Menyoroti perihal kekerasan seksual, sejatinya hanya menambah derita dan luka, bagi saya atau mungkin para korbannya. Bagaimana tidak, setiap isu ini dilontarkan ke tengah lingkaran diskusi kecil, responsnya justru jauh panggang dari api.

Ada yang bilang, “membicarakan kekerasan seksual tidak pada posisi korban hanyalah basa-basi belaka.” Kepedulian saya terhadap kasus kekerasan seksual yang marak belakangan ini agaknya akan sulit menemukan tempat, meskipun hanya sebatas curhat.

Masyarakat secara umum acap kali abai dengan perkara yang telah menyentuh angka tiga ratus ribu lebih itu (komnasperempuan.org.id). Ke mana akan saya titipkan kegelisahan ini agar mendapat solusi konkret kalau bukan kepada negara, melalui pejabat legislator, misalnya?

Sayangnya, isu yang telah dipercayakan untuk dibahas para wakil rakyat, komisi VIII (komisi agama, sosial, dan perempuan) sejak 2016 silam itu, tak juga ketuk palu. Beragam dalih, alasan, dan tetek bengeknya pun dilontarkan.

Akibatnya, sebagian masyarakat telah terjebak dan menganggap tindak kekerasan seksual, yang merusak fisik atau psikis para korbannya, sebagai kejahatan moral belaka. Anggapan tersebut kemudian diperparah dengan pembenaran yang diberikan negara melalui aturan hukumnya, pasal 289 sampai pasal 296 KUHP, misalnya.

Realitas itu seakan memberi sinyal bahwa berharap kasus tersebut mendapat keadilan di mata hukum adalah sia-sia saja. Kasus Baiq Nuril yang telah menyita perhatian publik, contohnya. Upaya untuk memberikan efek jera bagi Muslim justru menghantarkannya ke jeruji penjara.

Buah simalakama itu benar adanya. Tatkala korban kekerasan di negeri ini didominasi oleh kaum perempuan, nyatanya perlakuan yang mereka terima justru tak seirama dengan apa yang diharapkan.

MPPI-FHUI (Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia) menemukan, 87 persen perempuan dewasa dan 83 persen anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual (aa.com.tr).

Keterangan senada juga disampaikan Sekmen P3A (Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Pribudiarta Nur Sitepu. Ia menyebutkan, 1 dari 3 perempuan Indonesia mengalami kekerasan.

Dari sederet temuan fakta itu, Nuril bukanlah satu-satunya korban kekerasan seksual dan ketidakadilan. Masih banyak kasus serupa yang penyelesaiannya dipaksa berhenti hanya sampai meja perdamaian, di luar proses peradilan.

Kajian dan analisis tentang menjamurnya tindakan kekerasan seksual sejatinya telah banyak diutarakan. Mulai dari kentalnya budaya patriarki, ketimpangan relasi kuasa, pembolehan atau pembiaran masyarakat, sampai lemahnya aturan hukum. Bagi saya, poin terakhirlah yang lebih jelas rimbanya.

Pembaca tentu telah mengetahui dan menyadari bahwa kejahatan adalah permasalahan yang kerap menyambangi masyarakat di dunia, dulu, kini, dan akan datang. Kehadirannya bahkan seumuran dengan masyarakat itu sendiri, sehingga kejahatan sebagai suatu gejala akan selalu diikuti oleh pemahaman masyarakat pula.

Sialnya, menurut hemat segerombolan teman-teman di atas, kekerasan seksual adalah kejahatan moral saja. Menjengkelkan memang pandangan yang tidak dapat saya sepakati itu. Tapi apalah daya, niat hati memeluk gunung, tangan tak sampai, RUU PKS tak kunjung disahkan. "Maju-mundur cantik," kata Sahrini.

Konsekuensinya, pelaku kekerasan seksual hanya dianggap sebagai individu yang immoral, sehingga pembiaran oleh orang yang melihat, mendengar, dan mengetahui secara langsung perbuatan demikian juga dipandang sebagai immoral pula.

Jelas saja, korbannya tidak akan mendapat keadilan jika masyarakat menggunakan pola pikir serampangan seperti itu. Ini bukan soal keikhlasan para korban menerima derita yang dialaminya. Lebih dari itu, harus disayangkan pula keadaan pelaku yang masih leluasa melenggang dan menghantui siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.

Masih banyak pengaduan dan kasus kekerasan seksual yang tidak tertangani dan terlindungi karena ketiadaan payung hukum (nasional.tempo.co). Waspadalah, aturan moral tok tidak cukup memberimu rasa aman. Ia harus ditopang dengan regulasi yang jelas untuk dijadikan bodyguard.

Melalui tulisan ini, saya berharap pembaca tidak lagi melihat kekerasan seksual sebagai kejahatan moral belaka. Tidak semua orang butuh akan aturan moral. Jika boleh berandai-andai dengan mengatakan bahwa setiap orang dapat berjalan pada koridor moralitas, tentu peran negara tidak lagi dibutuhkan.

Mengatakan kekerasan seksual sebagai kejahatan yang melanggar norma moral belaka tidak lebih baik ketimbang menyebutnya sebagai perkara yang melanggar norma hukum.

Secara filosofis, di dalam diri manusia selalu terjadi gejolak antara “apa yang saya inginkan” dengan “apa yang seharusnya saya lakukan”. Setiap individu tidak serta-merta dapat bertingkah laku sebagaimana aturan moral kehendaki.

Secara kronologis, setiap pelaku, korban, dan pihak lain akan mengalami gejolak tersebut tatkala dihadapkan pada kasus kekerasan seksual. Lain halnya dengan norma hukum yang mampu memaksa seseorang untuk bertindak atau tidak bertindak, sesuai kehendak maupun di luar kehendak.

Norma moral, pada satu sisi, dapat menjadikan seorang individu yang baik. Akan tetapi, di sisi lain, individu mesti dicekoki aturan hukum agar menjadi warga negara yang baik pula. Kekerasan seksual yang dikecam norma moral dan diancam hukuman akan membentuk individu sekaligus warga negara yang baik.

Penyelesaian tindak kekerasan seksual tidak lagi dapat dipercayakan pada norma moral. Sudah saatnya norma hukum mengambil alih dan memainkan perannya.

Paradigma yang menganggap kekerasan seksual sebagai kejahatan moral semata tidak dapat diterima. RUU PKS harus didesak dan segera disahkan. Upaya tersebut akan memunculkan suara genderang, menyeru kita bersama untuk peka terhadap kekerasan seksual yang tengah mengintai.

Kehadiran UU PKS, nantinya, akan memberikan jaminan bahwa kekerasan seksual bukan masalah yang bersifat deskriptif saja, lebih dari itu praktiknya akan menjadi permasalahan yang preskriptif sebagaimana tujuan hukum itu sendiri.

Mengidealkan tatanan masyarakat nir-kekerasan seksual merupakan pemikiran mulia. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana masyarakat kita tanpa UU PKS; pikiran saya dituntun untuk membuat kesimpulan bahwa satwa lebih layak dilindungi ketimbang manusia.