…lagu keroncong lama, berjudul Sepasang Mata Bola.

Keroncongan di Poros Chairil Anwar

Lagi-lagi siang hari ini, perjalanan yang cukup panjang dari arah Jakarta menuju ke timur hingga rencananya perbatasan Cikarang, karena suatu urusan.

Terhitung masih pagi sekira jam 9-an, namun hawa terasa cukup hangat karena melaju kendaraan menuju arah timur, tepat sang surya menebar cahaya cerah pas liburan akhir pekan.

Cukup menyenangkan karena hari minggu jalanan tak sepadat hari kerja.

Hingga, melewati daerah bernama Tambun yang di sebelah kiri sebelum pasar tak jauh dari stasiun kereta adalah Gedung Juang, satu tempat bersejarah saksi bisu kisah perjuangan melawan penjajahan, yang tergambar dalam puisi karya Chairil Anwar, yakni; Karawang Bekasi.

Dari titik gedung itu, jalanan agak tersendat karena memang daerah pasar tradisional dengan pedagang kaki lima yang banyak juga memenuhi jalan pedestrian, tiba-tiba perut saya melantunkan satu orkes yang lamat-lamat adalah lagu keroncong lama, berjudul Sepasang Mata Bola.

Pas liwat daerah stasiun, perut saya keroncongan melantunkan lagu itu.

Lapar, karena sedari tadi belum sarapan, hanya minum secangkir kopi hangat dengan roti tawar.

Lha? Bukannya itu sudah sarapan? Iya si, tapi kan belum nendang.



Ini pasti pesan alam!

Setelah Memitas Putar Balikan Darurat

Sempat tersendat, kendaraan pun melaju pelan namun pasti yang entah kenapa setelah gedung putih berhias garis merah dengan plang besar terbaca Palang Merah Indonesia, PMI, sisi kiri jalan menjelang suatu proyek pasar, tiba-tiba kepala saya memutar, menengok ke kanan.

Alam memang seringkali demikian, memberi pesan dengan cara yang sebelumnya tak terbayang oleh pikiran.

‘Gado-Gado Bang Paul’ demikian tulisan yang saya baca dari kejauhan. Lagi-lagi tulisan mungil kehijauan itu masih terbaca. Ini pasti pesan alam!

Ya alam memberi pertanda kepada saya, bahwa di warung pada sebuah ruko dekat rombong kelontong tepi jalan inilah saya kudu mampir menyelesaikan orkes irama keroncongan yang semakin lama saya dengar bertempo cepat nada dan iramanya.

Saya pun agak mendadak memelankan kendaraan dengan raut wajah bagai si Indro Warkop DKI pas ngerem sepeda sebelum kecemplung masuk kolam, dalam sebuah adegan.

Mendadak terlihat ada putaran balik setelah PMI ternyata. Jelas, putaran-putaran balik darurat di kebayankan jalan raya kota-kota besar di pulau Jawa mendatangkan rejeki bagi anak-anak muda sukarelawan pengatur lalu lintas.

Pengemudi kendaraan apakah roda dua, terlebih roda empat, bisa dengan sukarela memberi tips, setidaknya bangsa seribu atau dua ribu Rupiah, atas bantuan mengatur jalan agar kendaraan aman untuk memutar balik pada jalan yang sebenarnya tak di desain sebagai putaran balik yang aman.

Pak Ogah, demikian julukan yang sering dikenal bagi sukarelawan pengatur lalu lintas yang demikian. Meski liar, namun jasa mereka sering kali dibutuhkan bagi pengendara yang memerlukan jalan pintas agar lekas sampai tujuan.

Apabila ada kepedulian dari pihak pemerintah yang memiliki ranah tata tertib lalu lintas jalan raya, maka keberadaan anak-anak muda sukarelawan tersebut bisa ditata dengan memberikan pelatihan pengaturan lalu lintas, honor, termasuk lokasi-lokasi jalan pintas yang dinilai sah dan aman.



… Eh, tolong.

Warung Mungil Nyempil

Tak lama saya punya angan-angan yang demikian tentang keberadaan sukarelawan pengatur lalu lintas yang lebih tertib dan sah dilindungi oleh aturan ketenagakerjaan. Karena tak sampai 100-an meter dari jalur pintas putar balik tak resmi itu, saya telah sampai tujuan, sebuah warung gado-gado sesuai petunjuk alam.

Saya parkir kendaraan, lalu berjalan pelan-pelan, tanpa perlu mengendap-endap, menuju warung sederhana, mungil nyempil di jajaran ruko-ruko, namun rapi bersih berukuran bangsa 3x3 meteran.

Gerobak etalase aneka isian gado-gado Kuningan Bang Paul tampak memikat, seolah melambai-lambaikan tangan, mengajak singgah para pelaju kendaraan.

Gado-gado Kuningan, demikian tulisan melengkapi gerobak etalase yang penuh dengan aneka isian gado-gado berupa aneka sayuran serba rebus serta tatanan mengolah bumbu kacang dan kawan-kawannya yang khas wilayah barat, yakni menguleknya yang langsung dilakukan di tempat. Bukan gado-gado bumbu siraman yang sudah tersimpan dalam wadah besar ala Jawa Timuran.

Juga, adalagi satu yang khas pula, yakni berupa pilihan menu bagi berminat ditemani oleh nasi atau lontong dalam seporsi gado-gado yang dipesan.

Saya pilih lontong.

Kenapa saya milih lontong? Karena perut saya sedari 30-an menit sebelumnya sudah berteriak-teriak minta lontong.... Eh, tolong.

Sambil menanti sajian terhidang, ada beberapa pelanggan yang tampak asyik menikmati gado-gado pesanannya. Adapula yang asyik ngobrol dengan teman-temannya, sama seperti saya, menanti olahan gado-gado dalam sebuah cobek batu kali yang besar.

Terampil dan bersih dua pria muda mengolah gado-gado pesanan. Keduanya mengenakan kain celemek, satu alat pelindung diri para koki saat beraksi mengolah masakan. Namun sayangnya mereka tak kenakan topi atau peci.

Semoga gak ada seutas rambut pun dalam sajian gado-gadonya nanti.



…berubah menjadi suatu plaza…

Bagai Wahana UFO

Terhidang!

Seporsi gado-gado tampak menggunung, berlimpah isian sayur, lontong, tahu dan tempe berguyur bumbu kacang, tertata di atas sesobek daun pisang.

Kerupuk terhidang, terpisah dalam satu mangkok besar. Menggunung pula.

Bismillah, saya mengincip sesendok gado-gado olahan Bang Paul asal Kuningan ini.

Manteb! Sedep, bumbunya halus, cita rasa klasik gado-gado khas Jawa Barat yang dijamin mampu menggoyang lidah ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah, depan, belakang, muter-muter tak karuan, saking belum bisa selengkapnya tergambar itu kenikmatan.

Saya pesan gado-gado pedas sedang. Saya sempat menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sebotol kecil kecap yang mungkin ada.

Gagal. Nggak ada kecap tersedia di meja pelanggan warung ini. Adanya hanya di dalam gerobak tempat meracik gado-gado. Saya mau minta itu kecap, sungkan. Khawatir merepotkan.

Keliru saya sendiri, terlanjur jatuh cinta sama kecap. Apa-apa saja makanan yang terhidang, hampir selalu saya kecapin.

Kali ini saya pasrah, gado-gado ulek nggak saya kecapin.

Seporsi gado-gado ulek Bang Paul tampak menggairahkan seimbang dengan cita rasa khas ala Kuningan.

Tandas! Seporsi gado-gado yang tadi menggunung, sekarang seolah berubah menjadi suatu plaza, bentangan alam datar nan luas.

Kerupuk juga demikian. Hanya meninggalkan remah-remah saja.

Oh iya, tadi saya sering menaruh sesendok gado-gado ke dalam cekungan kerupuk, sebelum saya menyuapkannya ke dalam mulut saya sendiri. Sensasional.

Ibarat kerupuk adalah wahana pesawat terbang UFO. Sementara, sesendok gado-gado adalah alien, si penumpang wahana berbentuk piring terbang itu. Lalu, saya si buto ijo, sang raksasa hijau yang melumat wahana UFO seisinya. Cuman ini sekali lagi, ini si buto ijo yang doyan kecap.

Segelas air mineral saya habiskan, demi memadamkan rasa pedas, meski dalam takaran sedang, pedas-pedas nikmat.

Lalu, saya pun pamit pulang, melanjutkan perjalanan sambil membayangkan pesona alam Kuningan.

Semoga wilayah Kuningan Jawa Barat, bisa tetap mempertahankan keelokan lingkungan hidupnya, tetap menginspirasi bagaimana seharusnya bahan-bahan alami, yakni sayur, buah, kacang, gula aren, empon-empon dan padi yang berkualitas prima sebagai bahan utama gado-gado.

Suatu inspirasi mendasar, guna menjaga kelestarian lingkungan dan menunjang ketahanan pangan.