidak punya uang, ibadah kita tidak akan fokus. Mikir besok makan apa, besok ongkosnya dari mana. Sudah begitu kita tidak bisa berbagi, karena sebaik-baiknya hidup ya memberi sebanyak-banyaknya”.
Teratai : “Tapi kan kong, hidup itu tidak selalu tentang uang bukan?”.
Engkong : “Ya benar, hidup itu memang tidak melulu tentang uang. Tapi kamu harus ingat ini, bahwa hidupmu itu tidak selalu tentang dirimu sendiri. Ada orang lain yang harus kamu bantu. Saiki nek ora duwe duwit, kowe nolongi orang pakai apa? Tenagamu? Wong awakmu cilik ngono”.
Teratai : “Lalu bagaimana jika aku rajin beribadah dan memiliki uang, bukankah aku akan berbagi? Dan itu sudah cukup kan kong?”
Engkong : “Kalau kita rajin beribadah dan punya uang, tapi disisi lain kita tidak sehat bagaimana kita dapat menikmatinya? Pun kalau kamu sehat dan berkecukupan, tapi tidak beribadah pasti kamu tidak akan menemukan kebahagiaan karena kamu tidak pernah merasa cukup”.
Teratai : “Lalu kong, bagaimana aku mendapatkan itu semua?”
Engkong : “Hmm.. kamu memang tidak bisa selalu mendapatkan semua itu, toh kamu tidak selamanya sehat, hidupmu tidak selamanya mulus. Tapi, kamu bisa tahu bahwa hidupmu mau dibawa ke mana, dan apa yang harus dipegang agar hidup dapat seimbang”.
Teratai : “Baik kong, aku akan berusaha untuk itu semua”.
Engkong : “Sudah azan zuhur, sana wudhu ayo kita shalat”.
Ada kalanya kita tidak mendapatkan sesuatu sesuai dengan apa yang kita inginkan dan rencanakan, dari situlah kerap kali kita merasa kecewa dan merasa tak bersyukur. Padahal, jangan pernah kita lupa bahwa segala sesuatu itu berasal dari Allah SWT, dan semua yang kita miliki hanyalah sebuah titipan.
Meski begitu, kita tidak boleh patah semangat dan menghukum diri kita dengan kekecewaan yang berlebih. Kita wajib bersyukur kepada Allah atas segala yang telah dilimpahkan-Nya.
Manusia adalah makhluk (Masterpiece) terbaik Allah SWT (QS. At-Tin : 4). Benar, bahwa semua ciptaan-Nya adalah sempurna (tidak ada kekurangan dan sesuai dengan kebutuhan), namun yang disebut di dalam Al-Qur’an dengan bentuk ciptaan yang sebaik-baiknya adalah manusia. Dan surga tentu tidak lebih baik dari manusia. Apakah manusia mengejar sesuatu yang tidak lebih baik darinya? Saya jawab tidak. Watak manusia secara mendasar tidak mengejar sesuatu yang tidak lebih baik darinya. Lalu apa yang lebih baik dari manusia? Tentu Allah SWT dengan segala sifat-sifat-Nya. Rahmat salah satunya.
Rahmat merupakan bentuk dari kasih sayang Allah SWT kepada makhluknya tanpa terkecuali. Begitu pula masuknya manusia ke surga atau neraka, tidak ada alasan lain kenapa manusia bisa mendapatkan surga kecuali dengan rahmat-Nya.
Surga dan neraka itu tidak jelas bagi masa depan manusia di akhirat, tidak ada seorangpun yang menjamin dirinya atau orang lain untuk masuk kedalam surga atau neraka. Buat apa menusia mengejar sesuatu yang belum jelas akhirnya. Tidak ada yang lebih jelas di dunia ini kecuali rahmat Allah yang telah di peruntukan kepada makhluk, tanpa terkecuali manusia.
Ya Allah, andai aku boleh menawar. Aku menginginkan pulang keharibaan-Mu, terlebih aku yakin benar bahwa kalimat terakhir adalah Laa ilaaha illallah! Aku ingin itu yang ku ucapkan, ketikaaku menghembuskan nafas terakhir dan aku menggapai kematian husnul khotimah, seraya engkau menyerukannya :
“Wahai jiwa yang tenang! (27). Kembalilah kepada Tuhan-Mu dengan hati yang ridho dan diridhoi-Nya (28). Maka masukanlah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku (29). Dan masuklah ke dalam surga-Ku (30). : QS. Al-Fajr : 27-30.