Minggu belakangan ini, negeri kita tercinta ramai memperbincangkan pencapresan, baik dari kalangan pengamat politik, anak-anak muda sampai orang tua renta ikut membahas Pilpres 2024, dan juga pencapresan ini beresonansi menjadi perbincangan di berbagai lini masa media sosial dan bingkai pemberitaan media arus utama.
Saking menariknya isu politik nasional ini, saya ikut tertarik membahas kondisi yang terjadi pada kancah politik nasional saat ini. Istilah yang saya pakai untuk menggambarkan posisi dan kondisi koalisi partai yang sudah terbentuk hari ini bisa disebut sedang Kocar-Kacir, saat dari partai pemerintah (koalisi keberlanjutan) PDI-P mengumumkan capres 2024 yang diusungnya.
Namun, bukan berarti kondisi ini tidak dapat terjadi di kubu Koalisi Keberlanjutan. Hanya saja secara faktual, pemberitaan muncul tehadap koalisi-koalisi partai yang sudah terbentuk, yakni Koalisi Perubahan yang dimotori Partai Demokrat, PKS, NasDem, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang dimotori oleh Partai Gerindra dan PKB, Koalisi Indonesia Bersatu yang dimotori oleh Golkar, PAN dan PPP.
Lantas apa sebenarnya yang membuat Petinggi partai Koalisi Kocar-Kacir? Dan semua kalangan tiba-tiba membahas politik? Apakah ini karena Efek pengumuman Ganjar Pranowo sebagai capres 2024? Sehingga sebagian orang sibuk mencari fakta, baik dari sisi prestasi maupun sisi keburukan para calon presiden 2024 yang sudah dideklarasikan oleh petinggi-petinggi partai. Kira-kira, siapa sosok yang pantas melanjutkan estafet kepemimpinan Presiden Joko Widodo di Pemilu 2024?
Silahkan para BuzzeRp, Follower dan Penganut capres yang sudah dideklarasikan komen dan diskusikan di kolom komentar!
Dalam konteks ini berlaku pakem lama seperti ditulis Maxwell E McCombs, Setting The Agenda: The Mass Media and Public Opinion (2013), bahwa saat media memeringkat isu, maka isu tersebut berpotensi di-ranking sebagai isu penting oleh khalayak. Terlebih jika isu yang diagendakan media tersebut memiliki relevansi kuat dengan agenda publik yang berkembang.
Semua Berawal dari Ganjar Pranowo yang Dideklarasikan Sebagai Capres 2024 oleh PDI-P
Pada Jum'at 21 April lalu, di puncak momentum perayaan lebaran, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan membuat kejutan, melalui Ketua Umum-nya Megawati Soekarnoputri yang mempunyai hak prerogatif mengumumkan secara resmi Gubernur Jawa Barat Ganjar Pranowo, sebagai Calon Presiden untuk Pemilu 2024.
Meski hanya diusung oleh satu partai, Ganjar Pranowo tetap bisa mendapatkan tiket capres, karena PDI Perjuangan telah memenuhi persyaratan presidential threshold 20% dengan total kursi 128 (22,26%).
Pencapresan Ganjar oleh PDI-P telah menempatkan kembali sosok Megawati sebagai pengubah permainan (game changer) dan diprediksi akan memiliki efek domino pada peta koalisi di fase akhir kandidasi.
Sempat menguat isu internal pencapresan PDI-P belum tuntas karena masih adanya rivalitas aktual antara sosok Ganjar dan Puan Maharani. Semula banyak yang memprediksi pengumuman capres PDI-P akan di pengujung waktu jelang pengusungan resmi ke KPU, mengingat PDI-P sudah memiliki tiket melampaui ambang batas pencapresan (presidential threshold). Bahkan saking besarnya power PDI-P pada Pilpres 2024 nanti, ada yang memprediksi bahwa PDI-P tidak akan mengumumkan calon presiden 2024 karena ada kepentingan Pemilu di undur, ini hanya sebuah prediksi liar, jadi jangan dianggap serius.
Namun, menurut hemat saya, dinamika internal Ganjar dan Puan di tubuh PDI Perjuangan sangat mudah ditebak, endingnya akan tetap selesai dengan baik siapapun yang diusungnya. Betul saja toh, saat Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDI-P mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden 2024 dan Puan Maharani sebagai Ketua Tim Pemenangan Ganjar. Dan wow efeknya sangat luar biasa! tidak ada protes dari kalangan elit partai sama sekali. Ini semua bisa terjadi karena masih bisa dikendalikan secara internal melalui batasan afiliatif yang berporos pada sosok Megawati.
Arah Koalisi Berubah, Dampak Penunjukan Ganjar Pranowo jadi Capres PDI-P
Pencapresan Ganjar memiliki efek domino (Ganjar Efek) pada komunikasi politik lintas kekuatan. Peluang untuk mewujudkan koalisi besar yang dipertautkan dengan diksi keberlanjutan semakin membesar.
Di sisi lain sudah ada tiga Koalisi yang terbentuk. Koalisi Perubahan yang dimotori Partai Demokrat, PKS, NasDem, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang dimotori oleh Partai Gerindra dan PKB, Koalisi Indonesia Bersatu yang dimotori oleh Golkar, PAN dan PPP. Dengan demikian, Pilpres 2024 berpotensi menghadirkan empat poros utama, Perubahan vs Kebangkitan Indonesia Raya vs Indonesia Bersatu vs Keberlanjutan.
Pencapresan Ganjar kini sudah pasti memiliki basis dukungan setara 128 kursi PDI-P di DPR, sementara syarat ambang batas pencapresan hanya butuh 115 kursi. Dengan demikian, Ganjar sudah bisa maju meski hanya didukung PDI-P. Namun, melaju sendirian tentu sangat berisiko karena melewati fase kandidasi belum menjamin bisa memenangi kontestasi. Oleh karena itu, kerja sama politik sudah pasti akan digalang PDI-P.
Hebatnya, pasca penetapan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden dari PDI-P berdampak besar pada peta koalisi Pilpres 2024. Seperti gayung bersambut, dua partai dari Koalisi Indonesia Bersatu PPP dan PAN secara terang-terangan menyusul PDI Perjuangan mengumumkan calon presiden 2024 pada Ganjar Pranowo. PPP mengusulkan Sandiaga Uno sebagai cawapres Ganjar, sementara PAN mengusulkan Erick Thohir sebagai cawapres Ganjar. Di sisi lain, Golkar masih kukuh mengusung Airlangga Hartarto sebagai capres pemilu 2024.
Lalu bagaimana nasib Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), akankah fix bubar dampak Ganjar jadi capres, dan juga dilihat dari ketidakkompakan antara satu sama lain? Gimana menurut kalian dulur-dulur?
Hal tersebut mensyaratkan mempercepat wacana koalisi besar yang menggabungkan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Sosok-sosok utama yang saat ini digadang-gadang masih di proposal utamanya, yakni sebagai capres maupun cawapres, harus turun ke alternatif terbaik (the best alternative to negotiated agreement) yang bisa disepakati bersama. Misalnya, Prabowo bersedia menjadi calon wakil presiden dari Ganjar Pranowo atau sebaliknya.
Di saat bersamaan, ada sosok yang bisa membangun solidaritas dukungan agar para ketua umum partai politik di Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) tidak bersikeras meminta posisi cawapres. Untuk menengahi capres dan cawapres 2024, Ganjar-Prabowo maupun Ganjar-Erick, atau Ganjar-Sandi akan sangat ditentukan oleh komunikasi politik tiga sosok utama: Megawati, Prabowo, dan Jokowi.
Jika titik temu untuk menyandingkan Ganjar dengan 3 nama cawapres tersebut tidak ketemu, 4 poros koalisi masih sangat mungkin terjadi. Terlepas dari skema koalisi yang akan diinisiasi, penting menghadirkan asas pemilu yang kompetitif, bukan pemilu yang sekadar basa-basi.
Prabowo Terkejut dan Kebingungan
Selain berefek pada koalisi-koalisi besar, ternyata pengumuman Ganjar sebagai capres 2024 oleh PDI-P berefek juga pada dua calon presiden yang sebelumnya sudah dideklarasikan, yakni Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.
Bagaimana tidak, dampak pencapresan Ganjar telah membuat dua calon presiden tersebut terkejut dan kebingungan. Pasalnya, dari kubu capres Prabowo sendiri sebelumnya kuat wacana Prabowo-Ganjar, kini sangat sulit wacana itu akan terealisasi. Bahkan ada dorongan agar Prabowo yang sebaiknya menjadi cawapres Ganjar.
Hal tersebut bisa kita lihat dari manuver Megawati yang tiba-tiba mengumumkan Ganjar kemungkinan besar menyasar Prabowo Subianto. Alasan utamanya adalah Koalisi Besar yang dipercaya akan mengerucut ke Prabowo. Karena sebelumnya banyak pihak menilai Koalisi Besar bertujuan untuk menjepit PDIP sebelum pengumuman Ganjar, disebut terlalu jumawa karena dapat mengusung capres tanpa koalisi.
Yang menjadi menarik pada sub ini adalah kemesraan Ganjar dan Presiden Jokowi di postingan Instagram milik Gubernur Jateng tersebut pasca pengumuman Ganjar sebagai capres. Ini mensyaratkan pada publik bahwa apakah presiden Jokowi akan mendukung kepada Ganjar? Dan nge-prank Prabowo? Yang sebelumnya Prabowo telah banyak melakukan komunikasi politik dan di endorse oleh presiden Jokowi, sebelum pengumuman Ganjar menjadi capres. Ini perlu kita saksikan perebutan dukungan presiden RI Joko Widodo oleh Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.
Artinya apa jika Prabowo tidak mendapat dukungan Jokowi? Dukungan presiden Jokowi terhadap Ganjar membuat Prabowo kebingungan, yakni kondisi Prabowo telah terjepit oleh politik PDI-P sehingga ia harus bersedia menjadi cawapres Ganjar sebagai alternatif terbaik. Karena menurut survei poltracking sebanyak 51.2 persen responden sangat dan cukup berpengaruh dukungan presiden Jokowi ke figur capres-cawapres 2024.
Meskipun Prabowo bisa diusung capres hanya dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang dimotori oleh partai Gerindra dan PKB, tidak mungkin bertarung dengan Koalisi Keberlanjutan dan Koalisi Perubahan. Prabowo sangat paham betapa besarnya ongkos pilpres. Ini bukan hanya soal biaya kampanye atau logistik, melainkan juga SDM tim pemenangan.
Oleh karenanya, sebelum Ganjar benar-benar mendapatkan pasangan yang cocok dan mendeklarasikan cawapresnya, Prabowo harus bergerak cepat, strategis, dan mengambil sikap politik yang benar dengan bersedia sebagai cawapres Ganjar. Seperti penuturan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, kans Prabowo menjadi cawapres Ganjar atau sebaliknya tergantung momen-momen elektoral usai pengumuman bakal capres PDI-P.
Koalisi Perubahan Mengendur, Anies Dipaksa Mundur?
Sementara itu, dampak pasca pencapresan Ganjar pada kubu Anies Baswedan posisi elektoral eks gubernur DKI Jakarta itu terancam jika approval rating Presiden Jokowi meningkat. Pasalnya, Anies selama ini dipandang sebagai capres alternatif, antitesis dari pemerintahan Jokowi. Sehingga jika approval rating Jokowi tidak turun di bawah 70%, maka akan sulit bagi Anies untuk berkompetisi dengan Ganjar dan Prabowo.
Belum lagi isu politik identitas yang tak lepas dari figur Anies Baswedan, sehingga para pendukung Ganjar kemungkinan akan memainkan politik identitas dengan menstigma kubu Anies menggunakan skema politik tersebut.
Dampak yang sangat berbahaya pasca pencapresan Ganjar oleh PDI-P adalah mentersangkakan Anies Baswedan di KPK. Ini sudah menjadi rahasia umum, terkait dugaan korupsi Formula E. Meskipun ini semakin kehilangan momentum, namun belum juga menghilang dari isu yang akan digemboskan oleh para pendukung Ganjar untuk menjegal Anies.
Tidak berlebihan menyematkan sub pembahasan ini dengan mengatakan Koalisi Perubahan Mengendur, dan Anies harus mundur? Mengingat juga kecil peluangnya menggaet partai-partai di parlemen lain untuk bergabung selain partai baru seperti Partai Ummat pasca pengumuman Ganjar Pranowo sebagai capres 2024. Bahkan sang capres dari Koalisi Perubahan Anies Baswedan mengaku sumber daya yang dimilikinya kalah jauh dibandingkan dengan capres lain yang berkompetisi di Pilpres 2024.
Koalisi partai-partai lain siap untuk menggerus suara koalisi perubahan, jika saja mereka lengah dan terlalu lelah berkampanye untuk Anies Baswedan. Surya Paloh, AHY dan Ahmad Syaikhu beserta stakeholders partai koalisi perubahan perlu rasanya bekerja esktra untuk mengangkat elektabilitas capres skala nasional, provinisi, dan kabupaten/kota.
Di tengah stagnannya proses pencarian calon “pengantin” yang akan mendampingi eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, PKS terlihat paling rajin dan aktif menggaet cawapres yang dianggap potensial usai nama eks Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, “jalan di tempat”.
Nama-nama cawapres potensial seperti bekas pasangan Anies Baswedan di Pilgub DKI Sandiaga Uno, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, hingga Mahfud MD yang elektabililtasnya terkatrol naik usai kasus potensi penyalahgunaan ratusan triliun di Kementerian Keuangan, ditawarkan PKS untuk menjadi bakal cawapres Anies Baswedan.
Demokrat yang masih ngos-ngosan menyorongkan nama ketua umum-nya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai pendamping Anies Baswedan tentu kesal dan kecewa dengan sikap PKS yang terlalu “genit”. Tidak urung NasDem juga senada dengan sikap Demokrat yang begitu gundah gulana dengan manuver PKS yang terlalu “kreatif”.
Dari strategi politik, PKS tentu punya alasan yang sah mengingat PKS tidak ingin Anies Baswedan tersandera oleh resultan tarik menarik kepentingan partai-partai. PKS tentu tidak ingin Anies Baswedan selamanya akan “jomblo” dan ke depannya akan merugikan kepentingan PKS sendiri.
Artinya, koalisi perubahan perlu gerak cepat untuk mengawinkan Anies Baswedan dengan calon wakil presidennya. Semakin lambat koalisi perubahan, maka akan berpotensi kehilangan peluang mendapatkan cawapres yang pas untuk Anies, dan akan semakin banyak kehilangan momentum untuk koalisi perubahan kedepan.
Namun, politik bukanlah matematika! Tentu membangun koalisi besar partai politik tak semudah membalikkan telapak tangan. Harus ada kesepahaman dan kesepakatan, terutama menyangkut tiga hal, yakni paket nama pasangan capres dan cawapres, skema keuntungan kekuasaan di masa mendatang (power sharing), dan mekanisme pembiayaan pemilu.
Akankah pasca pencapresan Ganjar di pentas Pilpres 2024 diramaikan oleh tiga atau empat pasangan capres-cawapres? Mungkinkah akan terjadi “head to head” antar dua pasangan saja?