Dari mana asalnya Soju dan Sake yang bisa memabukkan itu? Asalnya dari air beras. Ya, Dari air bahan alam yang menjadi makanan pokok kita sehari-hari. Lalu dari mana asalnya Ciu yang juga memabukkan itu? Asalnya dari tebu yang biasa diolah menjadi gula, atau dari ketela pohon yang biasa diolah menjadi tepung dan kita kudap sehari-hari. Begitu pula Tuak, yang asalnya dari air nira yang sangat menyegarkan. Bahkan di Jogja, seorang teman pernah agak mabuk karena minum air fermentasi salak yang disediakan oleh cafe tempat dia nongkrong.

Sewaktu remaja, beberapa teman saya pernah bereksperimen membakar daun teh siap seduh yang dijadikan seperti tembakau rokok, lalu kemudian menghisap asapnya. Hasilnya? Mereka mabuk. Lalu salah seorang teman juga berkata bahwa kangkung yang sudah kering dan dibakar bisa bikin kepala melayang-melayang.

Beras, tebu, air nira, ketela pohon, teh, kangkung, salak, adalah bahan-bahan alam yang biasa kita konsumsi sehari-hari dengan cara dimakan dan diminum. Bukan hanya mengenyangkan dan menyegarkan, bahan-bahan ini juga sarat kandungan nutrisi yang baik bagi tubuh. Tapi ketika bahan-bahan ini diolah dan digunakan dengan cara yang berbeda, ternyata mereka bisa menghilangkan kesadaran manusia. Sama seperti lem aica-aibon, yang bisa bikin manusia berhalusinasi ketika menghirupnya, padahal lem ini sangat berguna bagi orang seperti saya yang sendal dan sepatunya sering mengalami perekahan dini di bagian telapak.

Saya adalah seorang muslim. Di kelas, saya sering bertanya pada mahasiswa saya yang muslim: "Babi itu haram jika "dimakan" to? Kalau misalnya suatu saat ditemukan fakta bahwa dagingnya adalah bahan yang baik bagi campuran aspal jalan raya, boleh tidak dia digunakan? Haram tidak kita melewati jalan aspal tersebut?". Sampai saat ini saya belum menemukan mahasiswa yang mampu menjawab ini dengan baik. Bahkan yang berani menjawab pun bisa dihitung dengan jari tangan.

Saya (dan pastinya juga banyak sidang pembaca sekalian) melihat dan merasakan bagaimana terkadang sebagian dari masyarakat kita tidak mampu memahami suatu perkara secara holistik dan substansial. Ketika ada barang “A” yang kemudian dilabeli “B” bila “C” karena “D”, maka ada yang secara semena-mena langsung mengeneralisir bahwa “A” pasti “B”. Kita mengabaikan sama sekali perkara bila “C” karena “D”. 

Contoh: “Babi” itu “Haram” bila “Dimakan” karena “Mengandung banyak zat-zat yang berbahaya bagi tubuh”. Nah, gejala yang saya lihat di masyarakat, ada yang menganggap seolah-olah babi ini adalah binatang haram yang tidak ada satupun gunanya. Titik. Mau dimakan, mau dijadikan penjaga kebun, mau dijadikan bahan campuran beton, pokoknya haram. Dan itulah mengapa banyak mahasiswa saya yang ragu menjawab pertanyaan saya sebelumnya.   

Logika ini juga bisa kita gunakan untuk barang yang halal. Misalkan: “Lem Aibon” adalah “Halal” bila “Digunakan untuk merekatkan tapak sepatu” karena “Berguna bagi kelangsungan aktivitas manusia”. Tapi ini tentu bisa berubah menjadi: “Lem Aibon” adalah “haram” bila “dihirup” karena “dapat menghilangkan kesadaran manusia”.

Dari sini tentu kita belajar sebuah “substansi”, bahwa babi akan menjadi haram apabila ia kita konsumsi, artinya ia masuk dan bersatu dengan tubuh kita. Oleh karena itu, yang haram adalah segala sesuatu yang menyebabkan bagian tubuh babi bersatu dan campur aduk dengan tubuh kita. Begitupun aibon, ia halal jika digunakan sebagai alat perekat benda-benda yang biasa kita gunakan. Tapi ketika aroma yang dihasilkan oleh uap aibon tersebut dihirup oleh alat pernafasan kita, ia adalah larangan, karena menghilangkan kesadaran. Maka aibon boleh jadi perekat, tapi tidak boleh untuk dihirup.

Logika tentang "kontekstualisasi" sesuatu ini bagi saya perlu. Walaupun harus diakui, banyak juga orang yang menjadikan kontekstualisasi ini hanya untuk membenarkan kelalaian mereka dalam menjalankan aturan-aturan.

Semalam, saya menonton tayangan Mata Najwa yang menghadirkan kakak Fidelis. Fidelis adalah seorang tersangka kasus kepemilikan sejumlah pohon ganja. Masalahnya, Fidelis menanam pohon ganja bukan untuk dibakar daunnya lalu kemudian dihirup asapnya, melainkan untuk mengambil ekstraknya, yang digunakan untuk mengobati penyakit kronis yang diderita istrinya.  

Ia sudah pernah menanyakan perkara ini kepada BNN, namun tidak digubris. Ia kemudian malah disuruh tes urin, yang hasilnya negatif. Namun kemudian ia tetap dijebloskan ke dalam penjara, karena terbukti melanggar undang-undang karena menanam sejumlah pohon ganja (Cerita lengkap mengenai kasus fidelis ada pada tulisan ini http://www.qureta.com/post/ganja-syringomyelia-dan-uu-narkotika).  

Lalu pertanyannya, apakah salah jika ganja dijadikan obat dengan proses pengolahan tertentu? Atau seperti sejarahnya, dijadikan bahan serat tekstil dan kertas yang konon kualitasnya sangat baik? Saya belum benar-benar menemukan jawaban final. Memang saya adalah seorang muslim yang tentu mengharamkan khamr dan zat-zat yang dapat memabukkan lainnya. Akan tetapi, saya tidak menutup diri untuk berdiskusi perkara ini.

Saya adalah orang yang bodoh dan masih terus belajar dalam perkara agama. Tapi setidaknya saya pernah mendengar bahwa dalam keadaan yang amat terdesak, agama memperbolehkan penggunaaan bahan-bahan yang dilarang. Dan dalam kasus Fidelis ini, kita harus mengakui bahwa negara telah melakukan ketegasan yang bisa mengarah pada kebodohan. 

Padahal seharusnya pihak yang berwajib cukup melakukan tes urin, dan kemudian menelusuri apakah Fidelis memperdagangkan ganja kepada orang lain. Jika tidak terbukti, maka di saat itulah negara harus “hadir”, dengan mengalihkan perkara pada “proses penyembuhan istri fidelis”. Lakukan serah terima perkara dari penegak hokum kepada tenaga medis.

Entahlah, negara ini masih saja bisa sangat toleran pada bentuk kriminal-kriminal besar di satu sisi, tapi bisa sangat luar biasa tegas dalam bentuk kriminal-kriminal kecil di sisi lain.