Pulau Lombok dikenal dengan sebutan negeri seribu masjid. Memang benar, jika berkeliling di Lombok, hampir setiap jengkal terdapat masjid yang dibangun dengan megahnya. Tetapi bukan berarti di Lombok hanya dihuni oleh orang-orang yang beragama Islam. Sama halnya dengan pulau-pulau lain, Lombok juga kaya akan umat beragama.
Setiap harinya lantunan azan terdengar merdu di setiap daerah di pulau Lombok. Bahkan tidak pernah sekalipun pulau Lombok sepi dari lantunan azan. Ketika musibah menimpa Lombok bertubi-tubi, lantunan adzan itu pun tetap terdengar jelas di telinga.
Umat beragama lain terkadang iri dan merindukan lantunan-lantunan agamanya boleh terdengar layaknya lantunan azan. Namun rasa iri mereka harus dikubur dalam-dalam karena itu tidak ada gunanya. Mengapa? Karena kebanyakan orang berpikir bahwa wajar saja lantunan azan itu bergema di mana-mana. Sebab itu adalah agama mayoritas, jadi tidak masalah.
Padahal, dalam kenyataannya, semua agama boleh mengekspresikan dirinya sesuai ajaran-ajarannya. Tetapi tidak di pulau Lombok ini, masyarakat masih memiliki tingkat egoisme yang sangat tinggi. Mereka masih berpikir mana yang mayoritas itu yang harus diutamakan. Jadi yang minoritas harus mengalah, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka.
Sampai pada tanggal 5 Agustus 2018, goncangan dahsyat berkekuatan 7,0 SR terjadi di Lombok. Semua orang panik. Semua orang menangis. Semua orang ketakutan ketika isu tsunami terdengar setelah goncangan dahsyat itu terjadi.
Tidak ada satupun orang yang lupa memanggil nama Tuhan. Seketika pulau Lombok bising dengan suara-suara manusia yang menyebutkan nama Tuhannya. Tidak ada yang sempat berpikir agama mayoritas yang harus diutamakan memanggil nama Tuhannya. Semua orang berlomba-lomba untuk bersujud meminta pertolongan Tuhan.
Lantas, jika sudah begini, apakah ini hukuman dari Tuhan? Hukuman atas dasar apa? Mengapa Tuhan tega menghukum umatnya dengan cara seperti ini? Sangat pantas jika goncangan dahsyat itu dikatakan hukuman dari Tuhan atas dasar keegoisan umatnya yang ada di Lombok ini.
Tuhan tidak tahan melihat umatnya yang enggan untuk bertoleransi. Tuhan muak dengan orang-orang yang hanya melihat baik agamanya dan merendahkan agama lain. Tuhan kaget melihat perubahan drastis yang terjadi pada umatnya di Lombok.
Bukan perubahan baik yang terjadi, malah perubahan yang menimbulkan konflik. Konflik yang membawa agama bukan lagi hal asing yang diberitakan di Lombok. Semakin hari Lombok semakin sensitive akan agama. Semakin hari lombok semakin terkuras toleransinya. Semakin hari rasa kemanusiaan di Lombok semakin minim.
Perubahan itu terjadi begitu saja, dengan cepat. Tidak tahu siapa yang menjadi dalang dalam perubahan itu. Mau menuduh, nyawa menjadi taruhannya.
Kita pun larut dalam perubahan yang dibawa oleh dalang tersebut bahkan perubahan itu menjadi gaya hidup kita sehari-hari. Mau mencoba menengahi perubahan itu, malah timbul hujatan-hujatan dari orang-orang yang berpikiran sempit.
Kalau sudah terjadi musibah, semua berkata Tuhan terlalu tega menghukum umatnya. Tidak ada yang mau mengoreksi kesalahannya masing-masing. Tidak ada yang berpikir untuk memperbaiki perubahan yang salah itu. Tidak ada yang mau berperang melawan egonya.
Semua orang hanya bisa meratap dan berdoa kepada Tuhan. Air mata sudah tumpah ribuan liter, tetapi goncangan-goncangan terus terjadi. Tidak ada yang mampu menghentikan semuanya. Tuhan seakan bekerja sama dengan alam ini untuk menghancurkan keegoisan manusia di Lombok.
Perlahan cara Tuhan mulai bekerja. Bantuan demi bantuan mulai tiba di pulau Lombok. Para relawan dari berbagai daerah rela mempertaruhkan seluruh tenaganya untuk mengurangi duka pulau Lombok. Lombok bagian utara sudah rata dengan tanah.
Bangunan-bangunan mewah yang dulu tegak berdiri kini tergantikan oleh sederhananya kemah-kemah yang terbuat dari terpal. Tidak ada lagi yang peduli agama mayoritas atau agama minoritas dalam kemah tersebut. Semua merasakan duka bersama.
Rasa kemanusiaan kini mulai pulih. Semua mata yang menyaksikan goncangan-goncangan di Lombok merasa iba dan ingin segera mengulurkan tangannya untuk mengembalikan keindahan pulau Lombok. Semua saling bahu-membahu untuk mengusir duka yang dirasakan.
Apakah harus dengan cara seperti ini untuk memulihkan rasa kemanusiaan di pulau Lombok? Apakah harus ribuan liter darah dan air mata tumpah untuk menyadarkan kita? Apakah harus dengan goncangan dahsyat agar kita menurunkan egois kita yang sangat tinggi?
Mari merenungkan diri sejenak. Tidak ada yang bisa saling menyalahkan. Tidak ada pula yang benar saat ini. Kembalikan semuanya ke diri kita masing-masing. Ajukan pertanyaan demi pertanyaan kepada diri kita untuk menyadarkan betapa pentingnya toleransi dan rasa kemanusiaan.
Tidak ada gunanya lagi memikirkan agama mayoritas dan agama minoritas. Semua sama di mata Tuhan. Yang harus dipikirkan saat ini adalah bagaimana cara untuk menjaga kedamaian antarumat beragama di pulau Lombok ini. Bagaimana cara agar duka ini tergantikan senyum yang terlukis di wajah semua orang.
Tidak mudah memang untuk mengembalikan perubahan yang terjadi seperti sedia kala. Semuanya butuh proses dan kerja sama.
Mari mulai dari diri sendiri untuk mengembalikan perubahan itu. Mari tunjukkan toleransi antarumat beragama. Mari perangi keegoisan dalam diri. Mari bantu Lombok untuk bangkit kembali.