Beberapa hari belakangan, pemberitaan begitu terfokus pada bursa cawapres Presiden Jokowi dan seteru utamanya, Prabowo Subianto. Saban hari, di tengah duka dan tangis warga Pulau Lombok yang diguncang gempa dahsyat, layar kaca berebut berita dengan bursa cawapres kedua kubu. 

Sejenak, apa yang dipertontokan oleh kondisi politik negara ini mengingatkan saya pada serial blockbuster global, Game of Thrones.

Konflik Elite, Iron Throne, dan Kursi Kepresidenan 2019

Dalam serial Game of Thrones, konflik yang ditunjukkan adalah konflik antara keluarga-keluarga yang memiliki pengaruh kuat di Westeros, seperti House Lannister, House Baratheon, House Targaryen, dan House Stark. Mereka berperang, berpolitik, mendukung, dan mengkhianati satu sama lain dengan satu tujuan, yaitu menduduki Iron Throne

Tidak pernah ditampilkan ketertarikan para Lord dan Lady di serial tersebut pada masyarakat Westeros yang malang melebihi ketertarikan mereka pada kursi yang terbuat dari Valyrian Steel konstruksi Aegon Targaryen I tersebut.

Kondisi serupa tidak jauh berbeda dengan kondisi politik Indonesia belakangan. Konflik yang dipertontonkan hanya berfokus pada kubu Presiden Jokowi dan Prabowo, baik di internal maupun antarkubu. Mulai dari tarik-ulur koalisi, bongkar-pasang cawapres, dan gimmick-gimmick politik lain yang penuh kode. 

Tujuannya hanya satu, memenangkan kursi Presiden 2019. Sementara gagasan-gagasan atau ide mengenai masyarakat atau visi terhadap negara ke depannya, baik oleh kedua kubu, tidak pernah dipertontonkan atau diutarakan dengan jelas.

Konflik yang dipertontokan dalam Game of Thrones dan perpolitikan Indonesia saat ini memiliki kesamaan, keduanya adalah konflik elite. Konflik sendiri menurut Lewis Coser adalah “suatu pertarungan yang mengatasnamakan nilai dan klaim untuk mengamankan status, kekuasaan, dan sumber daya, suatu pertarungan yang tujuan utamanya adalah menetralkan, menghancurkan, atau bahkan menghilangkan lawan” (Coser, 1956: 76).

Sementara elite dalam definisi C. Wright Mills adalah “individu-individu yang menduduki posisi puncak atau komando pada lembaga-lembaga utama dalam masyarakat baik lembaga ekonomi maupun militer dan politik.” (Budiman, 2013: 55).

Singkatnya, konflik elite adalah konflik antara individu-individu atau kelompok yang menduduki posisi puncak dalam masyarakat, dengan mengklaim berdasarkan nilai tertentu, yang tujuannya adalah untuk mengamankan status, kekuasaan, atau sumber daya, dengan target menundukkan atau bahkan menghancurkan individu atau kelompok lawannya.

Dalam serial Game of Thrones, konflik elite ditunjukkan dari plot cerita yang berfokus pada aksi perang dan lobi-lobi politik antar House di Westeros. House Stark yang didukung House Targaryen, dengan dalih demi rakyat Winterfall dan Westeros, berperang melawan House Lannister yang merupakan pihak status quo yang kejam. Tetapi pada akhirnya, konflik yang ditampilkan lebih kepada bagaimana cara Daenerys menduduki Iron Throne.

Sementara dalam konteks perpolitikan Indonesia, konflik elite ditunjukkan dari pemberitaan yang hanya seputar kubu Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto, dengan dalih menyelamatkan rakyat dan negara, namun pada akhirnya hanya seputar bagaimana salah satu capres menduduki kursi kepemimpinan Republik Indonesia tahun 2019.

Lalu, sebagai objek politik dan justifikasi dari konflik yang berlangsung, di mana sebenarnya posisi masyarakat dalam konflik elite? Layaknya penonton Game of Thrones yang terhibur oleh pertunjukan politik para aktor dan aktris, di situlah letak masyarakat yang sebenarnya, sebagai penonton. 

Atau jika mungkin berperan, mereka paling-paling sebagai tentara yang sibuk meneriakkan “Hear me roar!” atau “2019 ganti presiden” (sementara tanpa sepenuhnya tahu arti dari jargon tesebut), atau pahit-pahitnya sebagai pelanduk yang mati di tengah-tengah antara konflik para elite.

Begitulah karakteristik konflik elite, ia tertutup dan tidak memberi ruang pada opini masyarakat yang dipandang tidak lebih dari kerumunan yang dapat diberesi. Jika ingin didengarkan, maka menjelmalah menjadi elite yang baru. Misal, dengan membuat partai politik macam PSI, atau membangun pasukan kaum bar-bar dan menyeberangi Narrow Sea layaknya Daenerys Targaryen.

Littlefinger

Satu lagi fenomena terbaru dalam perpolitikan Indonesia yang ingin saya kaitkan dengan Game of Thrones. Dari konflik panjang antar House di serial Game of Thrones, ada satu nama yang menjadi dalang. Ia adalah Lord Baelish atau Littlefinger. 

Lord Baelish bukanlah keturunan bangsawan layaknya Lord dan Lady dari House-House lain di Game of Thrones. Ia mendapatkan gelar Lord karena kesuksesannya sebagai pengusaha dan kelihaiannya berpolitik. Kelihaiannya ini juga yang menyebabkan satu Westeros berperang.

Dengan mendompleng dendam lama antar House di Westeros, Littlefinger mengadu domba House Lannister dan House Stark sehingga tercipta perang besar dan panjang. Pada awal konflik, Littlefinger yang bermain dua kaki, berada di kubu House Lannister dan secara halus mempengaruhi Queen Cersei Lannister untuk menghancurkan House Stark.

Namun pada akhir cerita, dengan menimbang pengaruh Littlefinger, Sansa Stark terbujuk rayuan politiknya. Littlefinger menjelma menjadi hero yang menyelamatkan House Stark dari kekalahan perang melawan House Bolton.

Sosok Littlefinger mengingatkan saya pada sosok cawapres gandengan Presiden Jokowi. Masih segar di ingatan bagaimana ia selaku Ketua MUI mengeluarkan fatwa terkait kasus penistaan agama oleh Ahok sehingga menyebabkan ribuan orang atas nama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) beserta ribuan lainnya turun ke jalan menggelar aksi demo membela agama.

Demo ini yang menjadi awal berkembangnya isu agama dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, dan terus berlanjut sampai sekarang. Berlarutnya isu agama menyebabkan Presiden Jokowi semakin tersudut dan terjadi perpecahan masyarakat di akar rumput.

Oh iya, saya baru ingat kesamaan masyarakat dalam serial Game of Thrones dan fenomena politik di negara kita. Peran paling penting masyarakat yang ditonjolkan dalam Game of Thrones hanyalah sebagai kekuatan dalam mendukung kelompok agamis untuk mengintervensi pemerintahan.

Ada satu episode ketika Queen Cersei ditelanjangi dan diarak seantero Westeros, dihina dan dilempar, karena dianggap sebagai orang yang penuh dosa dan harus dihukum karena hasutan para Septa. Sementara King Tommen selaku penguasa Westeros tidak dapat berbuat apa-apa melihat ibunya dipermalukan sebab pengaruh para Septa yang kuat dalam masyarakat. Sedikit mirip dengan di Indonesia, bukan?

Kembali ke Littlefinger, ia yang semula merupakan sosok villain, dalang dari kegaduhan, namun pada akhirnya menjelma menjadi hero bagi House Stark. Kini sang cawapres juga demikian. 

Terima kasih pada konflik elite yang bersifat tertutup, terlepas dari segala kontroversinya, sang cawapres digandeng sebab salah satunya dianggap akan mampu menyelamatkan kubu Presiden Jokowi pada Pemilu 2019 dengan mengendalikan kelompok konservatif, yang ironisnya justru tercipta karena andil dirinya. Ia merupakan pengejawantahan dari sosok Littlefinger si politisi sejati.

Cersei Lannister atau Daenerys Targaryen?

Kini sudah jelas siapa yang mendampingi Presiden Jokowi selaku petahana dan mendampingi lawannya, Prabowo Subianto, dalam Pemilu Presiden 2019 mendatang. Pertanyaan yang selanjutnya dilontarkan adalah bagaimana posisi rakyat dan negara dalam lima tahun mendatang? Apakah pemberitaan dan fenomena politik yang muncul masih terus seputar konflik elit?

Tentu kita tidak berharap negara ini nantinya menjelma menjadi Westeros, di mana Queen Cersei yang kejam tidak ingin meletakkan kekuasaannya semata-mata hanya karena ego House Lannister. Ia memilih berperang melawan Daenerys Targaryen yang juga datang jauh-jauh sebab dimotivasi oleh dendam lama karena keluarganya dihancurkan oleh House Lannister. Tidak ada posisi rakyat Westeros yang malang sampai dengan episode terakhir serial ini.

Bagi para pendukung #2019GantiPresiden maupun #JokowiDuaPeriode: sadarlah, Anda hanya bagian dari kerumunan yang berteriak-teriak “hear me roar!” atau “fire and blood”, namun dengan mengenaskan akan tewas di medan laga jika “House” andalan kalian tidak menurunkan program yang jelas terkait masa depan rakyat seperti kalian dan negara ini.

Karena layaknya serial Game of Thrones, jika tetap saja yang ditonjolkan adalah konflik para para penguasa, maka siapa pun ratunya, entah Cersei atau Daenerys, Westeros akan terus berkonflik dan rakyat tetaplah hanya kerumunan yang sewaktu-waktu dan dengan entengnya dibereskan.

Namun memperhatikan duet capres-cawapres kubu Presiden Jokowi yang dibentuk semata demi kepentingan koalisi, serta penggandengan cawapres kubu Prabowo yang berasal transaksi politik, konflik elite sepertinya akan terus menjadi tontotan kita selama beberapa waktu ke depan. 

Drama perang antarkoalisi, posisi Partai Demokrat sebagai pasukan tambahan yang masih belum angkat senjata layaknya tentara bayaran dari Bravos, serta saling teriak jargon perang yang kosong, akan akrab di mata penonton.

Mungkin kita perlu menunggu datangnya The Night King yang akan membuat kelompok-kelompok elite sementara damai dan mulai memperhatikan Westeros tercinta.