Matahari telah terbenam, gelap malam menghampiri. Setiap keluarga tengah berkumpul bersama, bercanda, berbincang, tertawa bahagia bersama, merasakan kehangatan sebuah keluarga yang indah. Namun, siapa yang menyangka semua tawa, canda, bahkan kehangatan tiba-tiba hilang lenyap begitu saja. Gempa sebesar 7,0 Skala Richter menggoyangkan Pulau Lombok.

Malam itu, tawa tergantikan oleh tangisan, kebahagiaan tergantikan oleh kesedihan, kehangatan tergantikan oleh kedinginan. Semua masyarakat merasakan hal yang sama. Debaran jantung yang kuat, kerutan wajah yang ketakutan, itu semua terpampang dengan jelas pada diri setiap orang. Banyak korban berjatuhan dimana-mana, ada banyak rumah yang hancur karena besarnya guncangan.  

Isu Tsunami benar-benar menakuti kami, kami berusaha untuk lari menjauhi daerah pantai. Jalanan menjadi sangat amat ramai dan menyebabkan kemacetan, dengan terpaksa kami harus berjalan kaki di tengah gelap dan dinginnya malam. Malam itu lampu-lampu padam namun sebuah pemandangan yang tidak biasa dapat terlihat dengan jelas.

Gadis yang memakai kerudung tengah berjalan bersampingan dengan seorang gadis yang membawa kalung salib. Lantunan doa yang dinaikan oleh kedua gadis tersebut dengan cara yang berbeda terdengar nyaring. Namun tidak seperti biasanya, kedua perbedaan agama yang jarang akur, kini mereka berjalan berdampingan tanpa memandang perbedaan. Mereka tidak terganggu ataupun marah akan perbedaan cara  mereka berdoa.

Mereka mengerti dan menghargai keadaan satu dengan yang lainnya. Pemandangan tersebut sangatlah indah. Gempa 7,0 Skala Richter benar-benar membawa perubahan sosial yang sangat mengejutkan dan luar biasa. Namun, haruskah gempa yang menyatukan perbedaan itu? Dimanakah solidaritas setiap masyarakat?

Trauma benar-benar menyelimuti Lombok. getaran sedikit saja dapat membuat air mata kami menetes kembali. Setiap malamnya kami takut, kami selalu waspada. Kami takut untuk menutup mata kami. Setiap malam kami selalu menantikan cahaya matahari yang dapat memberikan kami sedikit kelegaan dari cekaman malam, kami takut gempa akan menerjang kami kembali.

Pulau 1000 mesjid kini dapat dikatakan menjadi pulau 1000 tenda. Setiap lapangan yang ada dipenuhi oleh tenda. Macam-macam keluarga berada pada satu lapangan yang sama. Muslim, Kristen, Hindu, Budha, Katolik semuanya berkumpul bersama. Di tengah pengungsian, disaat kami menaikkan doa, kami dapat melihat umat agama lain  juga tengah menaikkan doa mereka dengan cara yang berbeda.

Gempa benar-benar mengubah kami, kami yang dulunya selalu berselisih akan perbedaan agama maupun ras, kini menjadi satu di tengah pengungsian. Doa dengan cara yang berbeda dinaikkan pada saat yang bersamaan. Tidak ada satupun yang terganggu akan hal tersebut, kami bercanda bersama, menghibur satu dengan yang lain tanpa memandang apa yang kami makan atau siapa yang kami sembah.

Banyak relawan yang datang untuk membantu kami, bahkan ada banyak umat Kristen yang dengan setia menjadi relawan bagi kami. Kami yang dulunya tidak suka dengan kehadiran mereka kini kami menerima kehadiran mereka dengan lapang dada, mereka yang dulunya sering merasa terganggu akan suara adzan kami, kini mereka ikut mendengarkan dengan telinga terbuka.

Gempa mengubahkan kami. Tidak ada lagi batas diantara umat Muslim dengan umat Kristen, kulit putih ataupun kulit hitam. Semua perbedaan itu kini duduk menjadi satu. Namun, akankah hal ini akan terus berlanjut? Akankah umat Muslim dengan umat Kristen akan tetap bergandengan tangan? Akankah umat muslim dengan umat Kristen tetap jalan berdampingan?

Aku mengharapkan bahwa keduanya akan tetap seperti itu. Dimana tidak ada lagi perselisihan diantara keduanya.  Aku ingin mereka mau menerima kehadiran satu dengan yang lain tanpa memandang bulu. Beribadah berdampingan tanpa harus merasa terganggu atau menjadi marah. Tidak saling mencela mengenai ajaran mereka masing-masing.

Andai saja di dalam diri masing-masing masyarakat ada rasa saling menghargai satu sama lain, pasti hal seperti ini akan terus berlanjut tanpa ujung. Aku mengharapkan tidak ada lagi kritikan mengenai suara adzan, aku harap tidak ada lagi lemparan batu di saat ibadah gereja sedang barlangsung. Terima kasih Tuhan atas gempa yang menimpa Pulau Lombok, gempa yang Tuhan berikan benar-benar mengubahkan kehidupan sosial kami. Aku mengharapkan kerukukan dan keharmonisan tetap terjalin ditengah-tengah perbedaan kami. 

Jujur, aku sangat menyukai semua relawan yang datang dengan kalung salib pada leher mereka, senyum hangat mereka bahkan elusan tangan mereka terasa sangat hangat di atas kepalaku yang tertutupi kerudung. Kuharap mereka akan tetap mengulurkan tangan mereka untuk kami, mengarahkan pandangan mereka terhadap kami, menggenggam tangan kami, dan bahkan tetap duduk bersama dengan kami sekalipun lantunan adzan sedang dinaikkan.

Melalui kejadian gempa 7,0 Skala Richter  yang kami alami. Kami mendapat sebuah pelajaran yang sangat penting, dimana kebersamaan di tengah di perbedaan adalah sebuah kehangatan di tengah kedinginan, kebahagiaan ditengah kesedihan bahkan sebuah senyuman ditengah air mata.

Pulau Lombok, mari kita bersama-sama menghapuskan rasa keegoisan kita, gantikan dengan rasa solidaritas yang tinggi. Mari kita saling bergandeng tangan, mari kita menjaga kebersamaan yang seperti ini, saling menghargai dan saling menghormati. Mari kita jaga dan sadar akan keindahan yang seperti ini tanpa harus gempa yang terlebih dahulu menyadarkan kita.