Beberapa minggu ini setiap menulis dan ingin menyelesaikannya aku selalu gagal. Tulisan-tulisan itu menjadi hantu, ide yang mati dalam beberapa paragraf. Sebagian masuk di labirin kepala menjadi mimpi-mimpi buruk.
Seperti Karna di tokoh mahabrata aku seperti dikutuk tak bisa menggunakan kemampuan. Akhir-akhir ini sulit sekali menulis, bahkan menulis status receh di facebook saja aku sudah tak bisa, menyebalkan.
Teringat kata-kata Viktor L. Frankl seorang psikiater yang mengatakan kemungkinan seseorang bertahan hidup lebih lama jika dia memiliki tujuan sempat berpikir apakah aku bermasalah dengan tujuan atau tujuan menulisku masih belum jelas, entahlah. Lama memikirkan hal itu. Berdiam diri dihadapan laptop yang menontonku. Aku seperti bermonolog dihadapan benda mati itu, tak menemukan jawaban hanya kesunyian yang kurasa mengema dalam bilik-bilik kepala. Ah gila Mungkin aku terlalu serius, terlalu tegang. Ya! Apapun itu aku ingin membunuh writer block ini.
Secara teori aku tak memiliki masalah menulis. Aku bisa mengali ide dan mengumpulkannya dalam bentuk yang utuh. Hanya saja semua berhenti disitu. Kesulitan merangkai kata, membahasakan yang ada dalam pikiran menjadi satu-satunya kendala. Entah apa yang terjadi minggu-minggu ini seperti kegelapan. Kepalaku menampung mendung hitam yang tak bisa dipecahkan.
Tentang menulis seperti keajaiban, kadang bisa menulis dengan cepat menyelesaikan tulisan tanpa kendala, lalu seketika bisa kehilangan kemampuan itu. Fenomena ini sulit dipahami. Kadang ide menuntun seperti mukzizat, memberi petunjuk pencerahan. Kadang ide bisa melantur kemana-mana sampai tak menghasilkan apa-apa. Ya, tergantung sudut pandang serta memahaminya.
Pengalaman mungkin mempengaruhi situasi itu. Sebuah perjumpaan dengan ide yang mencerahkan sangat sulit dicapai bila pikiran tidak terbuka. Sejauh ini aku masih menulis dengan alasan biasa saja, menikmati mencipta cerita untuk didengar siapa saja yang ingin mendengar sebuah cerita. Pikiranku belum benar-benar terbuka, untuk apa dan mengapa aku menulis masih menjadi tanda tanya.
Hari ini aku memutuskan mengedit tulisan-tulisan lama yang menjadi hantu itu. Aku tak tega mengantungnya, seperti sebuah penghianatan. Ya, dan aku mulai dari awal lagi.
Baru separuh jalan menulis hujan menguyur, pelan lalu deras dengan petir-petir. Pikiranku kembali kacau, suara petir membuatku panas dingin. Seperti memberi isyarat, intuisiku merasakan hal yang tidak jelas. Jantung mulai berdebar-debar, fobia membuat ketakutan dan tak ingin melanjutkan tulisan-tulisan.
Aku memutuskan menulis lagi saat hujan reda. Mengedit bagian akhir cerita yang mulai usai. Hari ini banyak sekali jeda, lelah membuatku semakin lama berpikir mengolah kata. Kadang kepala seperti musim kemarau, tak ada ide-ide segar yang bisa diolah, semua tandus.
Ketidakfokusan ini benar-benar banyak, aku membutuhkan energi lebih mengatasinya. Pikiran sering bercabang, seperti ada sekat hitam yang menghalangi ide-ide untuk tumbuh. Konsisten tak bisa kulakukan lagi, semua daya seolah terkuras. Kini, yang kulakukan hanya mengulang, membaca dan membaca.
Seperti hatiku langit juga demikian hari ini, abu-abu tak jelas. Ku pandangi awan yang mulai menghitam lagi, udara dingin menusuk tulang. Kesabaran benar-benar diuji saat semua hal menjadi tidak mendukung, aku mengalami problem menulis yang parah. Menyebalkan, aku melontar kekesalan pada kekosongan diluar jendela. Lalu tiba-tiba hujan mulai menguyur lagi setelah mulai mereda.
Sambil menikmati secangkir kopi aku duduk menikmati hujan yang turun. Tak ada petir hanya hujan deras yang semakin menambah kekosongan. Imajinasi mengeliat, semua tokoh dalam ceritaku bermandi hujan diluar sana. Sebuah fragmen ketidaksadaran yang menghadirkannya. Mereka tersenyum, tertawa, bermain dan menari. Aku menyaksikannya, sambil menyeruput kenangan dalam secangkir kopiku yang pekat.
Aku tahu mereka adalah bagian kehidupan yang secara tidak langsung hadir. Mungkin saja mereka adalah orang yang aku kenal dimasa lalu atau gabungan orang yang aku kenal dimasa sekarang.
Sekarang menulis menjadi rutinitas sulit. Entah kenapa semakin lama mengelutinya, semakin besar pula kejenuhan yang tumbuh. Seperti hari ini dimana kejenuhan itu membunuh.
Agar tidak kehilangan kemampuan dan tetap konsisten menulis, di whatsapp aku belajar dengan teman-teman penulis puisi. Aku mulai menulis puisi di dalam grup setiap hari. Teryata cukup melelahkan. Menulis puisi tak segampang diduga. Butuh sudut pandang dan kecerdasan memilih diksi agar puisi terlihat keren. Aku berusaha, belajar mengembalikan kemampuan yang akhir-akhir ini hilang secara tiba-tiba.
Di bayangan senja, tokoh-tokoh dalam tulisanku keluar satu-persatu lagi. Menari, berperang, memanahku agar mati dihadapan mereka. Ada kebencian yang kurasakan, ada luka yang diam-diam ingin dibalaskan. Aku binggung, dalam kekosongan yang hampir saja membunuhku. Tak seperti ketika hujan sekareang mereka menari dengan gembira.
Tiba-tiba langit kembali kelam, hujan menguyur dengan deras. Petir dan badai menakuti manusia-manusia di luar sana, termasuk aku yang meringkuk ke dalam selimut karena pobia. Suara petir keras berbunyi meninggalkan ketakutan-ketakutan.
Semua huruf tiba-tiba hilang, satu-persatu catatan di dinding semuanya menjadi kosong. Aku mengedip memastikan semuanya bukan mimpi.
Di word dan kertas yang aku tulis perlahan menghilang. Satu persatu huruf terhapus entah pergi kemana, mereka moksa dengan sendirinya.
Aku tak memiliki ingatan lagi terhadap cerita-cerita, puisi-puisi yang pernah aku tulis hilang. Kepalaku sudah sangat abu-abu. Semua memoriku perlahan memudar, hilang dalam kusut yang tiba-tiba menggelut, kepala serasa mau pecah.
Aku diam merenung. Menginggat, tapi tak bisa mendapat satu memoripun, bahkan aku hampir lupa siapa diriku. Mengeja huruf-huruf sudah tak mampu, suara mulut terkunci, aku seperti dalam pengadilan dosa.
Semua menjadi hening. Kemampuan komunikasiku hilang secara spontan. Entah apa yang terjadi. Sebuah kutukankah? Atau memang ajalku sudah dekat.
Sekarang aku benar-benar Karna yang siap menunggu kematian. Kertas menjadi kosong, remuk bersama kemarahan yang aku muntahkan menjadi hujan.
Teriakanku tak berguna. Orang-orang tak bisa mendengar suara atau sebenarnya aku tlah menjadi bisu, entahlah yang jelas semua ilmu hilang dan aku sedih dengan tulisan-tulisan yang lenyap itu.
Aku sadar bahwa segala sesuatu memiliki masanya dan mungkin ini adalah waktuku untuk kembali pada pencipta kata-kata. Aku menunduk siap menerima panah yang akan menghilangkan jejakku pada buku yang dibaca oleh seseorang ketika hujan lebat menguyur.. Sebuah bab terakhir, fragmen yang menuntaskan semuannya. Terima kasih tlah membaca sekarang api membakar semua. Kami terbakar.
Air Apo, 2020